Catatan perjalanan 12 hari (Bag.2)
Postingan kali ini adalah lanjutan dari postingan terdahulu, masih berkisah tentang perjalan marathon selama 12 hari yang saya jalani dari tanggal 14 s/d 25 Januari 2009.
Setelah kurang lebih 8 hari berada di propinsi Sulawesi Barat, maka selanjutnya perjalanan dialihkan ke pulau Dewata Bali, tepatnya di daerah Bedugul dan Kuta. Ini adalah kali kedua saya menginjak pulau Bali, dan kedua-duanya (syukurnya ) dibiayai kantor. Hanya saja agak berbeda dengan kunjungan pertama saya tahun 2007 lalu, kunjungan kali ini tidak sepenuhnya bertema jalan-jalan. Kunjungan kali ini adalah dalam rangka mengikuri kegiatan Outbond yang digelar kantor, tapi tetap saja unsur jalan-jalannya terselip.
Kegiatan outbond kali ini adalah kali yang kedua yang digelar kantor kami. Bulan Juni tahun lalu sebagian besar karyawan kantor sudah lebih dulu menjalaninya. Waktu itu yang berangkat adalah para karyawan level middle staff, head section, manager hingga direksi. Sebenarnya saya masuk dalam daftar yang ikut waktu itu, hanya saja kebetulan lutut saya masih belum sembuh pasca cedera waktu main bola, sehingga kemudian saya musti menunggu giliran berikutnya.
Waktu itu saya sempat kecewa sebenarnya, tentu saja karena melewatkan satu momen beramai-ramai bersama teman-teman. Tapi, setelah mengikuti Outbond gelombang kedua ini saya malah bersyukur karena tidak diikutkan di gelombang pertama. Kenapa ?Karena gelombang kedua ini ternyata lebih santai dari gelombang pertama. Peserta gelombang pertama jelas tidak terlalu santai karena adanya para bos yang juga ikut serta, beda dengan gelombang kedua ini yang seluruh pesertanya adalah para staff dengan level yang hampir setara, jadi acaranya bisa lebih santai dan tentu saja lebih bebas, lagipula isi acaranya ternyata lebih seru dari gelombang pertama.
Perjalanan dimulai hari Kamis 22 Januari. Ini kali pertama saya masuk dan berangkat dari bandara baru Sultan Hasanuddin. Bandara yang menelan biaya sekitar Rp 450 M ini ternyata memang megah dan modern. Saya lumayan terkesima melihatnya. Kami menumpang Lion Air, berangkat sekitar pukul 9.45 pagi dan tiba sejam kemudian di Ngurah Rai, Denpasar.
Tujuan pertama setelah menginjakkan kaki di pulau Bali adalah hotel Saranam Eco Resort di kawasan Bedugul, kurang lebih 3 jam perjalanan ke arah utara kota Denpasar. Perjalanan cukup menyenangkan karena diselingi canda tawa rombongan, hampir semua peserta terlihat sangat excited, apalagi karena sebagian besar peserta adalah orang-orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Bali, atau bahkan belum pernah naik pesawat sebelumnya.
Kami tiba di hotel sekitar pukul 2 siang. Saranam Eco Resort terletak di sebuah tebing dengan pemandangan yang eksotis. Karena letaknya di tebing maka kamar-kamar di hotel ini dibangun bertingkat-tingkat mengikuti kontur tanahnya. Di level paling bawah berserakan beberapa cottage yang dikelilingi taman yang indah. Hujan rintik-rintik menemani kami sore itu, dingin angin perbukitan juga lumayan menusuk.
Tapi, rasa dingin dan hujan yang mengguyur lembut tak serta merta membuat nafsu untuk berenang kami jadi surut. Sayalah yang pertama memanas-manasi teman-teman untuk mencicipi kolam renang hotel. Saya memang paling suka berenang, apalagi kalau gratis. Maka, meski awalnya ragu-ragu beberapa orang teman akhirnya ikut menceburkan diri ke kolam renang milik hotel. Dinginnya lumayan menusuk tapi serunya juga tetap terasa.
Keesokan harinya acara inti yang menjadi tujuan kami ke Bali akhirnya digelar. Diawali dengan games kecil dan pembagian grup di halaman hotel, rangkaian acara Outbondpun dimulai.
Jumlah peserta keseluruhan ada 31 orang yang dibagi ke dalam 4 tim. Keempat tim inilah yang nantinya akan diadu dalam beberapa rangkaian acara dan games. Acara pertama adalah hiking, melintasi danau dan masuk ke dalam hutan tropis yang basah di ketinggian kurang lebih 9000 m di atas permukaan laut. Areanya masih di sekitar Bedugul juga, tak jauh dari danau Batur.
Jarak hikingnya sebenarnya tak seberapa jauh, hanya saja medan yang berat lumayan menyita energi juga, apalagi rimbunan pepohonan kadang mempersulit perjalanan. Sambil berjalan di hutan, setiap peserta dibekali kantong kresek yang diisi sampah non organik. Jadi sepanjang perjalanan, selain sibuk menguat-nguatkan diri berjalan di tengah hutan, kami juga sibuk mengumpulkan sampah plastik. Nantinya tim yang mengumpulkan sampah terbanyak juga akan mendapatkan penghargaan khusus.
Di akhir acara hiking yang melelahkan, 3 buah games sudah menunggu. Bertempat di sebuah tanah lapang yang luas, keempat tim diadu. Games pertama adalah adu yel-yel. Masing-masing tim mempersiapkan dan kemudian menunjukkan yel-yel mereka di hadapan tim-tim lainnya. Tim yang lain itulah yang bertindak sebagai juri, saling bergantian sebagai peserta dan juri.
Games kedua adalah games buldozer. Masing-masing tim berada dalam sebuah kain melingkar yang menyerupai ban buldozer. Setelah siap, maka masing-masing tim akan berlomba dalam sebuah jalur dengan jarak yang sudah ditentukan. Games ini punya kesulitan yang cukup tinggi karena memerlukan koordinasi yang bagus antar anggota tim. Salah koordinasi sedikit kaki teman bisa terinjak dan semua anggota tim bisa saling tubruk dan berjatuhan.
Games terakhir adalah labirin. Sebuah labirin kecil diletakkan di tengah. Di beberapa titiknya terdapat tali yang diikatkan ke leher anggota tim. Tugas para anggota tim adalah mengeluarkan dua buah kelereng dari tengah labirin tanpa menyentuhnya dengan tangan. Jadi, setiap tim musti mengatur tinggi rendahnya posisi mereka untuk memandu sang kelereng keluar dari labirin. Lumayan susah, apalagi bagi tim yang anggotanya sulit berkoordinasi.
Dari ketiga rangkaian games tadi, rekapitulasi nilai tim saya akhirnya jadi yang tertinggi. Selisihnya tipis dari tim yang duduk di urutan kedua. Rekap angkanya hanya beda 15 poin. Tim kami memang tidak pernah keluar sebagai juara pertama, tapi kami konstan berada pada urutan kedua, berbeda dengan tim lain yang prestasinya naik turun. Sebagai hadiah, kami mendapatkan previlege menikmati jus jeruk dingin dan anggur, wuihh..nikmatnya, apalagi kami menikmatinya di bawah tatapan iri tim-tim lain, hahaha..
Nah, kelar acara pertama kami segera masuk ke acara berikutnya yaitu cycling atau bersepeda. Setiap orang dibekali satu sepeda gunung, bukan sepeda gunung biasa tapi sepeda gunung canggih yang harganya jutaan rupiah. Setiap tim akan menempuh jarak sekitar 22 KM berbekal peta buta.
Di sesi bersepeda inilah kekompakan tim kami sekali lagi terbukti. Karena 2 orang anggota tim kami perempuan, maka kecepatan dan kekuatan merekalah yang menjadi standar. Saya mengkoordinir teman-teman se tim agar tetap dalam satu himpunan, jangan tergoda untuk jalan sendiri apalagi sampai ngebut karena toh yang dinilai adalah kekompakan tim, bukan kecepatan. Walhasil sepanjang rute tim kami selalu berada dalam jarak yang rapat, berbeda dengan tim lain yang anggotanya rata-rata saling terpisah bahkan ada tim yang salah membaca peta.
Di sesi bersepada ini jugalah terlihat bagaimana sifat egois seseorang bisa keluar dengan mudahnya, belum lagi ujian bagi para tim leader yang tidak mampu mengatur anggota timnya. Sebagai seorang tim leader, saya cukup bersyukur bahwa rekan-rekan setim saya semuanya sangat mudah dikoordinir dan tak egois.
Setelah diselingi dengan acara makan siang, sholat dan istirahat serta insiden cederanya 2 orang peserta, maka kami tiba di garis finish sekitar pukul 3 sore. Di garis finish sempat digelar lagi satu games antar tim dan sekali lagi tim saya duduk di urutan kedua.
Tak menunggu lama selepas games ringan itu para peserta digiring ke pinggir sungai Ayung setelah menuruni 400-an anak tangga yang cukup melelahkan. Bagaimana tidak, kami baru saja bercapek-capek dengan sepeda sejauh 22 KM masih harus ditambah pula dengan menuruni tangga di tebing yang terjal. Tapi ternyata siksaan itu jadi tak terasa begitu tahu acara apa yang kemudian menunggu kami. Acara pamungkas kami sore itu adalah arung jeram..wow..!!
Yup, saya sudah lama penasaran tentang bagaimana rasanya memompa adrenalin di arus sungai menggunakan perahu karet, dan Alhamdulillah sore itu impian saya jadi kenyataan. Saya duduk di atas perahu karet dengan 3 orang teman lainnya serta seorang instruktur. Arus sungai Ayung lumayan deras dengan beberapa titik yang cukup menantang untuk diarungi. Meski kata sang instruktur jalur yang kami tempuh adalah jalur paling bersahabat tapi tetap saja euforia menikmati arung jeram bisa saya rasakan.
Yang paling berkesan adalah saat perahu karet oleng saat masuk ke pertemuan arus. Beberapa kali saya sempat menarik life jacket teman seperahu saya yang hampir saja terlempar keluar perahu. Jalur yang kami tempuh panjangnya kira-kira 10 KM, cukup panjang dan pada akhirnya terasa cukup melelahkan. Tapi mengingat pengalaman sepanjang jalur tadi, rasanya semua kelelahan itu hilang dalam sekejap tergantikan sensasi menikmati arus sungai yang cukup mendebarkan.
Akhir acara outbond kami sore itu adalah pembagian penghargaan. Penghargaan dibagi atas beberapa kategori, ada pengumpul sampah terbanyak, peserta paling ribut, peserta paling aparat, peserta paling favorit dan peserta terbaik. Saya kebagian penghargaan peserta terbaik, entah apa barometernya. Memang sih sepanjang acara selalu ada instruktur yang mengikuti semua kegiatan kami, dan katanya mereka itulah yang mencatat setiap aktifitas para peserta. Mungkin saya terpilih jadi yang terbaik karena sepanjang acara saya mampu menjalin kerjasama yang baik dengan rekan-rekan satu tim, jadi kata saya : saya jadi yang terbaik karena bekerja dengan orang-orang yang terbaik.
Dari arena outbond di Bedugul, rombongan kemudian dibawa ke daerah Kuta, tepatnya di hotel Bali Summer Hotel tak jauh dari Kuta Square. Di sana kami menghabiskan waktu sampai hari minggu sore.
Tiba di Kuta tadinya saya mengira teman-teman akan tepar dan lebih memilih beristirahat, maklum rangkaian outbond tadi sangat menguras tenaga. Tapi, ternyata pikiran saya salah. Selepas menaruh barang di kamar masing-masing dan beristirahat beberapa jenak, teman-teman ternyata masih sangat bersemangat untuk menjelajahi Kuta di malam hari. Akhirnya saya memandu sebagian dari mereka ke Monumen Bom Bali di Legian. Kata mereka : ini Bali bung, kalau Cuma mau beristirahat ngapain jauh-jauh ke sini. Mending tinggal di rumah aja.. ya benar juga sih, mumpung ada di Bali jalan aja terus, soal capek nantilah terasanya biar di Makassar aja.
Keesokan harinya atau hari Sabtu, rombongan dibawa ke Tanah Lot dan tentu saja pasar Sukawati. Dua tempat inilah tempat favorit para tukang belanja. Dan di sinilah saya melihat bagaimana nafsu belanja itu tak memandang jenis kelamin. Para bapak-bapakpun ternyata mampu “mengamuk” sebagaimana layaknya para ibu-ibu saat melihat para pedagang di pasar Sukawati dan Tanah Lot. Saya yang pada dasarnya memang tak tahu cara berbelanja di pasar akhirnya lebih memilih untuk duduk-duduk di taman pasar Sukawati menunggui anggota rombongan yang berbelanja, bahkan di akhir acara saya kesulitan untuk mengingatkan para anggota rombongan agar menyudahi proses belanja mereka.
Sore harinya setiba di hotel saya dan beberapa teman membentuk rombongan kecil yang bergerak ke Joger. Joger sudah menjadi semacam ikon pulau Bali, khususnya bagi para wisatawan lokal. Ke Bali tanpa ke Joger kayaknya jadi kurang lengkap. Dan mungkin itulah yang hinggapdi kepala ratusan orang sore itu. Suasana Joger yang besarnya memang tak seberapa itu jadi terasa sangat padat, jangankan untuk membayar belanjaan, untuk masukpun orang musti antri. Kondisi ini membuat saya yang memang tak niat belanja di Joger untuk memilih duduk-duduk saja di seberang Joger bersama 2 orang teman. Saya merasa tak punya kekuatan yang cukup untuk ikut berebutan masuk ke Joger.
Dalam hati saya kagum pada kesuksesan Joger. Dari sebuah usaha kecil yang mampu membuat sebuah diferensiasi usaha, Joger berkembang menjadi sebuah usaha yang tak bisa dibilang kecil lagi. Entah berapa omset yang bisa mereka raih dalam sehari,apalagi dalam musim liburan.
Sekembalinya dari Joger, saya dan beberapa orang teman hanya sempat mandi sore dan sholat sebelum akhirnya kabur lagi ke pantai Kuta. Menyusuri jalan-jalan di Kuta tepat di malam minggu rasanya sangat menyenangkan. Ratusan turis dalam dan luar negeri berseliweran dengan gaya yang berbeda-beda.
Aura pusat wisata sangat terasa di Kuta. Di sini semua orang terlihat santai dan sangat menikmati hidup, tak ada orang yang kelihatan berpakaian rapih dengan jas atau dasi, yang ada hanya orang-orang berpakaian santai bahkan cenderung seadanya yang berlalu lalang seenaknya. Para pedagang sibuk merayu para pejalan kaki, utamanya para bule. Jejeran toko modern, klub malam dan restoran berlomba-lomba tampil menarik demi menjaring pengunjung sebanyak-banyaknya. Itulah Kuta, daerah tempat orang bersantai dan menikmati hidup. Di sini hedonisme adalah berhala yang disembah orang-orang, semua larut dalam pusaran yang mereka sebut surga seakan tak peduli pada berbagai macam kesulitan, acuh pada berbagai macam masalah, bahkan rasanya mereka hanya hidup untuk hari ini, tak peduli pada hari esok. Makin larut malam makin terasa denyut nadi kehidupan malam itu.
Keesokan harinya, setelah sarapan saya mengajak beberapa orang teman untuk menikmati asinnya laut pantai Kuta. Pada kunjungan pertama dulu saya memang belum sempat menikmati berenang di pantai Kuta karena waktu itu semua kegiatan sudah dijadwal oleh travel. Karena itu, saya rasanya sangat penasaran ingin melihat sekaligus menikmati pantai Kuta di siang hari.
Berenang di pantai yang berombak tinggi ternyata sangat menyenangkan. Pantainya sendiri sebenarnya tak lebih indah dari pantai Bira di Bulukumba, dengan catatan pantai Bira dibersihkan dulu. yang membuat perbedaan hanyalah ombak pantai Kuta yang lebih tinggi. Saya dan teman-teman sangat menikmati sensasi diayun gelombang dan dihempaskan ombak. Luar baisa…saya sempat membayangkan bagaimana rasanya kalau ombak setinggi belasan meter menerjang daratan seperti saat gempa plus tsunami di Aceh. Terkena ombak setinggi semeter lebih saja kita rasanya sudah mampu terlempar ke udara apalagi yang setinggi belasan meter, maut ditanggung pasti menjemput.
Setelah puas menikmati pantai Kuta kami kemudian kembali ke hotel. Berhubung badan masih basah maka saya dan teman-teman memilih untuk jalan kaki setengah telanjang ke hotel. Rasanya luar biasa, belum pernah saya merasakan sebebas itu sebelumnya. Berjalan kaki di trotoar yang ramai dengan hanya memakai celana pendek dan tanpa mengundang tatapan heran orang banyak sungguh sebuah pegalaman yang tentunya tak bisa didapatkan di sembarang tempat. Kata teman saya, kalau berjalan seperti itu di Makassar maka orang-orang dipastikan akan menatap penuh heran bahkan akan segera menempelkan cap “orang gila” di jidat kita. Tapi itulah Kuta, itulah Bali, tempat orang bebas bertingkah dan tampil semaunya..saya jadi ingat lagu lamanya Slank, Terima Kasih Baliku.
Tiba di hotel bukannya langsung berganti pakaian, kami melanjutkan acara basah-basahan dengan terjun ke kolam renang milik hotel. Pokoknya kami tak mau rugi, mumpung kolam renangnya gratis ya kami pakai aja. Puas berbasah-basah kami segera berganti kostum. Tujuan akhir perjalalanan kami di Bali adalah Joger. Saya menuntun teman-teman ke Joger. Sebagian besar memang berniat membeli cindera mata dan ole-ole di Joger. Saya sendiri hanya berniat membeli sebuah topi titipan teman sekantor.
Siang itu Joger tetap ramai. Ratusan pengunjung berdesakan di dalam toko yang tak seberapa besar itu. Saya hanya berkeliling sejenak, menyambar satu topi dan kemudian berdiri dalam satu antrian panjang di depan kasir. Di depan saya para pembeli tampak menenteng keranjang berisi belasan potong kaos, tas atau sweater. Hanya saya yang menenteng sebiji topi di barisan antrian itu. Belakangan tentengan saya juga jadi banyak karena beberapa orang teman menitipkan belanjaan mereka. Sekali lagi saya terkagum-kagum pada Joger. Kreatifitas mereka mampu menyedot ratusan orang dalam sehari, mampu membuat orang-orang itu rela berdesak-desakan dalam toko yang pengap dan kemudian antri berlama-lama hingga betis varises. Semua hanya demi cindera mata berlambang Joger yang asli.
Kunjungan ke Joger itu juga akhirnya menjadi acara pamungkas kami selama 4 hari di Bali. Pukul 4 sore kami sudah berkumpul di Ngurah Rai dan siap-siap kembali ke Makassar. Dan betul juga perkiraan saya, menjelang kepulangan ke Makassar raut lesu mulai terlihat di wajah anggota rombongan. Keluhan tentang rasa letih dan capek yang mendera mulai terdengar di sana-sini, keluhan yang selama beberapa hari ini tidak terdengar sama sekali. Seorang teman yang cedera saat bersepeda baru merasakan dampak dari cedera lututnya, padahal kemarin-kemarin dia cuek saja saat diajak jalan ke sana ke mari. Satu lagi bukti nyata kalau semua yang kita rasakan itu kuncinya ada di pikiran.
Akhirnya, meski capek dan males rombongan tak bisa menolak saat kaki sudah menginjak tanah Makassar lagi. Khusus bagi saya, ini adalah akhir dari perjalanan 12 hari mengunjungi 2 propinsi yang berbeda yang saya lakukan secara marathon. Perjalanan yang mengesankan karena saya sempat merasakan dua keadaan yang berbeda di dua propinsi tersebut. Bagaimanapun, masing-masing perjalanan memang punya cerita sendiri-sendiri, cerita yang akan memperkaya warna kehidupan kita. Ah..tapi bagaimanapun rasanya masih lebih nikmat berada di rumah sendiri dan berkumpul dengan keluarga sendiri, sesuatu yang saya sebut sebagai : back to the real life…
…
Emang paling enak kerja sambil jalan-jalan..cuma capeknya nga ketulungan. 😀
Welkam bek daeng ipul…
enak mana dengan jalan-jalan sambil kerja ?..
keknya yang paling enak tuh jalan-jalan truss..ndak perlu kerja, hihihi..
jalang jalang yuuuu…
uhmm..outboundnya cukup seru….eh gak dink…seru abizz!
apalagi raftingnya..beberapa kali diajakin teman2 waktu kuliah dulu selalu nolak dengan alasan ‘keselamatan’..tapi kemaren…pengen lagi huehehe
seru..karena outboundnya dijalani dgn santai..tanpa ada yg saling ‘menjatuhkan’ atau bahkan katanya (kata cerita :p) sampai kebawa2 ke kerjaan (doh)
Wah enak sekali kerja nya bisa jalan-jalan begitu