Bertemu Para Pengabdi

Ningsih di rumah dinasnya yang sederhana
Ningsih di rumah dinasnya yang sederhana

Pilihan mengabdi di tempat terpencil mungkin hanya jadi pilihan bagi beberapa orang. Resikonya berat, perjuangannya juga berat.

SUASANA MALAM ITU DI DESA PUNAN ADIU berbeda dari malam-malam sebelumnya. Pukul 8 malam yang biasanya sudah sepi di desa yang tak dialiri listrik PLN itu kali ini masih ramai. Satu persatu warga beringsut ke balai adat yang terletak di daerah yang agak tinggi di sisi luar kampung. Balai adat itu besar, dibangun dari kayu dengan bentuk rumah panggung. Lantai atas untuk kegiatan administrasi serupa kantor sementara bagian kolong rumah disekat papan kayu di bagian luarnya sehingga menyerupai hall besar. Tempat ini sepertinya memang digunakan untuk acara-acara tertentu.

Malam itu warga kampung yang dihuni mayoritas orang Dayak Punan berkumpul atas perintah kepala adat. Mereka menyambut tamu-tamu dari Jakarta yang datang untuk sebuah kegiatan di kampung mereka. Gerimis membasahi tanah, tapi tak menyurutkan niat warga desa berpenghuni 27 KK itu untuk menembus gerimis dan gelapnya malam menuju balai adat.

Tamu-tamu mereka itu adalah saya dan 2 orang lagi teman satu tim. Kami kaget ketika tiba di balai adat dan melihat puluhan orang sudah duduk manis di kursi plastik. Markus Ilun, kepala adat Punan Adiu juga sudah ada di tempat, seorang pria muda sibuk menyiapkan pengeras suara sambil sesekali menulis di kertas putih kecil.

Kami bertiga langsung canggung. Ini sama sekali tidak kami bayangkan. Kedatangan kami ke desa itu bukan untuk urusan formil, sama sekali tidak butuh penyambutan resmi seperti itu apalagi sampai memaksa warga datang menembus hujan dan gelapnya malam. Rasa bersalah menyusup ke hati kami. Datang jauh-jauh dari kota kita malah menyusahkan orang desa, rutuk saya dalam hati.

Seorang wanita muda berhijab tiba-tiba melintas dan ikut bergabung dengan puluhan warga yang sudah duduk manis. Penampilannya itu sungguh berbeda dengan para perempuan lainnya. Hijab yang menutupi kepalanya menandakan dia muslim, berbeda dengan wanita lain di desa ini yang Katolik. Struktur wajahnya juga meyakinkan saya kalau dia bukan orang Dayak. Saya hanya menebak-nebak asalnya, tak sempat mengobrol karena acara harus kami lanjutkan.

*****

SAYA BERTEMU KEMBALI DENGAN WANITA ITU keesokan harinya. Namanya Ningsih, gadis asli Cilacap yang menyelesaikan pendidikan sarjananya di Jogjakarta. Selepas acara kami sempat mengobrol panjang di rumah tempat kami menginap. Saya penasaran ingin mencari tahu lebih banyak alasanya hingga dia terdampar di desa nun jauh di pedalaman Kalimantan Utara ini.

Ningsih lulusan Universitas Negeri Yogyakarta dua tahun lalu. Selepas menyelesaikan pendidikannya, dia mencoba peruntungan untuk ikut program SM3T. SM3T singkatan dari Sarjana Mengajar 3 T (tertinggal, terpencil, terluar). Program ini memberi kesempatan kepada calon guru lulusan perguruan tinggi untuk mengabdi selama setahun di daerah 3T. Selepas mengabdi nanti mereka akan diberi beasiswa untuk mengambil program studi spesialisasi guru. SM3T semacam PTT bagi sarjana kedokteran.

Ningsih terpilih menjadi salah satu peserta SM3T tahun 2014. Bersama rekan-rekan lainnya dari seluruh Indonesia dia bersiap menerima penempatan. November 2014 Ningsih akhirnya tahu kalau dia ditempatkan di Long Adiu, Malinau. Sebuah daerah yang selama ini masih asing di telinga orang Indonesia. Long Adiu sendiri adalah desa yang bertetangga dengan desa Punan Adiu yang kami datangi.

“Orang tua saya awalnya kuatir ketika tahu saya ditempatkan di Malinau. Bayangan mereka orang Dayak itu sadis, masih suka makan orang.” Kata Ningsih. Saya paham perasaan orang tuanya, Kalimantan dan orang Dayaknya memang sering mendapatkan stigma sebagai orang-orang yang masih terbelakang, primitif dan bahkan kanibal.

Kekuatiran itu sempat membayangi Ningsih ketika pertama kali menginjakkan kaki di Long Adiu. Bagaimanapun dia adalah perempuan dan ini pengalaman pertamanya ke Kalimantan. Untungnya Ningsih bukan perempuan manja, selama ini dia sudah terbiasa berjalan sendiri. Bermotor dari Jogjakarta ke Cilacap bukan hal asing baginya. Beratnya hidup merantau juga sudah bertahun-tahun dijalaninya.

“Tiga hari pertama bisa saya lewati. Nah, hari ketiga akhirnya saya menangis malam-malam.” Katanya sambil tertawa. Rupanya benteng pertahanannya tumbang juga. Tapi Ningsih mengaku hanya sebentar sebelum dia berhasil membangun kembali semua semangatnya.

Hidup di desa yang tak dialiri listrik dan tak disambangi sinyal seluler awalnya berat bagi Ningsih. Maklum, dia datang dari daerah yang berlimpah tenaga listrik dan sinyal seluler. Butuh waktu lumayan lama baginya untuk bisa berdamai dengan situasi itu. Tapi bagian paling berat adalah karena dia harus tinggal sendiri di rumah dinas yang dibangun di tepian desa Long Adiu, di atas bukit yang terpisah dari desa.

“Suatu malam saya pernah mendengar suara-suara aneh dari luar rumah. Saya ketakutan benar, sejak itu saya kadang menginap di rumah warga. Takut.” Katanya dengan logat Jawa yang kental.

Warga Dayak yang dulu digambarkan seram dan menakutkan ternyata tidak terbukti. Mereka sangat baik dan ramah. Ningsih diterima dengan baik di Long Adiu, mereka juga tidak keberatan Ningsih menginap di rumah mereka. Selama bertugas di Long Adiu Ningsih tidak menemukan masalah berarti selama berinteraksi dengan warga, termasuk soal kepercayaannya.

Sebagai muslim yang taat, Ningsih rajin puasa senin-kamis. Tahu si ibu guru puasa, warga Long Adiu dengan senang hati mengantarkan kelapa muda segar untuk bekal buka puasa. Ini yang membuat Ningsih terharu. Beratnya hidup jauh dari rumah dan orang tua, bahkan jauh dari listrik dan sinyal bisa dilewatinya dengan tenang.

*****

LAIN NINGSIH, LAIN PENTIN. Wanita yang satu ini juga perantau, kami bertemu di mobil yang membawa kami ke Malinau dari desa Gong Solok. Di atas Kijang Super yang sudah berumur puluhan tahun itu dia memergoki saya yang berasal dari Makassar.

“Kita’ orang Makassar?” Tanyanya dengan logat Makassar yang khas. Saya mengiyakan pertanyaannya, menebak kalau dia juga berasal dari daerah yang sama.

Ternyata betul, Pentin berasal dari Tana Toraja tapi menamatkan pendidikan bidannya di Makassar. Selepas kuliah tahun 2013 atas rekomendasi beberapa kerabat dia coba mengajukan surat lamaran kerja ke Kabupaten Malina, Kalimantan Utara. Butuh waktu setahun sebelum ada respon. Pentin dipanggil untuk test dan akhirnya diterima sebagai tenaga bidan di kabupaten yang saat itu baru saja menjadi bagian dari provinsi baru.

Pentin ditempatkan di Punan Gong Solok, sekitar 3 jam perjalanan sebelah barat daya kota Malinau. Akses ke sana tidak mudah, jalan yang ada hanya jalan pabrik yang tak diaspal. Hanya tanah kuning dengan kerikil yang sudah menipis. Di kala hujan tanahnya menjadi sangat licin, di musim kemarau debu tebal beterbangan. Listrikpun hanya disuplai dari genset warga, sinyal seluler tak sampai.

Pentin juga mengaku kesulitan di awal masa tugasnya. Datang dari kota yang ramai ke desa yang sepi dengan fasilitas terbatas membuatnya butuh waktu untuk beradaptasi. Pelan-pelan dia merasa sudah betah, apalagi karena akhirnya dia menjalin cinta dengan pemuda desa Gong Solok yang juga anak pak kades. Pemuda itulah yang menyupiri mobil Kijang Super tua merah marun yang kami tumpangi ke Malinau.

Pentin yang beragama Katolik sedikit lebih mudah beradaptasi, utamanya soal makanan halal. Berbeda dengan Ningsih yang mengaku awalnya selalu kuatir akan halal-tidaknya makanan dan wadah makannya. “Tapi Insya Allah, Tuhan pasti mengerti kok.” Kata Ningsih.

Ningsih dan Pentin hanya dua di antara sekian banyak orang muda Indonesia yang berani mengambil resiko mengabdi di daerah yang terpencil dan jauh dari hiruk pikuk kota besar. Intensi mereka mungkin berbeda, Ningsih ikut SM3T karena ingin mendapatkan beasiswa dan mengabsi sebagai guru sementara Pentin menjadi bidan di daerah terpencil karena ingin mendapatkan pekerjaan.

Meski begitu saya yakin mereka berdua punya kesamaan, sama-sama punya niat mengabdi seberapapun kecilnya. Indonesia akan beruntung kalau jutaan orang mudanya punya niat yang sama, menyisihkan waktu mereka untuk datang dan mengabdi di daerah terpencil. Kita sudah terlalu capek dengan teori nasionalisme dan teori-teori apapun yang dijejalkan ke kepala kita di bangku sekolah. Saatnya untuk benar-benar turun ke lapangan dan mempraktekkan semua teori itu.

Ningsih dan Pentin hanya dua dari sedikit orang muda Indonesia yang berani berbuat sesuatu. Tidak hanya mencecap teori dan mengutuki keadaan. [dG]