Kembali ke Enrekang

kembali ke enrekang
kembali ke enrekang
Maunya sih ini Enrekang

Setelah nyaris 16 tahun, akhirnya saya kembali ke Enrekang.

Mobil Innova yang saya tumpangi tiba-tiba berhenti. Saya terbangun, berusaha mengumpulkan nyawa. Bapak yang duduk di samping saya rupanya mau turun, saya melirik jam tangan. Pukul 05:38 dini hari.

Di mana kita ini? Tanya saya dalam hati. Setelah mengecek Google Maps, saya beroleh jawaban kalau kami sudah ada di kota Pare-Pare. Wow! Hanya dua jam 30 menit kita sudah sampai Pare-Pare? Dalam hati saya berdecak kagum. Kami memang meninggalkan Makassar sekira pukul tiga dinihari dan ternyata dua jam 38 menit kemudian sudah tiba di Pare-Pare.

Dini hari itu saya sedang menuju Kabupaten Enrekang yang berjarak sekira 235 km sebelah utara kota Makassar. Tujuan utamanya adalah memenuhi undangan dari teman-teman komunitas literasi di sana. Mereka sedang menggelar Bisang Festival di dusun Bisang, Kelurahan Lewaja, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang. Bisang Festival ini adalah rangkaian acara dalam rangka mempersiapkan Bisang sebagai desa wisata. Salah satu rangkaiannya adalah kelas menulis yang meminta saya untuk berbagi. Tawaran yang tentu saja saya iyakan. Toh saya memang senang berbagi, apalagi kalau yang mengundang komunitas atau teman-teman sesama relawan.

Biasanya dalam acara seperti ini saya jalan beramai-ramai bersama teman-teman Kepo Initiative. Tapi kali ini karena beberapa faktor, mereka tidak bisa ikut. Jadilah saya sendirian yang melintasi jalan darat menuju Enrekang sambil membawa panji Kepo Initiative.

Kami juga pernah berbagi di Bone, ceritanya ada di sini

Sudah lama sekali saya tidak ke Enrekang. Seingat saya terakhir ke sana tahun 1999 bersama teman-teman kuliah. Dua kali ke Enrekang saya sempat merasa kalau kabupaten itu adalah salah satu favorit saya. Alamnya indah, udaranya sejuk dan orang-orangnya ramah. Sayang, kenangan itu perlahan luntur karena lama tidak diperbaharui lagi.

Mobil kembali berjalan, saya kembali menutup mata. Perjalanan masih jauh, kata saya dalam hati.

Saya kembali membuka mata karena rasanya mobil kembali berhenti. Di luar matahari mulai bangun. Saya melirik jam tangan, pukul 06:20. Sekali lagi saya mengecek posisi lewat Google Maps. Ternyata kami sudah ada di daerah Maroanging, sebuah kecamatan yang merupakan perbatasan Enrekang dan Sidenreng Rappang (Sidrap).

“Gila! Tidak cukup satu jam sudah sampai Enrekang?” Gumam saya dalam hati. Berarti mobil ini melaju dengan kecepatan sekisar 100an km/jam. Saya tidak sadar karena sepanjang jalan saya lebih memilih untuk tidur. Luar biasa!

Tidak sampai lima menit dari tempat pemberhentian terakhir, saya akhirnya tiba di rumah Irsan, pegiat komunitas Kulimaspul yang aktif bergerak di bidang literasi. Dialah aktor utama yang mengajak saya ke Enrekang. Dia saja kaget dan tidak menyangka kalau saya tiba secepat itu.

“Waktu saya WA-ki saya kira masih jauh. Makanya kagetka waktu kita telepon ada maki di depan rumah,” katanya dengan mata sembab layaknya orang yang baru bangun tidur.

Kami bertukar cerita beberapa jenak, lalu menyantap sarapan pagi yang sebenarnya bukan hal yang biasa saya lakukan. Buat saya sarapan hanya kue atau roti plus kopi. Bukan nasi beserta lauknya. Tapi tak apa, saya harus menghormati tuan rumah, bukan?

Selepas sarapan saya memilih untuk tidur dulu. Meski nyaris sepanjang jalan Makassar-Enrekang saya tertidur, tapi tetap saja kualitasnya berbeda dengan tidur betulan di atas kasur. Lumayan bisa memejamkan mata beberapa jam di kamar Irsan yang sejuk dengan udara alaminya. Namanya Enrekang, udaranya masih sejuk karena posisinya yang agak tinggi dan dikelilingi pegunungan.

Menuju Lewaja.

Pukul 11 siang saya sudah bangun dengan badan yang lebih segar. Setelah mandi dan makan siang (ini jadi seperti makan-tidur-makan) kami lalu bergerak ke tempat acara. Tujuan utama kami hari itu adalah Sullung Pustaka, sebuah inisiatif komunitas warga di Bisang yang membuat perpustakaan dan rumah baca di kolong rumah panggung. Sullung dalam bahasa daerah Enrekang adalah kolong rumah.

Setelah sempat dibawa Irsan berkeliling ke Kebun Raya Massenrempulu, kami lalu menuju ke Lewaja. Lewaja terletak sekira 5 km dari pusat kota Enrekang. Pusat kota Enrekang sendiri berada sekira 16 km dari rumah Irsan di kawasan Karrang. Jadi total kami bermotor sekira 21 km ke arah utara.

Kami tiba di Sullung Pustaka ketika matahari masih menyengat. Enrekang tidak seperti Makassar rupanya, mataharinya lebih rajin sementara di Makassar matahari malah lebih sering tertutup hujan.

Seorang pria menyambut kami. Namanya Naim, oleh anak-anak di sana disapa Pak Naim. Dialah penggerak Sullung Pustaka sekaligus motor penggerak Bisang Festival.

Belasan anak-anak muda berkumpul di bawah kolong rumah panggung khas Bugis-Makassar itu. Sebagian besar duduk bercengkerama, sebagian lagi terlihat sibuk dengan berbagai kegiatan. Ada yang memotong bambu, ada yang mengikat-ikat sesuatu, mereka semua sibuk mempersiapkan Bisang Festival. Beberapa orang yang duduk bercengkerama itu belakangan ternyata adalah calon peserta kelas menulis yang akan saya pandu. Empat orang dari mereka (semuanya perempuan) bahkan datang jauh-jauh dari Soppeng, sekira 130an KM dari Enrekang.

Di kolong rumah kami berbagi

Acara berbagi itu sendiri digelar sekira pukul 15:00 sore. Sekira dua puluhan orang duduk melingkar di atas kursi di bawah kolong rumah panggung. Dengan khidmat mereka mendengarkan celotehan saya. Sesuai pesanan, hari itu saya berbagi sedikit tentang apa itu Travel Writing atau tulisan perjalanan. Ini tentu saja sesuai tema kegiatan hari itu: Menuju Bisang Desa Wisata.

Sesi saya bagi dalam dua hari. Hari pertama adalah pengenalan tentang apa itu Travel Writing dan saya lanjut keesokan harinya dengan sesi yang lebih intens dengan praktik dan latihan. Kurang lebih satu jam tiga puluh menit, acara hari pertama selesai juga. Di akhir sesi setelah presentasi kami lanjutkan dengan tanya-jawab. Ada banyak pertanyaan dari peserta menyangkut dunia tulis menulis dan traveling. Pertanyaan yang coba saya jawab sebisa mungkin.

Selepas acara saya diajak ke air terjun Kaje’jeng, air terjun yang oleh komunitas Sullung Pustaka dan anak muda sekitar coba diperkenalkan sebagai destinasi wisata baru di Lewaja. Tentang air terjun ini akan saya ceritakan lebih detail nantinya.

air terjun kaje'jeng
Air terjun Keje’jeng yang disiapkan jadi destinasi wisata baru di Enrekang

Dua hari di Enrekang saya memberi kesan tersendiri buat saya. Di daerah yang lumayan jauh dari keramaian dengan sinyal seluler dan internet yang hidup segan mati tak mau, ternyata masih ada anak-anak muda yang peduli pada literasi. Mereka bahkan tidak sekadar membuat rumah baca dan menyebarkan virus membaca, tapi mencoba berbuat sesuatu untuk warga sekitar. Memanfaatkan potensi alam yang ada di dusun mereka, mereka mencoba mengolahnya menjadi tempat wisata. Memperkenalkan alam sekaligus menanamkan rasa cinta pada alam.

Salut buat Irsan, pak Naim dan teman-teman komunitas lain di Enrekang! [dG]