Anak-Anak Muda yang Membawa Perubahan

Dalam beragam masa, ternyata anak-anak muda sering kali menjadi agen perubahan. Baik yang turun ke lapangan maupun yang hanya bermedsos.

Kalau melihat sejarah kita, kita pasti akan bertemu dengan banyak sekali cerita bagaimana anak-anak muda menjadi salah satu motor penggerak perubahan sejarah. Kita pasti tahulah yang namanya Sumpah Pemuda, pertemuan anak-anak muda di tahun 1928 yang sampai sekarang dijadikan salah satu tonggak pergerakan menuju kemerdekaan. Lalu berlanjut ke nama-nama seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, nama-nama yang mulai bergerak dengan pikiran di usia yang masih muda.

Di Makassar, ada kisah perjuangan anak-anak muda SMP Nasional yang menyerbu hotel Empress yang dihuni tentara sekutu dan NICA. Anak-anak SMP! Lalu ada juga nama Wolter Monginsidi, anak usia akhir belasan tahun yang sudah membuat tentang Belanda pusing.

Sumpah pemuda

Reformasi

Masuk ke era kemerdekaan, nama seperti Soe Hok Gie juga harum sebagai anak muda pembawa perubahan. Begitu juga dengan ratusan nama lain yang turun ke jalan dan berujung pada desakan penggantian organ pemerintahan.

Gerak anak muda masih terasa di awal Orde Baru, masa ketika kampus masih begitu bersemangat menjadi tempat menggodok para anak muda yang aktif dan kritis sebelum akhirnya mulai sepi ketika Orde Baru di bawah yang mana daripada Soeharto semakin kuat menancapkan kukunya. Gerakan anak muda semakin melemah, berpindah ke bawah tanah dan di luar radar. Gerakan anak-anak muda kemudian lebih bersifat sporadis dan tidak terlalu mengefek. Orde Baru terlalu kuat.

Gerakan anak muda baru benar-benar meletus di tahun 1998 ketika Indonesia sedang berada di masa krisis ekonomi. Momentum yang tepat untuk membuat anak-anak muda dari beragam kampus berjalan bersamaan, muncul ke permukaan, dan mulai mendorong perubahan. Perubahan yang akhirnya benar-benar mengubah jalannya sejarah Indonesia.

Reformasi ’98

Pasca Reformasi

Orde Baru tumbang, reformasi hadir. Kebebasan berekspresi berubah. Tidak ada lagi represi terang-terangan seperti zaman Orde Baru. Sejak saat itulah aktivisme anak-anak muda dari kampus kembali ke permukaan. Semakin rajin, dan semakin sering. Dari sekadar demonstrasi kecil-kecilan di depan kampus, sampai demonstrasi beramai-ramai di satu titik yang disepakati.

Saking seringnya, sampai sebagian warga mulai ba’al, mulai kebas. Esensi demonstrasi mulai tidak tersentuh, demonstrasi bukan lagi sebuah aksi yang heroik dan menggugah. Sebagian bahkan sudah membuat warga kehilangan kesabaran dan simpati karena demonstrasi dianggap mengganggu aktivitas warga.

Tapi anak-anak muda tetaplah anak-anak muda. Dengan semangat berapi-api, mereka tetap turun ke jalan dan sedikit banyaknya tetap menjadi agen perubahan.

Efek Media Sosial

Tapi perubahan-perubahan itu tentu saja bukan hanya perubahan karena anak-anak muda turun ke jalan. Semakin maraknya penggunaan media sosial justru jadi salah satu kanal hadirnya perubahan oleh anak muda. Memang tidak instan, tapi pelan-pelan jadi sangat diperhitungkan.

Di tahun 2023 ini ada nama Bima, seorang anak muda warga Lampung yang sedang bersekolah di Australia. Dia membuat sebuah konten video yang mengkritik pembangunan di Lampung yang menurutnya sangat memalukan. Jalanan bolong-bolong, kebijakan tidak jelas, nepotisme menjamur. Sebuah kritikan yang sangat cadas.

Mungkin kritikan Bima hanya akan serupa angin lalu, ramai sejenak, lalu menghilang begitu saja, kalau saja pemerintah Lampung tidak reaktif. Sebaliknya, seorang pengacara justru dengan gerak cepat melaporkan Bima ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik. Warganet bereaksi. Reaksi dari sang pengacara dibalas dengan reaksi lain yang justru semakin membuat konten Bima jadi semakin populer dan bertahan lama.

Bima dan TikTok-nya

Dari sebuah konten TikTok yang dibalas dengan laporan polisi – bahkan kunjungan polisi ke orang tua Bima di Lampung – hingga kemudian berlanjut dengan beragam reaksi warganet. Bahkan kepemimpinan kepala Dinas Kesehatan Lampung yang bertahan belasan tahun pun mulai dikuliti. Dari gaya hidup sampai dugaan korupsi. Pokoknya pemerintah daerah Lampung tahu-tahu sudah duduk di kursi nyaman buat jadi sasaran tembak.

Konten TikTok Bima ini kemudian seperti memberi efek domino. Paling terbaru adalah kunjungan presiden Jokowi ke Lampung, menengok langsung kondisi jalan di provinsi itu, dan bahkan berakhir dengan keputusan pemerintah pusat mengambil alih pekerjaan jalan di Lampung.

Bayangkan, itu bermula dari sebuah konten TikTok yang dibuat oleh anak muda.

Efek Tidak Sengaja

Sebelum Bima dengan konten TikTok-nya menjadi sangat populer, ada nama AGH dan MD yang membawa “perubahan”. Meski tentu saja tidak sengaja. Warganet Indonesia sebagian besar pasti tahu bagaimana seorang MD melakukan penganiayaan kepada anak muda lain bernama D. Video penganiayaan itu menyebar luas dan mengundang reaksi warganet Indonesia.

Dari video itu orang kemudian mencari tahu siapa MD, siapa orang tuanya, dan bagaimana sikapnya sehari-hari. Efek domino berlanjut ke sorotan kepada RAT, ayah MD yang ternyata seorang pejabat Dirjen Pajak. Publik penasaran, bagaimana bisa seorang pejabat pajak terlihat begitu kaya raya, melebihi bagaimana seharusnya hidup seorang pejabat. RAT dikuliti, ditelanjangi. Begitu juga dengan istrinya. Dan pada akhirnya berurusan dengan hukum ketika KPK mulai tertarik untuk mengendus lebih jauh tentang harta RAT.

Dari RAT, pejabat Kemenkeu lain juga mulai terendus. Kepala Bea Cukai Makassar, Jogjakarta, pejabat Setneg, sampai Sekda Riau, semua kena bagian. Dikuliti gaya hidupnya, dipertanyakan kekayaannya, dan bahkan sebagian mulai “masuk ke gua”.

Bayangkan, dari sebuah aksi kekerasan anak muda tanpa belas kasihan itu berlanjut jauh, sangat jauh bahkan sampai melibatkan tokoh-tokoh besar dan kuat. Menteri Keuangan sampai turun tangan. Tanpa sengaja, tapi membuat perubahan besar. Setidaknya sampai saat ini.

*****

Anak muda memang penuh dengan semangat dan emosi. Jadi tidak heran kalau ada banyak perubahan yang terjadi karena anak muda. Perubahan kecil, sampai perubahan besar yang membelokkan sejarah. Disengaja, maupun tidak disengaja. Kalau zaman dulu perubahan dari anak muda itu harus terjadi di lapangan, sekarang perlahan perubahan itu bisa dilakukan dengan bantuan media sosial. Tidak turun ke lapangan, cukup dengan membuat konten. Perjalanan memang berubah, tapi anak-anak muda harus tetap jadi agen perubahan. Tapi, perubahan apa dulu? [dG]