Invasi Jerman Ke Tanah Inggris

Dortmund yang menghancurkan Real Madrid
Dortmund yang menghancurkan Real Madrid

69 tahun lalu Hitler memerintahkan pasukannya mengebom kota London. Mereka gagal, atau setidaknya tidak seberhasil yang diinginkan. 69 tahun kemudian, Jerman masuk ke jantung Inggris itu dengan penuh kebanggaan.

13 Juni 1944 atau tepat seminggu setelah pendaratan Sekutu di Normandia, Hitler mulai melepaskan senjata rahasianya, roket V-1 (V dari Vergeltung atau pembalasan) ke Inggris Selatan. Roket ini berbentuk pesawat tanpa awak yang dilengkapi dengan bahan peledak. Ini cara Hitler yang tidak mampu mengusir sekutu yang mendarat di Perancis dengan cara menyakiti penduduk sipil di kota London.

Inggris boleh bersyukur karena sebenarnya rencana peluncuran roket V-1 ini sudah ada sejak musim semi 1943. Tapi rencana itu gagal akibat pengeboman Peenemunde dan juga berhasilnya angkatan udara Inggris yang mendapat bantuan dari angkatan udara Amerika untuk menghancurkan pangkalan peluncuran V-1 di sepanjang pantai Perancis. Karena itu, niat Hitler baru terlaksana satu tahun kemudian.

Serangan putus asa dari Hitler ini nyaris tidak ada efeknya bagi Inggris dan tentara sekutu waktu itu. Tentara sekutu yang sudah masuk ke tanah Perancis dan mulai mendekati Paris sudah tidak terlalu terganggu oleh serangan roket V-1 ke London. Seandainya saja serangan itu terjadi setahun sebelumnya maka bisa jadi Operation Overlord tidak bisa dilaksanakan sesuai rencana.

Ketika itu Hitler memang sudah seperti putus asa. Sekutu mulai mendesak dari Perancis, sementara di utara tentara merah Russia mulai merangsek mendekati Berlin. Tidak ada cara lain yang bisa dipikirkan Hitler selain mencoba mengganggu konsentrasi sekutu dengan mengebom London. Tindakan itu tidak membawa pengaruh karena Hitler hanya menyerang dengan sisa senjata yang bisa dipatahkan kapan saja.

Jerman Bergerak Menuju Inggris.

30 April 2013, di ibukota Spanyol Madrid. Direktur eksekutif Dortmund, Hans-Joachim Watzke mengunci dirinya di kamar mandi menjelang akhir pertandingan. Dia mengaku untuk pertamakalinya menyerah pada jantungnya. Di dalam kamar mandi yang dia kunci, Watzke menutup kupingnya dan terus menerus melihat ke jam tangannya.

Tidak ada masalah medis pada Watzke, dia bahkan sudah berusaha keras membantu Borrusia Dortmund keluar dari masalah keuangan selama satu dekade terakhir. Tapi ternyata dua gol dari Karim Benzema dan Sergio Ramos di menit 83 dan 88 berhasil memaksanya bersembunyi di kamar mandi. Satu lagi gol dari Real Madrid dan Borrusia Dortmund harus merelakan tiket mereka ke Wembley.

Watzke dan semua orang yang mendukung Borrusia Dortmund harus berterima kasih pada sebuah tim yang sudah bekerja sangat kuat dengan label team work. Mereka membuktikan kalau kerjasama tim itu jauh lebih berharga dari kemampuan individual dan nama tenar bergaji puluhan ribuan dollar seminggu. Tidak ada lagi nama Ronaldo, Benzema, Higuain, Kaka atau siapapun yang berseragam putih-putih itu. Dortmund membuat mereka seperti pemain sepakbola biasa yang bertalenta tapi gagal membangun kerjasama dalam tim.

Menuju Wembley
Menuju Wembley

Sehari kemudian di kota Barcelona, di propinsi Catalunya yang terus berjuang melepaskan diri dari Spanyol. Barcelona butuh keajaiban, butuh 5 gol ke gawang Bayern Muenchen untuk bisa ikut ke Wembley bersama wakil Jerman yang sudah mengalahkan musuh bebuyutan mereka sebelumnya.

Sayangnya malam itu keajaiban tidak hadir di Camp Nou. Tidak ada Messi, tidak ada keajaiban. Anak muda yang sudah terlanjur dicap sebagai penyihir itu harus rela duduk di bangku cadangan dengan pakaian lengkap dan muka tertekuk menyaksikan teman-temannya berjuang di lapangan hijau. Tidak ada Messi, tidak ada keajaiban.

11 pemain Barcelona turun ke lapangan dengan beban berat di pundak mereka. Rumusnya, mereka harus mencuri gol cepat untuk membangun kepercayaan diri. Sayangnya pemain Muenchen juga tahu rumus itu. Dengan ketat dan penuh disiplin mereka menghadang setiap pemain berkostum biru merah yang ingin mendekati Manuel Neuer. Mereka berhasil, pemain-pemain Catalan itu seperti membentur tembok yang perlahan-lahan membuat mereka frustasi. Misi mereka gagal di babak pertama. Keajaiban itu tidak datang, mungkin kehabisan tiket.

Babak kedua dimulai, keajaiban datang. Tapi keajaiban itu tidak duduk di bangku cadangan Barcelona, malah duduk di bangku Bayern Muenchen. Arjen Robben lelaki Belanda kidal itu yang membuka keajaiban untuk Bayern Muenchen. Menusuk dari kanan dengan gaya yang mungkin sudah sangat sering dilihat, Robben berbelok ke tengah dan dengan waktu yang pas kaki kirinya yang mematikan mengirim bola yang tidak bisa dihadang Valdes. 0-1 buat tim tamu!

Mental Barcelona mulai jatuh. Mereka butuh setidaknya 6 gol untuk bisa ikut ke Wembley. 6 gol? Terdengar lebih mustahil dari 5 gol yang sebelumnya jadi target mereka. Dan kemudian Pique membuat anak-anak Catalan yang dicap sebagai tim terbaik di dunia itu makin terpuruk. Berharap menghalau bola, Pique malah menyarangkannya ke gawang sendiri. 0-2 buat tim tamu.

Dan kehancuran Barcelona tinggal menunggu waktu. Sebelum Pique membenamkan semangat kawan-kawannya sendiri, Xavi dan Iniesta sudah ditarik keluar lapangan. Tanda kalau mereka sudah benar-benar frustasi. Puncaknya, menit ke 76 Thomas Muller menggenapkan keunggulan gol Bayern Muenchen menjadi 0-3. Selesai sudah!

Barcelona seperti tuan rumah yang terlalu berbaik hati memberi keunggulan buat tamunya dari Jerman. Mereka benar-benar kehilangan konsentrasi, harapan dan aksi individual. Sisa pertandingan hanya jadi semacam penyiksaan untuk Barcelona.

25 Mei 2013 nanti Wembley akan kedatangan pasukan dari Jerman. 69 tahun lalu, Hitler mengirimkan bom V-1 ke London dengan harapan bisa membuat Inggris dan sekutunya kehilangan konsentrasi menyerang mereka. Tapi Hitler gagal. Tahun ini, anak-anak Jerman kembali datang ke London. Kali ini dengan cara yang lebih elegant dan luar biasa. Jika Hitler tahu, dia pasti akan tersenyum. Jerman menguasai Eropa dan berhasil memasuki London dengan kepala tegak. Jerman berhasil menginvasi Inggris, 69 tahun setelah Hitler memulai aksinya. [dG]