Media Sosial dan Framing Isu di Indonesia
Tanya jawab bersama Gita Sudjarwo tentang media sosial dan framing isu di Indonesia
Sekira sebulan yang lalu, di sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti mencuat satu diskusi ringan tentang perkembangan media sosial di Indonesia. Pasalnya, beberapa anggota grup melihat media sosial di Indonesia sudah semakin “liar”, berkembang pesat bahkan kadang melampaui batas yang bisa kita bayangkan. Sialnya, media sosial juga jadi alat buat sebagian orang untuk membuat propaganda negatif, bahkan yang mengarah ke SARA dan perpecahan.
Salah seorang anggota grup –namanya Gita Sudjarwo– memberikan insight yang menarik. Gita adalah seorang dosen di sebuah universitas di Semarang. Spesialisasinya pada public relation atau hubungan dengan mas-mas, eh hubungan masyarakat. Sebagai seorang akademisi yang juga aktif memerhatikan perkembangan media sosial di Indonesia, Gita punya beberapa masukan menarik terkait isu yang kami obrolkan.
Oleh beberapa anggota grup, Gita didorong untuk menuliskan opininya itu. Tapi sebagai seorang dosen yang berdedikasi tinggi dan hanya punya waktu 24 jam sehari, dia ternyata kesulitan untuk menulis meski dia punya blog sendiri. Deretan bahan ajar yang harus disiapkan, nilai mahasiswa yang harus dikeluarkan, bimbingan yang harus diberikan dan drama Korea yang harus diselesaikan terlalu menyita waktunya. Padahal, infonya sangat berharga. Sayang sekali untuk dilewatkan.
Kemudian atas saran seorang manager bernama Dian Adi Prasetyo diambillah jalan tengah. Saya akan menyusun pertanyaan sesuai diskusi hari itu dan Gita akan menjawabnya. Rangkuman dari tanya-jawab itulah yang kemudian akan saya jadikan satu tulisan.
Setelah menunggu agak lama karena kesibukan Gita tak kunjung reda, akhirnya surel berisi pertanyaan dari saya dibalas juga. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diberikan, maka inilah rangkuman tanya jawab dengan Gita Sudjarwo. Saya hanya melakukan sedikit perbaikan yang saya anggap perlu, utamanya di bagian tata bahasa dan EYD karena Gita membalas surel saya dengan bahasa yang santai.
Simak yuk!
Saya (S): Bagaimana secara umum Gita melihat perkembangan pengguna media sosial di Indonesia?
Gita (G): Soal perkembangan media sosial di Indonesia, jika dilihat secara kuantitas, tentu makin banyak ya Daeng. Perkembangannya juga pesat. Tapi kalo dilihat dari bagaimana mereka menggunakannya, Aku melihat bahwa ada pengguna media sosial yang bisa disebut fasih. Maksudnya adalah mereka paham betul bagaimana menggunakan media sosial sesuai dengan definisi media sosial itu sendiri (paham betul bagaimana memanfaatkan media sosial untuk sharing informasi, edukasi, kepentingan bisnis, dll).
Namun, tak sedikit juga yang masuk dalam kategori amatir. Artinya hanya sekadar ikut euforia, buat gaya-gayaan semata, banyak yang latah dan tidak paham batasan media sosial sebagai panggung publik dan bukan panggung privat.
Tapi bukan berarti pengguna media sosial secara fasih memanfaatkan medsos tersebut untuk hal-hal positif saja, bisa kita lihat sendiri bagaimana pengguna fasih ini juga menggunakan media sosial secara negatif juga.
Semakin ke sini Aku melihat bahwa pengguna media sosial belum sepenuhnya terliterasi, dan ini buat Aku memprihatinkan karena sejatinya ketika kita menjadi pengguna media sosial, kita itu tidak sekadar memproduksi sebuah informasi tetapi juga mengkonsumsi informasi tersebut.
Bisa dibayangkan apa jadinya kalau pesatnya kuantitas pengguna media sosial tidak diimbangin dengan kualitas penggunaan media sosial itu. Daeng bisa membayangkan sendiri kan? 🙂
(S): Seberapa besar sih peran media sosial di Indonesia jika dibandingkan dengan media konvensional seperti televisi atau koran dalam mengolah sebuah isu?
(G): Kalau ditanya seberapa besar peran media sosial, jawabanku tentu saja cukup besar Daeng.
Kiblat orang sekarang ke online, media sosial ada di mana? Online. Kenapa memiliki peran cukup besar, dilihat dari karakteristik media sosial itu sendiri, yang tentunya real time, penyebarannya lebih luas (viralitasnya tinggi) dan tentunya interaktif. Media konvensional lebih bersifat satu arah, kalau media sosial karena dia interaktif maka lebih bersifat dua arah atau two communication. Satu isu kan bisa ditanggapi oleh berjuta-juta orang dengan berbagai macam kepentingan, sudut pandang, perspektif, dll. Apalagi jika yang menggelontorkan isu ini adalah seseorang yang dianggap tokoh dalam bidang tertentu, bisa jadi ini akan semakin banyak dibicarakan.
Lajunya isu kadang tidak bisa ditebak, bisa berputar 180 derajat dari yang direncanakan. Aku mengibaratan media sosial itu sebuah padang yang penuh dengan salju, kemudian ada yang iseng bikin bola salju digelindingkan, nah semakin jauh ia menggelinding tentunya semakin besar, isu bisa diibaratkan seperti itu.
Tinggal bagaimana para pengguna media sosial yang memiliki kepentingan terhadap isu tersebut akan mengolahnya, (buzzer, influencer, atau apapun itu juga menjadi bagian dari pengolaha isu yang ada di media sosial).
Media sosial ini adalah tempat paling ideal untuk melakukan diskusi publik sebenarnya, konsep demokrasi digital sangat bisa dijalankan di media sosial, hanya saja kadang-kadang aturan di media sosial yang hanya sebatas etika, tanpa adanya kode etik tertulis dan UU yang mengikat dalam memproduksi sebuah infomasi sebagaimana yang dimiliki oleh media konvensional menghadapkan kita pada isu-isu yang kebenarannya dipertanyakan. You know the point already i think.
(S): Bagaimana framing isu di media sosial? Apakah framing ini sama dengan yang dilakukan oleh media-media konvensional?
(G): Konsep framing di media sosial dan media konvensional serupa tapi tak sama Daeng, meskipun memang framing tidak terjadi di ruang hampa, harus ada medianya, karena media itu menjadi agen realitas itu sendiri.
Jika kembali kepada konsep framing itu sendiri, framing membutuhkan sebuah institusi produsen pesan untuk dapat mengkonstruksikan sebuah issu. Framing juga membutuhkan khalayak sebagai konsumen pesan, sehingga mereka dapat dipengaruhi persepsinya terkait sebuah isu sesuai yang diinginkan oleh produsen pesan.
Alur jalan framing di media konvensional adalah one to many (satu ke banyak). Sementara di media sosial, tidak ada lagi institusi produsen pesan dan konsumen pesan, karena pengguna pesan menjadi keduanya yaitu produsen sekaligus konsumen. Dengan demikian alur jalan framing di media sosial ini many to many (banyak ke banyak).
Framing yang terjadi di media sosial akan berdasar pada agenda pribadi pengguna media sosial, dengan penonjolan pada aspek-aspek tertentu, memilih kata dan menggunakan gambar, pokoknya informasi diseleksi sedemikian rupa yang kemudian akan dia gelontorkan pada peer group atau komunitasnya. Dari situlah kemudian opini publik bisa terbentuk, sehingga tidak heran satu issu akan memiliki beragam opini publik di media sosial, tergantung bagaimana proses kognitif yang diterima oleh komunitasnya.
Realitas yang diterima belum tentu akan sesuai dengan yang diinginkan oleh produsen pesan itu, kecuali iya pengguna media sosial memiliki afiliasi pemikiran yang sama dengan produsen pesan tersebut. Artinya, hanya butuh penegasan dari sebuah framing. Perlu diingat framing itu bersifat subyektif.
(S): Apa yang menyebabkan pengguna media sosial di Indonesia masih sering terbawa oleh framing satu pihak atas isu tertentu dan bagaimana sebaiknya menyikapinya?
(G): Jawabanku simple di sini Daeng, karena kita hanya mau mengkonsumsi apa yang kita ingin konsumsi. Seperti kita hanya mau mendengar hal-hal yang ingin kita dengar saja. Sesuai dengan ideologi kita, pemikiran kita, jika tidak cocok kita tidak mau mengkonsumsinya. Jika cocok kita akan melegitimasinya.
Oh media sosial itu bisa jadi tempat hegemoni (penguasaan) dengan menggunakan kemampuan intelektual lho Daeng, artinya framing di media sosial itu bisa jadi alat dominasi bagi kelompok-kelompok yang menyepakati nilai nilai ideologis produsen pesan dengan cara yang halus tentunya.
Bagaimana menyikapinya? Jangan jadikan media sosial sebagai satu-satunya rujukan informasi. Lakukan cover both side. Caranya, cari sumber sumber informasi yang lebih bersifat netral, meskipun sik kita gak akan menemukan satu mediapun yang akan memberi kita informasi secara netral, karena media apapun itu tidak akan pernah netral. Tapi dengan kita membaca banyak informasi dan melakukan penelusuran informasi, setidaknya kita punya pilihan untuk memproses informasi tersebut dalam ranah pikir kita.
(S): Ada pesan khusus agar pengguna media sosial Indonesia lebih hati-hati dan bijak bermedia sosial?
(G): Wah Aku gak punya tips khusus Daeng, bukan ahli media sosial juga hehehe. Secanggih apapun teknologi informasi komunikasi, kita sebagai brain ware-nya perlu lebih canggih, lebih smart, literasi diri sendiri kalo perlu. Media sosial itu channel, medium, kita pengguna punya pilihan bagaimana untuk menggunakannya. Belajar menahan diri, menahan jempol, siapin diri dengan data dan argumen yang tepat jika ingin diskusi atau sharing informasi. Ga susah sik, cuma perlu kemauan aja.
oke daeng, segitu saja ya jawaban saya, semoga bisa memuaskan. dan bisa kayak orang-orang ahli socmed gitu lho…
saya tunggu coto makasarnya…
Wow! Menarik juga ya? Secara tersirat kita sudah bisa membayangkan bagaimana besarnya pengaruh media sosial di jaman sekarang. Kita juga bisa meraba bagaimana media sosial digunakan untuk tujuan tertentu oleh pihak tertentu. Iya kalau niatnya baik, kalau tidak? Bisa runyam kehidupan berbangsa kita.
Yuk ah! Rebut kembali media sosial sebagai media bersuka ria dan bersenang-senang
Mudah-mudahan apa yang dijelaskan oleh Gita dalam tanya-jawab di atas sudah bisa memberi gambaran utuh pada kita tentang kondisi dan perkembangan media sosial di Indonesia. Jawaban-jawaban di atas memang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lagi buat saya, tapi untuk menjawabnya tentu butuh waktu. Mudah-mudahan Gita atau siapapun itu bisa menambahkannya di lain waktu.
Untuk saat ini saya mengingatkan kembali satu hal: wise while online, bijaklah ketika sedang daring. [dG]
Mungkin ada link tentang peringkat literasi bangsa Indonesia umumnya dan bagaimana kita dapat mengejar ketertinggalan tingkat literasi tersebut, sebelum bangsa Indonesia menjadi korban dunia sosial media.