Kisah perjalanan 12 hari (Bag.1)

?pemandangan bukit di jalur Majene-Mamuju

Akhirnya, setelah 3 minggu lebih saya punya kesempatan (dan semangat) lagi untuk kembali mengisi blog ini. Penyebab utama saya absen agak lama dari dunia maya adalah karena perjalanan marathon selama 12 hari melintasi 2 propinsi di Indonesia.

Perjalanan pertama adalah perjalanan darat ke propinsi Sulawesi Barat, khususnya ke kota Mamuju. Perjalanan ini dalam rangka dinas dan dimulai sejak hari Rabu 14 Januari kemarin. Hari itu saya dan 6 orang teman serombongan agak beruntung karena cuaca kota Makassar sedang sangat bersahabat. Sebelumnya kota Makassar sangat akrab dengan hujan, tapi Alhamdulillah hari itu matahari sedang rajin untuk bersinar, dan sinarnya itulah yang menemani kami sepanjang perjalanan ke Mamuju.

Mamuju adalah sebuah kota yang kini menjadi ibukota propinsi Sulawesi Barat. Kota seluas 801.406 Ha dengan penduduk sekitar 270.000 orang ini berjarak kurang lebih 450 KM sebelah utara kota Makassar.

Akses darat ke kota Mamuju lumayan sulit. Setelah melewati kota Pinrang yang merupakan perbatasan antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, kita akan segera masuk ke kota Polewali Mandar (dahulu Polewali Mamasa) yang merupakan gerbang Sulawesi Barat. Kota ini terus terang terasa lebih hidup dari kota Mamuju, mungkin karena jaraknya yang lebih dekat dari kota Makassar. Kami sempat melewatkan satu malam di kota ini.

Dari kota Polewali Mandar menuju ke Utara kita akan sampai di kota Majene sambil melewati beberapa kota kecamatan yang dulunya merupakan sasaran para transmigran dari pulau Jawa. Tak heran bila nama daerahnyapun beraroma Jawa, semisal kota Wonomulyo. Waktu tempuh dari kota Polman ke kota Majene kurang lebih 2 jam atau kira-kira 60 KM.

Jalur darat dari kota Polman ke Mamuju ternyata memang berat. Jalannya cukup sempit dan setelah melewati kota Majene jalanan lebih banyak berkelok-kelok melewati punggung bukit. Jarak dari kota Polman ke Mamuju sekitar 200-an KM yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 5 jam.

?

?

Sisa-sisa banjir bandang di daerah Tinambung

Perjalanan makin berat karena kami harus melewati jalur bekas musibah banjir bandang tersebut. Beberapa jembatan memang sempat terputus dan disambung secara darurat. Benar-benar bikin deg-degan saat melewatinya. Di sepanjang, utamanya di daerah Tinambung, sisa-sisa keganasan alam masih terlihat jelas. Puing-puing bekas banjir bandang berserakan di sepanjang jalan. Beberapa warga yang rumahnya masih sempat lolos dari banjir nampak sibuk membersihkan rumah dari lumpur, pun anak-anak sekolah yang sibuk membersihkan barang-barang di sekolah mereka yang baru saja terendam. Pemandangan yang sangat menyedihkan.

Selepas daerah Tinambung yang memilukan itu, perjalanan mulai berganti dengan suasana yang berbeda. Pemandangan indah di sisi kiri-kanan  jalan terhampar dengan jelas. Di sebelah kanan ada perbukitan yang hijau sementara di sisi kiri ada pantai yang menghampar luas lengkap dengan pohon kelapa yang melambai-lambai. Tapi saya tidak bisa sepenuhnya menikmati pemandangan indah itu, bayangan para korban bencana yang tadi sempat tersaji rasanya masih membekas dengan kuat di benak, bahkan hingga kini.

Jalan yang meliuk-liuk di punggung bukit seperti biasa sangat potensial menghadirkan rasa mual, dan kondisi ini terus berlangsung hingga kurang lebih 1 jam. Untungnya tak ada anggota rombongan yang sampai menyerah dan muntah meski rasa mual itu juga tak bisa dihindari.

Kurang lebih 6 jam kemudian – lebih lambat dari waktu yang diperkirakan – kami akhirnya memasuki kota Mamuju, kota yang menjadi ibukota propinsi Sulawesi Barat. Jarak Mamuju-Makassar sebenarnya bila ditempuh secara marathon bisa memakan waktu kurang lebih 10 jam. Selain akses darat, kota Mamuju juga bisa dicapai lewat udara salah satunya dengan menggunakan jasa Merpati Airlines.

Agak di luar dugaan saya, kota ini ternyata lebih kecil dari yang saya bayangkan. Seperti umumnya kota kecil lainnya, kota ini juga dibelah oleh sebuah jalan poros yang menjadi nadi kehidupan. Di sepanjang jalan poros tersebut ada bangunan-bangunan kantor pemerintahan, terminal bus antar kota, bank dan hotel.

Kota Mamuju berada di pinggiran pantai. Pantainya memanjang sejauh kurang lebih 1 kilometer dengan tanggul rendah yang memisahkan daratan dengan lautan. Tak jauh berbeda dengan kota Polman. Di sepanjang pantai inilah para pedagang makanan dan minuman menggelar tendanya di malam hari.

Hal pertama yang saya tangkap dari kota ini selain luasnya yang tak seberapa adalah bahwa biaya hidup di kota ini tergolong mahal, utamanya bila dibandingkan dengan kota Makassar. Hal pertama yang kami lakukan saat tiba adalah mencari warung makan buat mengisi perut. Saya cukup kaget juga mendapati seporsi soto ayam plus nasi dihargai Rp. 14.000,- padahal di Makassar, makanan dengan kualitas serupa paling mahal hanya seharga Rp. 8.000,-.

Asumsi saya makin benar setelah berkunjung ke rumah petak seorang teman. Sebuah bangunan seluas 5 x 12 M yang  di interionya disekat untuk dijadikan ruang tamu, 1 kamar tidur, 1 kamar mandi dan dapur di ujung belakang harga kontraknya adalah Rp. 6 juta setahun. Padahal di Makassar, bangunan serupa paling mahal hanya Rp. 3 juta setahun. Kata sang teman, harga kontrakan sebuah rumah tipe 36 bisa mencapai Rp. 12 juta setahun, sangat mahal bila dibandingkan dengan harga kontrakan di Makassar. Harga segitu untuk kota Makassar bisa untuk mengontrak rumah tipe 60-an di lingkungan menengah.

Kata sang teman, harga yang mahal tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa banyak pegawai yang bertugas di kota Mamuju adalah para pendatang. Sebagian besar penduduk asli lebih memilih untuk bertani dan berdagang. Para pendatang tersebut tentu tak bisa langsung membeli rumah sehingga tujuan pertama adalah mengontrak dulu untuk sementara dan karena tingginya permintaan maka tak heran para pengusaha kontrakan berlomba-lomba mematok harga tinggi. Hal ini juga berlaku untuk produksi makanan yang mana sebagian besar peminatnya adalah para pendatang tersebut.

Hotel tempat kami menginap juga membuktikan kalau akomodasi di kota Mamuju memang mahal. Sewa kamar hotel Mamuju Beach yang terletak di tepi jalan poros, seharinya mencapai harga 300-an ribu rupiah, tapi kondisi kamarnya hanya beda tipis dengan wisma. Kamarnya selebar kira-kira 5×6 M, kamar mandinya bershower tapi tanpa air panas dengan kloset jongkok. Ada satu ember besar di dalam kamar mandi yang tak punya wastafel itu. TV-nya TV 14 inch dengan remote yang lebih sering macet. Untung saja AC-nya tetap dingin. Setahu saya, dengan harga seperti itu di Makassar, kita bisa dapat hotel dengan fasilitas yang cukup, minimal punya air panas di kamar mandinya dan TV yang lebih besar. Hotel di Polewali Mandar yang harganya lebih murah rasanya masih jauh lebih nyaman.

Selama di Mamuju saya juga tidak bisa bertemu dengan internet. Kata teman saya, hanya ada dua Warnet di kota itu, itupun warnetnya masih pakai Telkomnet Instant. Kebayang kan lemotnya ?Walhasil saya lebih memilih untuk berpisah sejenak dengan internet, daripada musti gondok menunggui akses internet yang super lemot.

Cerita tentang sebagian besar pegawai yang berasal dari luar kota terasa kebenarannya di saat hari Jumat menjelang. Sebagian besar kantor pemerintahan kosong melompong gara-gara banyak pejabatnya yang pulang ke Makassar. Biasanya Jumat pagi mereka sudah siap-siap ke Makassar dan baru akan kembali pada hari Minggu malam.

Secara umum pertumbuhan kota Mamuju bisa dikatakan sangat lambat. Dari cerita teman saya katanya setiap tahun ada saja dana pembangunan yang harus dikembalikan karena tak terpakai. Sepertinya investor agak sungkan untuk ramai-ramai menyerbu kota Mamuju salah satunya karena akses darat yang agak berat tersebut.

Di kantor pemerintah propinsi saya melihat sebuah maket perencanaan kota baru yang letaknya agak di luar dari kota yang ada sekarang. Dalam perencanaan tersebut tergambar rencana pembangunan pusat perbelanjaan, kompleks kantor pemerintahan propinsi serta rumah dinas Gubernur yang letaknya agak di ketinggian dengan view yang menghadap ke teluk mandar.

Kantor gubernur, gedung DPRD TK.1 dan rumah jabatan gubernur yang sekarang terpakai nampak sangat sederhana. Berbeda jauh dengan kantor bupati Mamuju, gedung DPRD TK.2 dan rumah jabatan bupati Mamuju. Hal ini bisa dimaklumi karena toh segala kantor dan fasilitas kabupaten Mamuju telah lebih dahulu tersedia jauh sebelum terbentuknya propinsi Sulawesi Barat.

Tapi, di antara beberapa kantor yang sempat saya dan teman-teman masuki, ada satu hal yang nyaris seragam, toiletnya sangat tidak terawat.!!. Saya tidak tahu apakah ini adalah penyakit yang sama di semua kantor instansi pemerintahan atau tidak, tapi yang jelas dari mulai kantor Gubernur, kantor DPRD TK.2 dan kantor bupati Mamuju semua toiletnya tak ada yang beres, setidaknya toilet untuk umumnya karena saya yakin kalau toilet untuk para pejabatnya pasti harum mewangi (tapi kalau ternyata menyedihkan juga, saya tak tahu harus bilang apa).

Di kantor DPRD TK.2 yang megah dan nampaknya masih baru itu, toiletnya mampu membuat nafsu untuk buang hajat menghilang seketika. Demikian pula di kantor Gubernur. Toiletnya bau menyengat, tak ada air setetespun di bak mandinya dan lantainya, naudjubillah..penuh dengan kotoran sebangsa puntung rokok ataupun sampah lainnya. Saya sampai bertanya-tanya, kapan terakhir kali toilet ini terpakai. Kondisi toilet kantor bupati Mamuju sedikit lebih manusiawi. Ada air yang mengalir dari kran tapi bau pesing tetap saja menyengat dan lantainya penuh dengan lumut. Saking tidak teganya, saya sampai menyiram dan menggosok lantainya pake kaki sampai kelihatan agak bersih. Bukan apa-apa, bangunan itu kelihatan sangat megah dari luar meski ternyata berbanding terbalik dengan kondisi kebersihan interiornya. Secara bercanda teman saya sampai bilang kalau kita bisa dapat keuntungan dari bisnis menyediakan jasa kebersihan kantor di kota Mamuju.

Selama 5 hari di kota Mamuju kami hampir menjelajahi seluruh sudut kota dan hapal semua jalur yang memang tak begitu sulit untuk dihapalkan. Hari senin pagi tanggal 19 Januari kami meninggalkan Mamuju, teman-teman serombongan sebagian besar mengaku butuh waktu lama agar mau kembali ke kota Mamuju. Saya sendiri sih asyik-asyik aja, kalau memang ada kesempatan saya pikir apa salahnya kembali ke sana, meski bukan untuk menetap. Sepertinya menarik untuk melihat perkembangan kota ini 2 atau 3 tahun ke depan. Siapa tahu saja saat itu kota baru yang sekarang masih direncanakan nantinya akan jadi kenyataan. Yah, siapa tahu..