Pakde Paijo; Empat Puluh Tahun Mengabdi di Papua

Enarotali tahun 1979
foto: https://ozoutback.com.au

Kisah pengabdian seorang guru asal Jogjakarta yang menghabiskan 40 tahun lebih hidupnya di Papua.

“WAKTU PERTAMA KE SINI, INI SEMUA MASIH HUTAN. Tidak ada jalan begini, hanya ada jalan setapak,” kata bapak tua itu dengan logat Jawa yang kental.

Sore itu kami sedang bercakap-cakap di teras penginapan Subur, di depan bandara. Saat itu saya sedang berada di Enarotali, ibukota Paniai, Papua. Bandara yang saya sebut tadi bukan bandara besar, hanya sekelas bandara kecil yang mampu didarati pesawat perintis. Hampir semua ibukota kabupaten di Papua punya bandara. Alasannya, pulau ini terlalu luas dengan alam yang berat. Tanpa bandara, transportasi akan sulit. Hanya bisa mengandalkan jalan kaki, karena tidak semua punya jalan darat yang mulus.

“Dari Nabire dulu tidak bisa lewat jalan darat. Hanya bisa pakai pesawat. Saya ke sini pakai helikopter,” kata pria tua itu lagi.

Orang-orang memanggilnya Pakde Paijo. Usianya sekitar 69 tahun dengan tubuh yang masih bugar. Dialah pemilik penginapan Subur di kota Enarotali. Selama tiga malam, saya menginap di penginapan sederhana itu. Pakde Paijo dan istrinya – yang dipanggil Bude Paijo – menjadi resepsionis, room boy, merangkap manager.

Penginapan Subur di Enarotali

Penginapan itu sudah ada sejak 2002, usaha baru yang dirintis pasangan dari Jogjakarta itu. Mereka melihat peluang bisnis yang terbuka sejak Enarotali mulai ramai dikunjungi pendatang. Berbeda dengan tahun 1972 ketika pertama kali Pakde Paijo menginjakkan kaki di tanah Papua.

Pakde Paijo mengaku baru lulus sekolah guru ketika seorang seniornya mengajak untuk merantau ke Papua, menjadi tenaga pengajar. Sang senior sudah lebih dulu dua tahun menjadi pengajar di Papua. Saat itu, pemerintah Orde Baru memang melakukan mobilisasi besar-besaran ke tanah Papua yang baru saja menjadi bagian dari Indonesia. Ratusan pengajar dan tenaga kesehatan dikirim ke berbagai daerah Papua. Pakde Paijo muda salah satunya. Berbekal rasa penasaran dan keinginan untuk mengabdi, dia mendaftarkan diri. Tanpa tes, dia dinyatakan lulus dan diminta bersiap untuk dibawa ke Nabire.

Baca Juga: Ada Cerita Tentang Paniai dan Enarotali

“Waktu itu keluarga juga sempat kuatir. Maklumlah, orang belum tahu tentang Papua kan? Katanya di sana masih ada yang makan orang, masih hutan, dan sebagainya,” kata Pakde Paijo mengisahkan awal perjalanannya ke Papua. Meski sempat ditentang, dia tetap bersikukuh mencoba petualangan baru di tanah Papua. “Saya lihat itu kakak kelas saya baik-baik saja, jadi ya sudah saya beranikan diri saja,” sambungnya.

Perjalanan dari Jogjakarta ke Nabire ditempuh selama sebulan dengan kapal laut. Pakde Paijo langsung merasakan suasana berbeda. Nabire belum seperti sekarang, masih sangat sepi dan penuh dengan hutan. Dari pelabuhan ke tengah kota hanya ada jalan setapak dengan semak belukar di tepinya. Setibanya di Nabire dia disambut kakak kelasnya yang lain yang juga sudah lebih dulu tiba. Pakde Paijo mengaku lega, setidaknya dia sudah menemukan saudara di perantauan.

Pakde Paijo bertahan di sana selama dua tahun, mengajar di Nabire sebelum dipindahkan ke Enarotali. Waktu itu Nabire dan Enarotali masih berada dalam satu kabupaten, Paniai. Nabire menjadi ibukotanya. Tahun 1974, jalan darat dari Nabire ke Enarotali masih berbentuk jalan setapak menembus hutan dan gunung. Butuh waktu berhari-hari dengan jalan kaki sebelum sampai. Namun sebagai tenaga pengajar, Pakde Paijo diangkut ke Enarotali dengan helikopter milik TNI.

Dan mulailah masa pengabdian di Enarotali.

*****

“DULU SAYA CUMA BERTIGA. Satu orang Jawa juga, satu lagi orang Toraja,” kisah Pakde Paijo. Bertiga mereka menjaga sekolah dasar di Enarotali. Menurut Pakde Paijo, sekolah mereka sangat sederhana. Dindingnya dari kayu yang tidak digergaji, lantainya dari tanah. Meja kursi juga dibuat dari kayu tanpa digergaji dan dihaluskan.

Murid-muridnya adalah anak-anak dari sekitar Enarotali yang waktu itu masih berupa kampung. Sebagian besar dari mereka usianya sudah lewat masa usia SD kelas satu. Besar-besar, kata Pakde Paijo. Sebagian dari mereka bahkan masih berkoteka, datang dari kampung yang jauh di seberang bukit dan danau.

Selain SD negeri, di Enarotali sudah ada juga beberapa sekolah milik misionaris. Pakde Paijo menyebutnya sekolah punya yayasan. Sekolah itu jauh lebih bagus dari sekolah milik pemerintah Indonesia. Minimal dindingnya lebih rapi karena terbuat dari papan yang digergaji halus, begitu juga dengan meja dan kursinya.

Kondisi kelas yang apa adanya itu tidak menyurutkan niat mereka bertiga. Sesekali ada juga masa ketika kelas kosong karena tidak ada satupun murid yang datang. Di lain waktu, mereka bertiga yang mendatangi murid-muridnya, bahkan sampai menyeberang danau.

Sekarang, kegiatan menyeberang danau menuju kampung lain di seberang sana adalah kegiatan yang tidak lazim untuk para pendatang. Kampung-kampung yang ada di seberang disinyalir adalah kampung markas gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Makanya, tidak ada pendatang yang berani ke sana.

Baca juga bagaimana karakter orang Paniai di sini.

Kondisi ini menurut Pakde Paijo justru berkebalikan dengan kondisi waktu dia pertama tiba di Enarotali. Waktu itu, suasana Enarotali justru sangat aman meski masih sangat sepi. Pakde Paijo mengingat-ingat kembali bagaimana ramahnya warga Papua. Mereka, kata Pakde Paijo, siap mengawal para guru ke mana saja. Kadang mereka juga datang berbondong-bondong membawakan ubi dan sayuran untuk Pakde Paijo dan teman-teman sejawatnya.

“Memang dulu itu yang paling dihormati ada tiga; guru, bidan atau dokter, sama pendeta,” katanya. “Tapi sekarang, guru sudah dianggap biasa sih. Tidak terlalu dihormati lagi seperti dulu,” sambungnya.

Pakde Paijo di depan penginapannya

Empat tahun mengabdi di Enarotali, Pakde Paijo kembali ke Jogja menjemput istrinya. Sejak tahun 1978, sang istri kemudian menetap bersama suaminya di Enarotali yang kala itu masih termasuk jauh dari peradaban moderen. Satu-satunya cara untuk berkomunikasi dengan dunia luar adalah dengan surat. Itupun waktunya tidak tentu, tergantung pesawat atau helikopter yang datang.

Pakde Paijo punya satu cerita lucu. Suatu hari teman sejawatnya mengirim surat beserta foto kepada keluarganya di Jawa. Di foto itu sang teman sejawat berpose menggunakan koteka seperti layaknya orang Paniai. Maksud hati ingin memberi kabar, namun keluarga di Jawa justru menangis sedih.

“Bapaknya sampai bilang, ‘duh, anakku koq jadi begini? Apa dia sudah jadi gila sekarang?’” Kisah Pakde Paijo sambil tertawa.

*****

MENGABDI DI TANAH PAPUA selama empat puluh tahun lebih membuat Pakde Paijo merasa tidak punya alasan lagi untuk kembali ke Jawa. Dua dari tiga anaknya lahir di Paniai, salah seorang dari mereka bahkan sekarang menjadi pegawai negeri sipil di dinas kesehatan Paniai. Pakde Paijo sudah pensiun sebagai guru, tapi masih tetap bertahan di Enarotali.

Sekarang hari-harinya dilewati bersama sang istri yang sudah sama-sama sepuh. Mengelola penginapan Subur yang sederhana. Mungkin hatinya sudah tertanam jauh ke jantung Papua, atau mungkin juga dia merasa masih kuat untuk mencari uang di Papua.

Pengabdian selama puluhan tahun menjadi guru di Papua adalah pengabdian yang panjang. Beberapa muridnya sudah bisa dibilang berhasil “menjadi orang”. Ada yang menjadi sarjana, ada yang menjadi dokter, ada juga yang pejabat pemerintahan.

Baca juga cerita tentang Paniai di sini

“Kalau lihat kondisi mantan murid yang kayak begitu, ya kita senang juga rasanya,” kata Pakde Paijo.

Bagi seorang guru, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat muridnya tumbuh menjadi orang yang sukses, menjadi orang yang berguna. Tak terkecuali Pakde Paijo, pria yang menghabiskan lebih dari setengah hidupnya di Papua, bahkan ketika provinsi itu masih sangat gelap. [dG]