Pilih mana ? Pembinaan atau Pembelian ?

4_4888_christiano_ronaldo_real_madrid

Musim 1984/85, publik pecinta serie A Italia dibuat kaget oleh kesuksesan Napoli memboyong Diego Armando Maradona dengan total nilai kontrak 5 juta pound. Angka 5 juta pound adalah angka yang luar biasa waktu itu. Bukan cuma masalah angka yang membuat para penggemar Serie A kaget, tapi juga karena yang melakukannya adalah Napoli, klub asal daerah selatan Italia yang selama ini lebih banyak berada di bawah bayang-bayang klub asal utara Italia macam Juventus dan duo Milan.

Bertahun-tahun kemudian, angka 5 juta pound menjadi sangat tidak berarti. Harga para pemain melambung tinggi, jauh melebihi nilai yang dulu dibukukan seorang Maradona. Puncaknya adalah di musim 2009-2010 ini, di mana seorang lelaki asal Madeira-Portugal dihargai lebih dari 70 juta pound, lebih dari 10 kali lipat dari yang dulu dibukukan Maradona.

Tahun 90-an sampai sekarang, sepakbola benar-benar telah menjadi sebuah industri raksasa, sebuah ladang bisnis yang menggiurkan. Para pemilik klub tak mampu menahan liur mereka untuk ikut menikmati kue manis dari lapangan hijau itu. Mereka berlomba-lomba mengadu kemampuan bisnis mereka dan memamerkan kekayaan serta melengkapi etalase dengan  sederet nama-nama tenar para pesepakbola berbakat.

Aktor utama yang paling banyak berperan dalam pamer kekayaan itu tak lain dan tak bukan adalah Real Madrid yang digerakkan oleh miliarder bernama Florentino Perez. Awal milenium kedua ini, Florentino Perez mulai membangun imperium baru dari pusat negeri matador. Kibasan uangnya mampu membuat beberapa pemain tenar berlabuh ke Santiago Bernabeu, bahkan Luis Figo sampai melakukan dosa besar dengan menyeberang dari Camp Nou ke Bernabeu, memilih menjadi public enemy number one bagi orang Catalunya. Deretan pemain lainnya seperti Zinedine Zidane dari Juventus, David Beckham dari Manchester United dan Michael Owen dari Liverpool ikut bertukar kostum, tunduk di bawah nafsu megalomaniak si Florentino Perez. Bahkan Zidane mencatatkan diri sebagai pemain termahal dengan nilai transfer 68 juta pound.

Perez adalah jaminan sebuah ambisi besar. Ambisi untuk meraih sebanyak mungkin gelar domestik dan Eropa serta ambisi untuk mengembalikan nama besar sebuah klub bernama Real Madrid, klub yang terlanjur menjadi legenda di daratan Eropa, klub yang jadi kesayangan raja Juan Carlos. Tapi Perez tetaplah seorang manusia biasa. Gelontoran dananya yang berhasil menciptakan sebuah skuad berjuluk “ Il Galacticos” tak serta merta berbuah hasil manis. Terakhir mereka hanya mampu membawa pulang tropi Champion Eropa musim 2001-2002 sebelum akhirnya perlahan Il Galacticos terjun bebas ke tanah dan akhirnya tenggelam oleh keperkasaan Barcelona di bawah Frank Rijkaard.

Musim ini Florentino Perez yang baru kembali dari pertapaannya menggebrak lagi. Kaka, Karim Benzema, Xabi Alonso dan tentu saja Christiano Ronaldo didaratkan. Nilainya membuat mata orang terbelalak, melebihi angka 2 triliun rupiah. Sampai-sampai boss besar UEFA Michel Platini heran, bisa-bisanya ada manusia yang dihargai semahal itu.

Florentino Perez tak sendirian di dunia sepakbola. Di tanah Italia semua orang kenal Luciano Moratti pemilik Inter Milan. Dia sama ambisiusnya dengan Perez. Deretan pemain bintangpun pernah hinggap di markas Inter Milan. Sebut saja sosok semacam Ronaldo, Christian Vieri, Francesco Toldo, Fabio Cannavaro, Roberto Baggio dan nama-nama lainnya. Tapi, mereka tetap harus rela puasa gelar selama bertahun-tahun sebelum akhirnya naik ke puncak memanfaatkan kejatuhan Juventus dan AC Milan karena kasus Calciopoli.

Di tanah Inggris beredar nama seorang taipan muda dari Rusia bernama Roman Abramovich. Gelontoran dananya membuat tim medioker sekelas Chelsea tiba-tiba menyeruak di antara persaingan Manchester United, Arsenal dan Liverpool. Chelsea di bawah Roman Abramovich memang tak butuh lama untuk berkibar di puncak tertinggi EPL meski banyak orang yang lupa kalau sebenarnya  Claudio Ranieri-lah yang berjasa meletakkan pondasi kejayaan klub asal London itu sebelum disempurnakan oleh Jose Mourinho.

Belakangan ini seiring makin seksinya liga Inggris, makin ramai pula lamaran dari pengusaha luar Inggris yang datang ke hidung klub-klub peserta EPL. Salah satunya adalah Manchester City. Dua tahun belakangan ini, Manchester biru itu berbenah berbekal dana tak terbatas dari Sulaiman Al Fahim raja minyak dari Timur Tengah. Mereka memulainya dengan mendatangkan Robinho dari Real Madrid yang kemudian tahun ini disusul duo Arsenal Adebayor dan Kolo Toure serta mantan punggawa Manchester merah- Carlos Tevez. Hasilnya mungkin belum signifikan tapi setidaknya mereka berhasil menunjukkan ambisi  luar biasa besar dari si boss besar.

Apa sebenarnya yang mereka cari ? keuntungan ? ketenaran ? kepuasan ? atau apa ? Tak ada yang bisa menjelaskannya dengan pasti. Bisa saja salah satu alasan di atas, atau malah gabungan antara alasan-alasan itu. Sepakbola benar-benar telah bertransformasi menjadi sebuah ladang bisnis yang luar biasa menggiurkan dengan traffic perputaran uang yang kadang tak masuk akal. Sebagian orang menuding kalau semua praktik berbau bisnis ini telah mencemari spirit terdalam dari sepakbola. Kejayaan tak lagi merupakan hasil sebuah proses panjang, kejayaan semata-mata adalah sebuah hasil instan yang banyak memberi kesempatan kepada uang untuk bersuara lantang.

Lebih dari satu dasawarsa lalu, sebagian besar klub ditopang dengan susah payah oleh para pemain yang lahir dan besar di klub itu sendiri. Kalaupun ada pemain import, jumlah mereka tak seberapa banyak dibandingkan pemain binaan sendiri, atau paling banter pemain bintang import mereka adalah pemain import yang datang saat belum ada apa-apanya sebelum dibina menjadi pemain besar.

Dekade 90-an (bahkan sebelumnya) orang mengenal nama klub Ajax Amsterdam sebagai pabrik pemain-pemain terbaik dunia. Nama-nama seperti Marco Van Basten, Frank Rijkaard, Dennis Bergkamp, Clarence Seedorf, Edgar Davids, De Boer bersaudara, Patrick Kluivert dan deretan panjang nama-nama lainnya adalah produk akademi sepakbola Ajax. Mereka lahir dan besar di klub itu sebelum akhirnya diekspor dan berlabuh di berbagai klub besar Eropa. Ajax besar (dan untung dari segi finansial) dari hasil didikan mereka.

Manchester Unitedpun demikian. Class of 99 adalah salah satu bukti hasil pembinaan pemain muda yang luar biasa di tangan Sir Alex Ferguson. Beckham, Neville bersaudara, Giggs, Scholes dan Nicky Butt adalah contohnya. Pun dengan Arsenal yang semenjak diasuh oleh Arsene Wenger memang terkenal sebagai klub yang “doyan daun muda”.

Beberapa klub memang cukup sabar untuk menanam bibit-bibit berbakat sebelum akhirnya bisa memanen hasilnya. Ajax, MU, Arsenal, Barcelona, Juventus dan AC Milan mungkin bisa didorong sebagai contohnya. Mereka jarang berada di daftar pembeli terbesar untuk urusan pemain. Mereka lebih senang membeli pemain-pemain muda berbakat yang tak terlalu populer, memolesnya, menempanya hingga kemudian berhasil membawa kejayaan bagi klubnya sebelum mungkin pada akhirnya terbang ke klub lain yang berhasil menggoda sang pemain dengan gelimangan uang.

Suka atau tidak suka ini adalah sebuah hal yang sedang berkembang dari tahun ke tahun. Beberapa klub merasa tak punya waktu lagi untuk menunggu hingga lemari mereka berisi tropi, dengan dukungan dana melimpah tak ada alasan lain untuk tidak membeli para pemain terbaik dari seluruh belahan dunia, berapapun harga mereka. Ibarat memutar film di DVD player, mereka lebih senang menekan tombol FFWD saat pertunjukan sedang berada dalam fase yang menurut mereka membosankan.

Salahkah mereka ? kita tak punya hak untuk menuding seperti itu bukan ? toh mereka juga punya alasan untuk berbuat seperti itu. Sebagian pecinta sepakbola mustinya merasa kuatir akan kelangsungan olahraga ini, kuatir kalau nantinya olahraga ini murni bersifat bisnis dan meniadakan sebuah proses persaingan sehat yang dulu masih memberi ruang lebar bagi klub apa saja untuk berkembang. Bukan hanya mereka yang punya duit. Jadi, menurut anda mana yang lebih baik, membeli atau membina ?