Akhirnya Disapa Malaria
Salah satu yang saya hindari sejak pertama mendarat di Papua adalah malaria. Saya hampir berhasil melewati tahun ini tanpa malaria, sebelum akhirnya dia menyapa juga menjelang akhir tahun.
JUMAT MALAM (14/12) saya dan rombongan akhirnya tiba di Nabire setelah perjalanan panjang dari Paniai sejak sore hari. Tujuh jam yang cukup melelahkan seperti biasanya, meniti jalan panjang, naik-turun bukit, berkelok seperti tiada henti. Harusnya ini perjalanan yang sudah biasa buat saya, ini kali keenam saya ke Paniai dalam 2018 dan bila dikali dua (pergi dan pulang), maka malam itu adalah perjalanan keduabelas. Saya sudah cukup terbiasa dengan perjalanan seperti itu.
Harusnya itu biasa saja. Tapi tidak malam itu.
Setiba di kamar hotel setelah membereskan semua urusan secara adat dengan bapak supir, saya tiba-tiba merasa ada yang aneh dengan tubuh saya. Badan seperti agak demam tapi di dalam rasanya dingin. Saya bahkan sempat menggigil sebelum memutuskan melemparkan diri ke dalam selimut dan bergelung hingga rasa dingin itu menghilang. Saya menghabiskan malam dengan rasa yang kurang nyaman.
“Sepertinya saya kecapean,” kata saya dalam hati.
Besoknya keadaan agak membaik. Saya bisa beraktivitas seperti biasa. Sarapan, meeting, lalu keluar makan siang. Meski begitu badan memang tetap berasa tidak nyaman. Otot-otot serasa tidak beres, seperti orang yang habis berlari puluhan kilometer, ditambah suhu tubuh yang rasanya tidak normal. Itulah alasan ketika sore harinya saya memanggil tukang pijat yang mengiklankan diri di tiang listrik tepat di depan hotel. Saya menduga saya kecapean, dan mungkin pijatan bisa membuat saya lebih nyaman.
“Wah, masuk angin nih pak,” kata mas-mas tukang pijat. Dia memberikan analisisnya setelah melihat guratan merah di punggung saya.
Setelah ritual pijat beres, saya mengira akan lebih nyaman. Malam sudah turun, saya mencoba beristirahat. Tapi ternyata tidak mudah karena rasa demam itu kembali datang dan saya kembali menggigil hebat. Bukannya lebih enak setelah dipijat, saya justru merasa lebih berantakan. Tubuh seperti remuk dan demam semakin tinggi. Semalamam saya hanya meringkuk di bawah selimut, menahan dingin meski suhu badan tetap tinggi.
Minggu pagi saya membaik. Segelas teh hangat yang dicampur Antangin membuat badan mengeluarkan keringat dan saya merasa siap untuk terbang kembali ke Jayapura. Sesuai jadwal, hari itu kami memang harusnya kembali ke Jayapura setelah menyelesaikan perjalanan pamungkas ke Paniai.
*****
SAYA SUDAH MULAI MERASA BAIKAN setibanya di kosan di Jayapura. Berbagi cerita dengan pak Rara yang juga baru saja menuntaskan perjalanan ke Asmat. Badan memang masih kurang enak, tapi tidak seperti semalam sebelumnya. Jauh lebih nyaman. Saya bahkan yakin kalau saya tidak apa-apa. Semua sudah lewat, kata saya menenangkan diri.
Tapi ternyata saya terlalu optimis. Karena, begitu malam tiba suasana berubah 180 derajat. Badan kembali diserang demam tinggi, dan tubuh menggigil hebat. Otot-otot serasa tidak nyaman, perut agak mual dan kepala seperti berat. Saya kembali hanya bisa meringkuk di kasur, menutup badan dengan selimut dan sarung. Untung ada pak Rara. Beliau yang dengan baik hatinya membelikan makan malam dan mencarikan obat sesuai pesanan saya. Malam itu saya lewati dengan susah payah.
Pagi harinya, lingkaran yang sama terjadi lagi. Saya merasa sangat baikan, bahkan bisa mandi pagi dan berangkat ke kantor. Di kantor pun meski kondisi belum fit 100% tapi saya tetap bisa menyelesaikan laporan dan melewati satu sesi meeting. Semua kelihatan baik-baik saja meski beberapa teman bisa langsung menebak kalau saya tidak sehat.
Saya pulang agak cepat hari itu. Rencananya kami (saya dan pak Rara) akan kembali ke Makassar keesokan harinya, dan kami butuh waktu untuk mempersiapkan barang yang akan dibawa pulang. Sampai sore semua masih baik-baik saja. Saya memang lebih memilih beristirahat sebelum mulai mengepak barang, badan masih berasa tidak enak dan memang rasanya agak mengantuk setelah tidur yang terasa kurang nyaman malam sebelumnya.
Saya terbangun ketika magrib sudah dekat. Begitu terbangun, saya bisa langsung merasakan ada yang tidak beres dengan badan saya. Rasanya suhu tubuh sudah mulai kembali merangkak naik dan kepala berat. Ketika malam semakin mendekat, rasa menggigil itu kembali datang. Saya menggigil seperti seorang yang dibiarkan tanpa pakaian di tengah hutan di sebuah pegunungan. Dingin. Bahkan ketika saya menutup badan dengan selimut dan sarung, rasanya masih tetap sama.
Akhirnya malam itu saya memutuskan untuk berangkat ke dokter. Diantar pak Rara yang selalu setia menemani, kami menuju praktik dokter yang tidak terlalu jauh dari kosan. Setelah menunggu lama dan mengikuti beberapa prosedur termasuk periksa darah, akhirnya diketahui apa yang menyebabkan saya begitu tidak nyaman beberapa hari ini.
“Malaria tropica +3,” kata dokter.
Saya menelan ludah. Ini hal yang selalu saya hindari sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Papua. Papua dan malaria seperti satu paket. Penyakit yang dibawa oleh nyamuk anopheles ini memang masih sangat mudah ditemui di Papua, ketika di tempat lain di Indonesia nyaris sudah sulit ditemui. Jumlah penderita malaria di Papua memang masih jadi yang tertinggi di Indonesia dengan prosentase 43 dari 100, artinya di antara 100 orang ada 43 yang terkena malaria.
Saya menduga malaria ini bersarang di badan dalam perjalanan ke Koroway dua minggu sebelumnya. Ketika itu kami sempat menginap di bivak di tengah hutan, dan sepertinya karena tubuh sedang kelelahan nyamuk malaria itu akhirnya berhasil menancapkan virusnya ke tubuh saya. Sesuai hitungannya, waktu inkubasi parasitnya hingga benar-benar siap menyerang memang antara 7-23 hari. Jadi ketika digigit, tubuh tidak langsung merasakan efeknya. Efek itu baru terasa paling cepat seminggu kemudian.
Dokter memberi saya bermacam obat-obatan. Sebagai dokter yang lama bertugas di Papua, beliau sangat paham dengan standar pelayanan untuk penderita malaria. Bahkan gayanya sangat santai seakan-akan ini hanya penyakit flu biasa. Sedikit banyaknya saya juga merasa terbawa suasana santai yang dia bawa dan bisa pulang dengan tenang meski malam harinya demam tinggi yang disertai halusinasi masih tetap menyerang.
Beberapa hari kemudian saya sudah jauh lebih baik. Obat dari dokter belum habis dan harus terus saya konsumsi sampai habis. Tapi setidaknya saya sudah merasa hampir kembali ke kondisi 100%, meski kata orang virus itu masih tetap ada dalam tubuh dan akan kembali muncul di saat tertentu ketika tubuh sangat capek dan dalam kondisi drop.
Yah, mau bagaimana lagi. Papua sepertinya tidak rela saya pulang dengan tangan kosong. Setidaknya dia memberi saya kenang-kenangan yang akan terus saya bawa seumur hidup saya. Bahwa di tubuh saya sekarang ada malaria, yang saya dapat dari tanah Papua. Mungkin ini sebagai salam manis dari tanah yang selalu saya rindukan itu. Akhirnya, saya disapa malaria juga. [dG]
Saya juga kalau kerja suka mengabaikan perasaan nda enak badan. Kadang setelah berhari-hari nda nyaman baru ke dokter dan langsung disuruh infus ? Abis itu yah kanjut kerja lagi sih seperti biasa hihi..
Cepat sembuh Daeng ?
terima kasih Tari
sebenarnya harusnya kita sering2 mendengar apa kata tubuh, jangan parah baru periksa hehehe
wah, selamat, daeng. akhirnya sah sebagai orang papua dg mendapat malaria. apalagi, kalo tak salah, itu virus yg seumur hidup ada dalam tubuh manusia begitu mendapatkannya. :p
yah begitulah…
seumur hidup virusnya akan tinggal di badan dan menunggu waktu yang tepat untuk kembali beraksi
aku merasa bersalah pas WA malem dan daeng Ipul lagi sakit. semoga lekas fit lagi ya, safenet kangen lho.
hahaha gak papa koq Nik, mananya juga nda tahu