Kisah Barang Bekas Impor
Kisah barang bekas impor yang memang bandel. Sudah pernah dilarang, menghilang, eh datang lagi.
Di antara riuh rendah beragam pemberitaan di seputar Dirjen Pajak dan Bea Cukai, ada satu pemberitaan yang nyaris tidak terlalu menarik buat publik, tapi bagi sebagian orang sangat menarik. Berita pemusnahan barang bekas impor yang dilakukan Kementerian Perdagangan bersama Kementerian Koperasi dan UMKM. Pemusnahan itu dilakukan berkali-kali, dari Pekanbaru sampai Bekasi. Nilainya mencapai angka puluhan miliar.
Ini bukan pertama kalinya ada upaya pemerintah menghalangi datangnya barang bekas impor. Seingat saya di zaman menteri perdagangan dijabat oleh Rachmad Gobel pun, larangan untuk memasukkan barang bekas sudah ada. Penyitaan dan pemusnahan juga sudah ada.
Dua kejadian itu didorong oleh permintaan dari kelompok UMKM lokal yang merasa berat melawan desakan barang bekas impor. Menurut Menteri Perdagangan, UMKM ini masih bisa bersaing dengan barang UMKM impor dari Tiongkok, tapi tidak dengan barang bekas impor ini. Menurutnya lagi, barang bekas impor ini sudah menguasai 31% pasar Indonesia. Lumayan besar.
Kondisi inilah yang membuat pemerintah kemudian mengetatkan pelarangan barang bekas impor. Sekarang baru pada tahap pemusnahan, tapi kembali menurut menteri perdagangan akan dilanjutkan dengan proses hukum kepada pemasoknya.
Pro-Kontra
Sejak lama barang bekas impor ini memang sudah jadi pro dan kontra. Mulai dari proses maksudnya yang ilegal, risiko di sisi kesehatan, sampai ancaman ekonomi. Sudah berkali-kali juga ada larangan dan pemusnahan, sampai penangkapan berdasarkan tuduhan kriminal pun sudah ada.
Tapi sampai hari ini, barang bekas impor masih tetap ada. Masih membanjiri beberapa wilayah di Indonesia. Pernah menghilang, tapi kemudian datang kembali. Benar-benar bandel.
Seingat saya di Makassar pun barang bekas impor ini seperti gelombang. Naik-turun. Pernah dicuekin, lalu diperhatikan, jadi primadona, kemudian perlahan menghilang, muncul lagi, dan sekarang entahlah. Apakah akan tetap ada atau menghilang.
Perjalanan Barang Bekas
Saya berusaha mengingat kembali kehadiran barang bekas impor ini di Makassar dan sekitarnya. Seingat saya di dekade 90-an barang bekas impor – yang di Makassar bernama Cakar, akronim dari cap karung – sudah mulai ada, tapi memang masih sangat terbatas nyaris tidak dilirik. Mungkin karena tampilannya yang terlihat sangat kumuh dan kusam, khas barang bekas. Meski begitu, saya sering mendengar orang yang cerita bisa dapat celana jins seharga puluhan ribu rupiah. Masih sangat murah.
Jatuhnya ekonomi Indonesia pasca krisis moneter 1998 membuat barang bekas impor naik pamor. Warga lebih memilih barang bekas impor itu sebagai pilihan akibat ekonomi yang sedang melemah. Dari yang awalnya hanya dilirik oleh masyarakat kelas bawah, barang bekas impor mulai dilirik kelas menengah. Beberapa di antaranya karena jenis barangnya yang juga semakin bagus, barang bermerek dengan kualitas yang masih bagus.
Di awal tahun 2000-an juga saya mulai menjadi penikmat barang bekas impor. Selain karena kualitasnya, juga karena saat itu di Makassar memang mulai merebak barang bekas impor. Deretan penjualnya sangat banyak, sampai ada beberapa pusat atau sentra cakar.
Meningkatnya minat orang pada barang bekas impor perlahan juga mendongkrak harganya. Kalau dulu kita bisa dapat barang bekas dengan kualitas bagus hanya dengan beberapa puluh ribu, perlahan-lahan angkanya mulai naik melebihi angka seratus ribu. Apalagi ketika namanya diganti dari barang bekas atau cakar menjadi thrift. Makin mahallah harganya.
Penyuka Cakar
Saya sendiri bisa dibilang penggemar berat barang bekas impor ini. Mulai dari awal 2000-an, entah sudah berapa ratus barang bekas impor yang saya beli. Dari sepatu, celana, kaos, kemeja, jaket, topi, sampai tas. Alasan utamanya karena saya bisa mendapatkan barang berkualitas dengan harga miring.
Contohnya tas. Saya pernah mendapatkan tas Crumpler dengan harga Rp.125.000,-, harga yang bahkan tidak sampai 10% dari harga barunya. Begitu juga dengan barang-barang lainnya.
Mencari barang cakar adalah sebuah rekreasi buat saya. Saya menikmati proses membongkar-bongkar barang bekas, memilah-milah, dan pada akhirnya menemukan barang yang bagus. Apalagi barang yang tergolong vintage seperti kaos band Led Zeppelin keluaran tahun 1977, atau kaos Beatles dengan logo Beatles asli di bagian pundak dalamnya. Buat saya itulah rekreasi yang menyenangkan.
Di sisi lain, ada pembelaan juga bahwa barang bekas impor ini adalah upaya saya mengurangi sampah. Daur ulang, istilah saya. Daripada membeli barang baru lebih baik memanfaatkan barang bekas yang masih layak pakai.
*****
Kalau pada akhirnya barang bekas impor akan benar-benar dihapuskan atau dilarang beredar, yah sudahlah. Apalah daya saya memprotes aturan pemerintah itu. Toh saya hanya penikmat, bukan pedagang yang dapat untung dari berjualan barang bekas itu. Walaupun terus terang saya belum yakin juga kalau barang bekas impor ini benar-benar akan hilang dari peredaran. Menghilang sementara mungkin iya, tapi benar-benar menghilang, sepertinya sulit. Saking bandelnya barang bekas impor itu. [dG]
kalo di sini malah ada toko resmi khusus buat barang-barang bekas gini (terutama baju). semacam awul-awul tapi lebih tertata. harganya bisa murmer banget. masalahnya buat saya adalah ukurannya ya seadanya..