Menikmati Semarang Dengan Cara Berbeda [Bag.2 – Tamat]
Ada tiga jenis mangrove yang dikembangkan di dusun Tapak. Pertama adalah jenis Rhizophora atau di Indonesia lazim disebut bakau. Jenis ini memang paling banyak ditemukan di Indonesia, makanya tidak heran bila secara serampangan mangrove diterjemahkan sebagai bakau, padahal bakau hanya salah satu jenis mangrove. Jenis kedua yang ada di dusun Tapak adalah Avicenia atau mangrove api-api dan satu lagi yaitu bruguiera.
Baca juga cerita tentang hutan mangrove di Barru.
Mangrove adalah tanaman yang sering terlupakan. Tidak banyak yang tahu bahwa 1 Ha hutan mangrove bisa menyerap karbon lima kali lebih banyak dari hutan di daratan. Fungsi lainnya tentu saja sebagai penahan abrasi air laut, agar daratan tidak tambah menyusut. Lalu, hutan mangrove juga berfungsi menyaring air laut agar tidak naik ke daratan dan membuat sumber air tawar menjadi asin. Selain itu, hutan mangrove jadi pusat kehidupan banyak mahluk hidup lainnya, dari beragam jenis burung, kepiting, udang hingga ikan. Terakhir, buah dan batang dari mangrove sendiri bisa digunakan untuk banyak hal. Dari makanan sampai obat-obatan. Sungguh mulia sebatang mangrove itu. Sayang sekali mangrove kadang terlupakan dan terabaikan.
Hari itu selain diajak mengenal mangrove lebih jauh, kami juga diajak menanam mangrove di satu-satunya pulau yang tersisa di Semarang. Pulau Tirang namanya. Pulau inipun sudah menderita akibat reklamasi yang terjadi di tepian kota Semarang sehingga hanya tersisa seciul saja. Hari itu, kami rombongan #FamTripBlogger2017 diajak menanam mangrove, menamam harapan semoga masa depan Semarang utamanya di pesisir masih terus terjaga.
Perjalanan pagi hingga siang hari itu ditutup dengan makan siang di home resto alias restoran rumahan yang disediakan warga. Beragam menu ada di sana, dari urap, ikan bandeng, tempe, tahu hingga kepiting rebus. Semua anggota rombongan makan dengan lahap. Gabungan antara capek dan lapar membuat menu yang terhidang jadi sayang untuk tidak ditandaskan.
Pukul satu siang kami akhirnya kembali ke hotel. Dua agenda berikutnya sudah menanti.
Semawis, Yo Wis!
Tenda-tenda berjejer rapi di sepanjang jalan yang tak seberapa lebar itu. Langit masih terang, beberapa orang sudah bersiap memasang peralatan memasak di bawah tenda-tenda. Suasana Semawis di sore itu memang belum terlalu ramai, kami tiba satu jam sebelum matahari pulang.
Destinasi kedua hari itu adalah Pasar Semawis, sebuah bagian dari Pecinan yang sekaligus menjadi arena street food (makanan kaki lima) di malam Sabtu, malam Minggu dan malam Senin. Kami berkumpul di sekertariat Semawis, di lantai dua yang sudah disulap menjadi tempat makan malam dengan meja panjang dan kursi-kursi yang berjejer.
Seorang perempuan berkulit putih bermata sipit menjadi tuan rumah kami. Namanya ibu Ling Ling, perempuan peranakan Tionghoa yang jadi pengurus Pasar Semawis. Menurutnya, Pasar Semawis sudah ada sejak tahun 2005, berawal dari keresahan warga yang melihat kawasan Pecinan Semarang seperti mati dan tidak terurus. Komunitas warga di situ kemudian menggagas sebuah ide untuk menjadikan salah satu jalan di kawasan Pecinan itu sebagai pusat kuliner yang hanya buka setiap malam akhir pekan, mulai pukul 18:00 hingga 23:00 WIB.
“Kami belajar dari Surabaya,” kata ibu Ling Ling. Surabaya yang dimaksud oleh ibu Ling Ling adalah kawasan Kya-Kya di Jalan Kembang Jepun yang juga menjadi pasar malam dan pusat kuliner di Surabaya sejak tahun 2003.
Tekad yang kuat dari warga di kawasan Pecinan dan dukungan penuh pemerintah kota Semarang lah yang kemudian membuat Pasar Semawis bertahan hingga kini, bahkan menjadi salah satu destinasi wisata populer di kota Semarang.
Semawis sendiri menurut ibu Ling Ling diambil dari bahasa Jawa kuna yang artinya sama dengan kata Semarang. Hingga kini ada sekitar 100 pedagang yang terdaftar di Pasar Semawis, sebagian besarnya berjualan kuliner dan sisanya berjualan asesories dan barang lainnya. Keuntungan dari Pasar Semawis itu menurut ibu Ling Ling digunakan untuk keperluan warga di Pecinan juga, termasuk memperbaiki jalan atau merawat lampu penerangan.
Sore itu ibu Ling Ling tidak hanya menyajikan cerita tentang Semawis, tapi juga menyajikan tujuh macam makanan buat kami. Iya, tujuh macam! Dimulai dari lunpia cap go meh, kemudian sup ayam tim, lalu dilanjutkan dengan wedang tahu, kemudian ada tahu gimbal, diikuti dengan nasi ayam, lalu ditutup dengan jamu jun dan es congli sebagai pencuci mulut. Sungguh luar biasa! Perut saya bahkan terasa tidak mampu lagi menerima makanan-makanan yang masuk setelahnya. Kenyang bok!
Hahahaha.. dipanggil “pak” ? padahal lebih pas dipanggil “om” ya, Daeng?
sama aja keleusss hahaha
makasih mas daeng (atau harusnya panggil daeng aja?) buat rekaman mangrove nya ?
daeng aja udah cukup koq, soalnya daeng itu udah sama dengan mas hihihi
Maaf kemarin ngakaknya paling besar waktu tragedi “Pak” ya, Daeng. Eh mungkin dia memang masih belasan tahun, ya?
keknya gak sampai 20 deh, paling 19 kali ya? hihihi