Belajar Dari Anak-Anak Highfield
“Ya paling mereka akan datang dengan gaya mereka, yang khas anak ABG ibukota,” kata saya dalam hati
Asumsi itu muncul ketika saya diajak Lelaki Bugis untuk menemaninya mendampingi puluhan anak-anak SMA dari Highfield Secondary School Jakarta yang melakukan excursion di PPLH Puntondo. Excursion adalah kata lain dari darma wisata, anak-anak kelas 11 dan 12 itu akan diajak ke dusun Puntondo, menginap di rumah warga dan mendokumentasikan kegiatannya. Hasil dokumentasinya ada tiga macam; tulisan, foto dan video. Lelaki Bugis diminta menjadi pendamping dan dia memberi kesempatan kepada saya untuk menemaninya. Belakangan, Feri –sobat lain di Kepo Initiative-ikut menemani kami.
Anak SMA internasional dari Jakarta, fakta itu sudah cukup sebagai dasar bagi saya menentukan asumsi kalau mereka bakal kesulitan tinggal bersama warga dan bahkan beraktivitas bersama warga. Terbayang di kepala saya mereka akan datang dengan gaya mereka yang manja, datang dari lingkungan yang sudah penuh dengan fasilitas ke lingkungan baru yang sederhana dan minim fasilitas.
Senin 3 Oktober 2016, sekira pukul empat sore kami beserta rombongan sudah tiba di PPLH Puntondo. PPLH adalah singkatan dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup, terletak di Dusun Puntondo, Desa Laikang, Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Jaraknya sekitar 80 km sebelah selatan kota Makassar, ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 3 jam.
Setelah penjelasan dan arahan singkat, anak-anak kelas 11 dan 12 lalu diantar ke rumah induk semang mereka masing-masing. Mereka dibagi ke dalam delapan kelompok di delapan rumah berbeda. Sementara anak-anak kelas 10 tinggal di PPLH Puntondo, mereka mengikuti kegiatan berbeda yang langsung ditangani oleh pihak PPLH Puntondo.
Malam harinya peserta dikumpulkan kembali di PPLH Puntondo. Beberapa dari mereka mendapat tempat menginap yang agak jauh dari PPLH Puntondo, jarak ini lumayan membuat waktu jadi sedikit molor karena mereka harus dijemput dengan mobil. Saya sempat melewatkan beberapa jam pertemuan awal karena ada gangguan di kepala yang membuat saya sempat muntah dan tidak enak badan.
Ketika akhirnya bisa bergabung bersama Lebug (panggilan sayang Lelaki Bugis) dan Feri, saya sudah melihat raut wajah penuh keletihan di anak-anak kelas 11 dan 12. Maklum saja, mereka pasti sudah meninggalkan rumah pagi-pagi, terbang melintasi lautan yang kemudian disambung dengan perjalanan darat tiga jam.
Memaksakan teori kepada mereka yang semangatnya sudah 5 watt rasanya bukan pilihan yang baik. Makanya, saya lalu membagikan materi fotografi dengan cara cepat dan singkat, berharap mereka bisa menyerapnya. Tidak sampai lima menit presentasi saya sudah selesai, anak-anak itu sudah semakin terkulai. Gabungan antara capek dan ngantuk.
Kelas dibubarkan, mereka kembali ke rumah induk semang mereka dengan gontai.
*****
Selasa 4 Oktober 2016. Pagi hari kami bertiga berkeliling desa, mendatangi satu per satu anak-anak kelas 11 dan 12 yang menginap di rumah warga. Kami ingin tahu apa saja yang mereka lakukan di pagi hari. Di rumah pertama kami melihat beberapa siswa perempuan duduk bergerombol di depan rumah warga. Rupanya mereka sedang melakukan wawancara dengan pemilik rumah tersebut. Rumah yang sekaligus juga menjadi warung kecil-kecilan.
Dari cara mereka berinteraksi dengan warga terlihat betul betapa mereka sangat antusias dengan rasa ingin tahu yang besar. Plus, mereka juga tidak terlihat canggung berada di antara warga dan suasana yang tentunya jauh dari suasana keseharian mereka. Awal yang bagus, kata saya dalam hati.
Di rumah berikutnya kami bahkan mendapati dua orang siswi yang ikut sibuk mengikat rumput laut untuk dikembangbiakkan. Dengan antusias, salah satu dari mereka mengajari temannya cara mengikat rumput laut. Dengan bahasa Indonesia logat Jakarta yang bercampur dengan bahasa Inggris dia terus mengajari temannya, si ibu pemilik usaha rumput laut itu hanya mengamati sambil menahan senyum. Diam-diam saya kagum dengan totalitas mereka berdua.
Di rumah keempat pemandangan lebih luar biasa tertangkap oleh kami bertiga. Tiga orang siswa nampak asyik menjemur rumput laut di halaman rumah seorang warga. Kami nyaris tidak mengenalinya, kami pikir mereka warga lokal. Saking total dan membaurnya mereka.
Willis, salah seorang dari siswa itu kulitnya bahkan terlihat gelap mengkilap tertimpa terik matahari menjelang siang. Tapi dia tetap menjemur rumput laut dengan penuh penghayatan. Sambil menjemur mereka terus bertanya ini-itu pada pak Haji yang menemani mereka. Luar biasa! Pikir saya.
Siang harinya anak-anak itu dikumpulkan di PPLH Puntondo. Kami ingin tahu apa saja yang sudah mereka temukan selama menginap di rumah warga. Di sini kami betul-betul harus merevisi asumsi awal kami yang mengira mereka adalah anak-anak manja. Ternyata tidak, saudara-saudara! Mereka bukan anak-anak kota yang takut matahari, takut kotor dan hanya bisa mengeluh.
Mereka ternyata sangat menikmati hidup bersama warga Dusun Puntondo. Mereka ikut beraktivitas bersama warga, bahkan siswa perempuan sekalipun. Beberapa siswa perempuan mau saja ketika diajak ikut ke laut memberi makan lobster, mencari ikan, mencari kepiting, menanam mangrove dan menggali pasir untuk mencari kerang. Mereka sama sekali tidak terlihat canggung atau malas-malasan. Dengan semangat mereka menceritakan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka temukan selama menginap bersama warga.
*****
Di malam terakhir saya kembali harus merevisi asumsi saya. Awalnya saya pesimis mereka bisa menghasilkan tulisan, foto dan video yang bagus mengingat waktu mendampingi mereka yang sempit. Pun, kami tidak bisa berlama-lama memberikan teori menulis karena waktu yang terbatas. Mereka lebih banyak berada di rumah warga dan ketika bertemu di malam hari mereka sudah terlalu capek untuk menyerap materi. Jadilah segala materi, tips dan trik kami lontarkan sambil lalu di tengah ajang diskusi. Kami kira mereka akan melewatkannya begitu saja.
Tapi, kami salah!
Melihat hasil kerja dokumentasi mereka, kami buru-buru merevisi asumsi itu. Ternyata di balik rasa letih yang tampak di wajah mereka atau sikap acuh tak acuh, mereka mendengar apa yang kami bagikan. Mereka merekam itu semua dan lalu mempraktikkannya. Mereka berhasil membuat tulisan yang runut dan enak dibaca. Kesalahan kecil memang masih ada, namanya juga pemula meski sebagian dari mereka ternyata sudah biasa menulis.
Di sisi fotografi dan video, hasilnya keren-keren. Mereka berhasil membawa pesan yang ingin disampaikan, berhasil menerapkan materi fotografi yang saya bagikan dan membuat video yang juga mampu bercerita dengan lancar.
Di luar kenyataan bahwa mereka memang punya dasar yang bagus berkat kurikulum di sekolah mereka, kami kagum bahwa mereka ternyata tidak seburuk yang kami duga. Sama sekali jauh dari yang kami duga. Asumsi awal kami berantakan semua!
Empat hari menemani anak-anak SMA Highfield Secondary School itu membuat saya belajar lagi satu hal. Asumsi tidak selamanya benar meski data dan faktanya sudah ada. Data dan fakta yang tidak lengkap membuat saya salah membuat asumsi, seharusnya saya menggali data dan fakta lebih banyak lagi sebelum membuat asumsi. Kali ini saya mengaku salah.
Empat hari bersama mereka, bukan hanya mereka yang belajar banyak hal, saya pun belajar banyak hal. Salah satunya adalah tentang bagaimana membuat asumsi. Maafkan saya anak-anak! (Mereka memanggil saya ‘om’), terima kasih untuk pelajarannya. [dG]
Vlog bersama anak-anak SMA Highfield