TUAN RUMAH WORLD CUP 2022; MIMPIKAH ?

 

 

Sebuah berita mengejutkan tiba di kuping saya beberapa minggu yang lalu. Indonesia akan mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 !Sebagai penggemar sepakbola, berita ini tentu saja mengejutkan. Secara spontan terbersit pikiran di kepala saya kalau ini adalah sebuah ide konyol, sebuah langkah bombastis yang tidak realistis.

 

Kenapa pikiran seperti itu yang secara spontan tersirat dalam benak saya ?Saya pikir kita semua sudah tahu jawabannya. Sepakbola kita dalam hampir dua dekade belakangan ini nyaris hanya jalan di tempat. Tak ada tropi yang bisa dipajang di lemari kantor pusat PSSI, di tingkat ASEAN kita adalah negara terbesar yang belum pernah juara piala AFF (dahulu piala Tiger), di level Asia kita hanya boleh berbangga karena tampil lumayan dan hampir lolos ke babak 16 besar di piala Asia 2007 lalu. Di level dunia, kita selalu kandas di babak pertama penyisihan grup piala dunia. Singkatnya prestasi kita kering meski berbanding terbalik dengan biaya yang sudah dikeluarkan untuk membuat diklat atau training center di beberapa pusat sepakbola dunia.

 

Sepakbola dalam negeri juga sama menyedihkannya. Liga yang tak pernah terjadwal dengan rapih, pertandingan yang berakhir rusuh, berbagai kasus yang melibatkan wasit, klub yang megap-megap meminta dana, pokoknya hal-hal seperti itulah yang selalu jadi santapan kita kala berbicara tentang sepakbola dalam negeri.

 

Dalam kondisi yang masih carut-marut tak menentu itulah, PSSI sebagai induk olahraga terpopuler di Indonesia itu menggebrak dengan sebuah ide yang luar biasa mengejutkan. Indonesia mencoba merayu FIFA agar menunjuknya sebagai tuan rumah pagelaran sepakbola 2022.

 

Secara resmi, bertempat di Hotel Ritz Charlton-SCBD Jakarta, PSSI lewat ketua umumnya yang sudah kembali menghirup udara bebas-Nurdin Halid menyatakan kesediaannya mengajukan proposal untuk menjadi tuan rumah piala dunia 2022. Tema yang diangkat adalah tema lingkungan dengan slogan ‘for the game, for the world, for our planet safety’.

Seperti dikutip dari detik.com, sang ketua umum menyatakan kalau rencana tersebut adalah bagian dari visi PSSI 2020 yang sudah dicanangkannya sejak resmi menjadi ketua umum PSSI. “Ini bukanlah ide gila, dagelan atau mimpi di siang bolong. Ini sebuah ide yang terukur dan terencana sebagai perwujudan visi PSSI 2020,” demikian kata lelaki asal Bone-SulSel itu.

 

Bila berkaca pada kondisi nyata persepakbolaan kita seperti yang ditulis di atas maka wajar saja kalau rencana PSSI tersebut dianggap sebuah ide gila bahkan dianggap sebagai lelucon yang tak lucu. Alasan ini makin kuat apabila melihat saingan-saingan Indonesia dalam perebutan hak tuan rumah tersebut. Catat saja nama-nama negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Qatar, Inggris, Belanda-Belgia, Spanyol-Portugal dan Rusia yang juga berminat mengajukan diri menjadi tuan rumah. Sebagian besar negara-negara tersebut adalah negara-negara yang sudah kadung terkenal di jagat sepakbola, sisanya adalah negara-negara berkantong tebal yang pasti tak akan mempermasalahkan soal dana yang akan digunakan untuk membangun berbagai fasilitas pendukung sebagai tuan rumah ajang besar seperti piala dunia.

 

Soal kesiapan dari segi dana ini juga menjadi pertanyaan lain menyangkut kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah. Untuk membangun fasilitas, di mana sebuah negara calon tuan rumah harus menyediakan setidaknya 10 stadion berkapasitas minimal 40 ribu penonton dan 2 stadion berkapasitas 80 ribu penonton, itu belum termasuk biaya infrastruktur pendukung lainnya seperti sarana transportasi, hotel dll. Total biaya yang harus dipersiapkan minimal 8 hingga 10 triliun rupiah. Jelas itu bukan angka yang kecil, apalagi melihat kondisi negeri kita yang belum sepenuhnya stabil pasca krisis moneter hebat 11 tahun lalu.

 

Bertahun-tahun yang lalu penggemar sepakbola dunia tentu tak begitu yakin Afrika Selatan bakal terpilih sebagai negara Afrika pertama yang akan jadi tuan rumah piala dunia, tapi Afrika Selatan kemudian membuktikan keseriusannya hingga berhasil merayu komite eksekutif FIFA untuk menunjuk mereka.

 

Sekilas keberhasilan Afrika Selatan mampu membuat optimisme warga Indonesia memuncak. Tapi tunggu dulu, Afrika Selatan tidak asal ngomong. Mereka punya bukti dan fakta yang kuat untuk meyakinkan para petinggi FIFA. Dari segi ekonomi, mereka memenuhi syarat. Pertumbuhan ekonomi Afrika Selatan cukup positif setidaknya dalam satu dekade belakangan ini atau selepas runtuhnya politik Apartheid. Dari segi teknispun begitu. Tim nasional Afrika Selatan mampu tampil di ajang piala dunia tahun 1998 di Perancis. Kedua faktor inilah yang kemudian membuat mereka bisa terpilih sebagai tuan rumah piala dunia 2010. Dua faktor yang sayangnya belum kita miliki.

 

Lantas, apakah gebrakan PSSI itu bisa dibilang murni sebagai sebuah kekonyolan dan hanya mencari sensasi semata ?.

 

Nurdin Halid berkali-kali menjelaskan kalau rencana PSSI ini bukan hanya rencana kosong dan mencari sensasi semata. Sang bos meyakinkan kalau Indonesia tetap punya peluang untuk terpilih sebagai tuan rumah piala dunia dengan berbagai pertimbangan. Sebuah optimisme yang bagi saya hanya terpisah satu garis tipis dengan yang namanya mimpi di siang bolong.

 

Setidak-tidaknya Indonesia punya waktu hingga 10 Desember 2010, waktu di mana FIFA akan secara resmi mengumumkan tuan rumah piala dunia 2022. Indonesia-khususnya lewat PSSI-punya kesempatan untuk menunjukkan perubahan yang signifikan dari segi prestasi maupun kesiapan secara ekonomi untuk meyakinkan komite eksekutif FIFA. Waktu yang tersedia sungguh sempit dan terus terang tak masuk akal.

 

Belasan tahun sudah terlewati dan prestasi masih begitu-begitu saja, sehingga waktu setahun lebih bisa dianggap sebagai waktu yang tak masuk akal untuk bisa meyakinkan FIFA lewat prestasi di berbagai ajang. Itu belum termasuk kemampuan PSSI meyakinkan FIFA kalau kita siap dari segi ekonomi, terlalu banyak hal yang saling berkaitan bila sudah menyangkut masalah ekonomi.

 

Jadi ?Apakah kita memang tak punya peluang ?Seperti yang tertulis di atas, PSSI hanya punya waktu singkat untuk mempengaruhi FIFA. Ini ibaratnya membangun candi dalam waktu 1 malam, sebuah cerita yang hanya ada di dongeng. Atau, jangan-jangan penyakit lama kita kambuh ?Penyakit inkonsistensi atau panas-panas tai ayam. Hari ini semangat dan kelihatan serius, tapi besok sudah lupa..atau, jangan-jangan ide ini adalah komoditas politik menjelang pemilu..?Ah, saya tak mau berpolemik lebih jauh. Silakan anda menilai sendiri..