Kisah Para Petani

ilustrasi petani

“Kalau mau swasembada beras, kita harus memuliakan petani,” kata pria itu.

Namanya Kang Rahmat, pria asal Sunda yang mengabdikan beberapa tahun terakhir hidupnya di tanah Sumba, tepatnya Sumba Timur. Kalimat itu terlontar dalam sebuah obrolan tentang pertanian yang digelar kantor tempat saya sekarang bekerja.

Dalam kisaran dua tahun terakhir ini saya memang banyak berhubungan dengan dunia pertanian, peternakan dan kehutanan. Akhirnya banyak istilah tentang dunia itu yang menambah wawasan saya, plus melihat langsung kehidupan para petani di beberapa daerah di Indonesia.

Dalam persentuhan itu tiba-tiba makin menguat kesan kalau banyak dari kita yang masih menempatkan petani sebagai warga negara kelas dua, sebagai pekerjaan yang tidak terlalu mentereng. Pekerjaan sebagai petani berbeda jauh dengan pekerjaan sebagai dokter misalnya, atau katakanlah insinyur, pengacara, atau bahkan pegawai baik pegawai negeri atau pegawai swasta.

Saking tidak menterengnya pekerjaan petani, ketika ada seorang anak petani yang dianggap sukses di pekerjaan lain maka orang akan membesar-besarkannya.

“Wah hebat ya, dia bisa jadi dokter padahal orang tuanya hanya petani,”

“Tidak nyangka ya, cuma anak petani tapi dia bisa juara olimpiade matematika,”

Di beberapa media anggapan seperti itu juga ditumbuhsuburkan. Kita pasti sudah akrab dengan judul berita semisal: Anak Petani Berhasil Meraih Penghargaan Internasional, dan semacamnya. Judul-judul seperti itu semacam penegasan kalau profesi petani itu kurang mentereng dan ketika anak-anak mereka berhasil meraih penghargaan atau prestasi akademik, maka itu adalah sebuah kebanggaan. Nadanya tentu berbeda dengan misalnya seorang anak dokter yang meraih penghargaan.

Anggapan itu menjalar ke mana-mana, bahkan sampai ke kalangan petani sendiri. Berapa banyak petani yang berharap anak-anak mereka akan tumbuh dan menjadi petani seperti mereka? Petani biasanya berharap anak mereka akan sukses menjadi dokter, pengacara, pejabat, pegawai negeri sipil atau profesi kantoran lainnya yang tentu saja jauh dari desa mereka. Jarang ada petani yang berharap anak-anak mereka menjadi petani juga.

Kalaupun akhirnya ada anak petani yang meneruskan profesi orang tua mereka, maka itu adalah kecelakaan setelah dia tidak berhasil meraih tujuan pertama dalam hidup mereka. Bukan sekali dua kali saya menemukan orang seperti ini. Petani yang pasrah menjadi petani karena mereka putus sekolah atau tidak berhasil menembus gerbang Pegawai Negeri Sipil. Intinya, menjadi petani adalah pilihan terakhir, ketika pilihan lain sudah tertutup.

Meski dianggap bukan profesi mentereng, toh petani juga tetap jadi target menangguk untung. Tahu kalau ladang pertanian bisa mendatangkan banyak keuntungan, banyak pihak lalu menjadikan para petani sebagai target utama. Dari pengusaha pupuk, benih dan pestisida, pemberi layanan kredit baik legal maupun ilegal, sampai pengusaha yang menimbun hasil pertanian dengan tujuan memainkan harga.

Bahkan, ketika para petani di Kendeng, Jawa Tengah melakukan aksi protes atas pembangunan pabrik semen di kawasan lahan pertanian mereka, ada juga orang-orang yang seakan tidak percaya itu murni aksi mereka. Hanya karena para petani itu melakukan aksi yang berbeda dari biasanya, menyemen kaki di depan istana negara, lalu muncullah tuduhan kalau aksi mereka ditunggangi para pekerja LSM.

Mungkin saja tuduhan itu muncul karena menanggap tidak mungkinlah petani bisa sampai punya ide segila itu. Andai saja aksi protes para petani itu dilakukan dengan cara turun ke jalan membawa cangkul lalu berakhir ribut, maka komentar mereka mungkin akan berbunyi; wajarlah, namanya saja petani.

Kalau saja aksi para petani Kendeng itu dilakukan oleh “orang kota” maka aksi itu mungkin akan diberi label performing arts, aksi yang berbalut seni. Tapi karena pelakunya petani maka asumsi yang muncul adalah: mereka pasti ditunggangi, diberi ide gila di luar kebiasaan mereka.

Padahal wahai saudara-saudaraku sekalian, bisa apa kita tanpa para petani itu? Mau makan semen dan batu bata sebagai pengganti padi dan sayuran? Atau mau makan besi? Kan tidak mungkin.

Di balik asumsi bahwa petani adalah profesi buangan, hidup miskin dengan pakaian mereka yang kotor penuh lumpur (ya iyalah, masak mau ke sawah pakai jas atau kemeja?), sesungguhnya profesi mereka sangat penting. Sebagai negara agraris yang punya lahan pertanian luas, petani ada di garda terdepan untuk menjamin kelangsungan hidup jutaan orang di Indonesia. Mereka dengan segala dinamika dan tantangan hidupnya adalah para pahlawan yang sesungguhnya, yang tidak berpikir bagaimana bisa tersorot gemerlap lampu, terpapar tepukan tangan.

Jadi sebenarnya apa inti tulisan ini?

Tidak ada sih, ini sekadar catatan keresahan saja dari saya, sekaligus alasan buat menambah artikel di blog yang sudah lama tidak terbarukan ini. Tapi meski begitu, saya harus memberi pujian dan rasa salut yang besar untuk para petani di Indonesia dan di manapun di dunia ini.

Sekian dan terima kiriman beras. [dG]