Menikmati Kemewahan di Tanete Institute
Berkunjung ke Tanete Institute, sebuah laboratorium yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar.
“Astaga! Merindingkaa!” seru perempuan muda itu sambil menutupi wajah dengan kedua tapak tangannya.
Dia baru saja diantar melihat suasana di laboratorium milik Tanete Institute. Sebagai seorang lulusan biologi, dia paham betul alat-alat apa yang ada di laboratorium seluas lebih kurang 3 x 7 m itu. Di laboratorium yang sebagian dindingnya tidak diplester itu, alat-alat seperti spectrophotometer, flame photometer, mikroskop, inkubator, dan beragam alat laboratorium lainnya ditata rapi.
“Deh, dua setengah milyar kapang ini,” kata si perempuan muda itu sambil menebak nilai alat-alat yang ada di depannya.
“Ah, ndak sampai ji,” seorang pria berambut gondrong terikat membantahnya.
Malam sebelumnya, saya dan Anchu sudah diajak ke laboratorium itu. Oleh si pria berambut gondrong bernama Anto itu, kami diperkenalkan pada deretan alat-alat itu beserta fungsinya. Sebagai orang yang tidak tahu apa-apa soal dunia biologi, kami hanya mengangguk-angguk seolah paham. Reaksi kami berbeda dengan reaksi Tismi Dipalaya, perempuan muda yang datang sehari kemudian.
Tismi adalah lulusan fakultas biologi dan tentu saja paham betul kegunaan dan harga alat-alat yang ada di depan matanya. Tidak heran dia seperti anak kecil yang kegirangan, gabungan antara takjub, heran dan tidak percaya. Mungkin dia tidak percaya, di desa yang lumayan jauh dari riuh dan hiruk pikuk kota besar itu ada sebuah bangunan dengan alat laboratorium yang lumayan lengkap. Alat yang biasanya hanya ada di kampus-kampus atau laboratorium milik perusahaan.
*****
“Petani di sini biasami pakai itu alat,” kata Asfriyanto atau akrab disapa Anto, pria gondrong kelahiran Riau yang menjaga Tanete Institute. Menurutnya, mereka berusaha mengubah persepsi kalau laboratorium itu adalah sesuatu yang ekslusif dan sakral. Hanya boleh dijamah oleh mereka yang berpendidikan tinggi dengan pakaian serba putih dan steril. “Lebih baik alat rusak karena dipakai, daripada rusak karena dibiarkan begitu saja,” sambungnya.
Petani di sana, menurut Anto, sudah bisa melakukan riset sederhana. Mengetes tanah atau beragam tanaman serta mikroba. Semua diajarkan secara perlahan, belajar bersama-sama dalam suasana yang santai dan tidak formil.
Tanete Institute sendiri berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 1.25 hektar di Dusun Barugae, Desa Kambuno, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba. Jaraknya sekitar lima jam perjalanan sebelah selatan kota Makassar. Dari ibukota Kabupaten Bulukumba, kita masih harus menumpang angkutan umum hingga pasar Tanete, lalu berganti dengan ojek menyusuri jalan menanjak hingga tiba di Dusun Barugae.
Dua bangunan berlantai dua berdiri di tepi sawah. Keduanya tanpa plesteran, batu batanya dibiarkan terekspos begitu saja dengan tiang yang didominasi warna oranye. Satu bangunan berfungsi sebagai laboratorium dan tempat segala urusan administrasi berlangsung, satu lagi sebagai tempat berkumpul dan menginap untuk para tamu.
Di bagian belakang gedung kedua, terhampar sebuah kolam ikan berbentuk agak melingkar yang disekat menjadi dua bagian. Satu bagian diisi ikan lele dan satu bagian yang lebih tinggi diisi ikan mas karper atau biasa disebut ikan karape’ dalam bahasa lokal. Di belakang kolam ikan yang tak seberapa besar itu, kandang ayam dan kandang sapi berdiri kokoh. Tepat di sebelahnya, sawah menghampar luas. Petak-petaknya berisi beragam jenis padi, ada padi dari benih lokal, ada juga dari benih pembagian pemerintah.
Angin sejuk pegunungan menyambut kami. Seekor anjing kampung berwarna cokelat berusia kurang dari setahun yang diberi nama Gonggong mengikuti kami. Menciumi kaki dan kemudian melingkar malas di dekat kaki kami ketika kami asyik bercengkerama di bawah kolong rumah.
“Nama tempat ini dikasih teman, kami tidak pernah pusing mau cari nama,” kata Anto ketika ditanya asal-usul nama Tanete Institute yang juga disingkat TANI.
Pembangunan Tanete Institute dimulai sejak tahun 2014. Sebuah koran lokal pernah mengutip kalimat dari kepala desa yang mengatakan dana pembangunan Tanete Institute datang dari orang-orang kaya di luar negeri. Anto hanya tertawa dan membiarkan saja, meski sebenarnya tidak seperti itu.
Tanete Institute berdiri atas bantuan banyak orang, warga di sekitar menyingsingkan lengan baju, menyumbangkan waktu dan tenaga untuk membangunnya. Sampai sekarang pun mereka masih terus bekerja, membenahi dan memperbaiki bangunan dan pendukungnya.
Minggu pagi itu (19/3) beberapa warga berdatangan. Mereka ada yang memotong pipa, ada yang memasang atap seng di kandang sapi. Mereka datang tanpa diminta, tanpa disuruh dan tentu saja tanpa digaji.
*****
“Ini padi Rangong, padi benih lokal yang terakhir ditanam tahun 1983,” kata Anto. Ketika itu dia menemani saya menengok petak-petak sawah di samping gedung Tanete Institute.
Menurutnya, benih padi itu ditemukan di langit-langit sebuah rumah tua milik seorang warga. Seperti kebiasaan orang di Sulawesi Selatan, padi biasanya memang ditaruh di langit-langit rumah selepas panen. Orang Makassar menyebutnya pammakkang.
Benih itulah yang kemudian oleh Tanete Institte berusaha diteliti dan dikembangkan. Mereka percaya padi lokal punya banyak kelebihan dibanding padi-padi dari luar. Padi lokal tentu lebih adaptif dengan iklim dan tanah di sana, selain itu biasanya juga lebih tahan terhadap hama. Hasilnya pun lebih banyak.
Salah satu dari lebih 30an jenis padi yang sedang diteliti dan dikembangkan Tanete Institute adalah padi Sigro. Padi itu adalah jenis padi gunung yang awalnya dikembangkan di Jambi dan sekarang coba dikembangkan di Tanete.
“Coba lihat bedanya, ini padi dari pemerintah dan ini padi Sigro,” kata Anto sambil menyodorkan dua batang padi di tangan kanan dan kirinya.
Dilihat dengan mata telanjang saja, kita sudah bisa tahu bedanya. Padi Sigro lebih subur, jumlah bulir dalam satu batangnya jauh lebih banyak dari jumlah bulir dalam satu batang padi pemberian dari pemerintah. Padahal usianya sama, sama-sama 80 hari.
Tanete Institute memang terus fokus kepada kegiatan riset dan pengorganisasian petani. Mereka terus mempelajari dan mengembangkan beberapa jenis padi dan tanaman lain yang dianggap cocok dengan tanah di Tanete, selain tentu saja bisa mendatangkan nilai ekonomis yang tinggi. Kegiatan riset dimulai bukan hanya dari sisi tanaman saja, tapi juga dari tanah yang akan jadi medium penanaman. Semua dilakukan bersama-sama, termasuk oleh para petani sendiri.
*****
“Hak asasi tanaman itu adalah bertumbuh, kita yang kadang merusak prosesnya. Maunya cepat-cepat,” kata Anto.
Kata-kata itu dilontarkannya ketika kami mengobrol soal pertanian organik. Menurutnya, keinginan manusia untuk memperoleh hasil cepat dengan memaksakan bahan-bahan kimia itulah yang justru merusak tanaman. Para petani di Tanete berusaha tidak memilih jalan itu. Dengan beragam riset dan penelitian, mereka mencari cara untuk mendukung hak asasi tanaman tanpa harus memaksa tanaman itu berproduksi secara cepat.
Di Sumba juga ada petani yang mengembangkan pertanian organik. Simak kisahnya di sini
Tapi bertani secara organik, menurut Anto juga tidak mudah. Petani yang terbiasa memeroleh hasil instan dengan bantuan bahan-bahan kimia tentu tidak serta merta mau berpaling ke pertanian organik. Mereka butuh bukti dulu, dan inilah yang coba dilakukan oleh Tanete Institute. Mereka mencoba meneliti dan mengembangkan benih lokal yang lebih tahan hama, lebih cocok dengan kultur tanah di sana dan tentu saja lebih menghasilkan.
Perorganisasian petani juga menjadi sesuatu yang penting buat Tanete Institute. Para petani didorong untuk berorganisasi dan mengembangkan kemampuan mereka. Salah satu hal yang dilakukan adalah memberi pengetahuan tentang riset sederhana pada mereka.
“Kalau soal teknis, petani mi itu jagonya. Kita tinggal support saja,” kata Anto.
Selain bertani, anak-anak muda di sekitar Tanete Institute juga belajar hal lain. Di antara mereka ada yang belajar tentang bio gas, dan bahkan sudah sampai pada level cukup menguasai. Sebagian lagi dididik untuk belajar pemetaan dengan sistim GIS.
Saat ini mereka sedang membantu desa untuk melakukan pemetaan partisipatif dengan menggunakan program GIS. Semua dilakukan oleh para kader desa yang adalah anak-anak muda. Hal-hal itulah yang menurut Anto berfungsi sebagai dukungan atau support bagi desa. Desa punya banyak potensi, tinggal mendukung mereka untuk mengembangkan potensi itu.
*****
Udara dingin semakin menyergap, membuat saya harus merapatkan jaket yang saya kenakan. Beberapa kali listrik padam malam itu. Langit yang ditaburi bintang menghampar di angkasa, sinar bulan yang belum seminggu lepas dari purnama membuat suasana malam semakin syahdu. Beberapa kunang-kunang terbang di antara batang-batang padi, tubuhnya mengeluarkan cahaya kerlap-kerlip seperti lampu kecil yang terbang ke sana ke mari. Gonggong tidur melingkar tidak jauh dari kaki saya. Malam semakin larut, udara semakin dingin, namun obrolan semakin hangat. Bagi orang kota seperti saya, menikmati semua suasana itu ditambah malam yang bertabur bintang, suara jangkrik, deru aliran sungai kecil dan udara sejuk adalah sebuah kemewahan. Belum lagi cerita tentang para petani yang berdaya dari Tanete. Lengkap sudah malam kami.
Jauh dari gemerlap lampu kota, kami menikmati kemewahan di Tanete Institute. [dG]