Sebuah buku yang disarankan bila ingin mendengar suara berbeda dari Bali, bukan hanya suara merdu promosi wisata.
Bali. Pulau yang katanya pulau dewata, the last piece of heaven on earth, kepingan terakhir surga di muka bumi. Pulau yang selalu mengundang orang untuk datang, menikmati alam, menikmati kehidupan, budaya, dan bagi sebagian orang berkulit putih, menikmati hidup yang murah. Pulau yang sejak dulu selalu menggoda orang untuk datang. Dari sekadar berkunjung, sampai yang memutuskan untuk menghabiskan usia di sana.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Bali itu tahun 2009. Setelah sekian lama mendengar cerita-cerita tentang Bali, akhirnya saya bisa melihatnya sendiri. Seperti layaknya seorang wisatawan, saya diajak mengujungi berbagai tempat yang selalu masuk ke dalam daftar wajib dikunjungi. Pura Besakih, Pantai Kuta, Monkey Forest, Pasar Sukawati, Nusa Dua, dan tentu saja beli oleh-oleh di Khrisna. Standar kunjungan orang ke Bali lah.
Bayangan saya tentang Bali menjadi nyata. Pulau yang indah, tempat orang-orang hidup mengagungkan budaya, menjaga keselarasan antara manusia dan alam. Tempat orang bisa berjalan kaki dengan busana minim tanpa harus menerima tatapan aneh atau bahkan siulan bernada pelecehan.
Bali memang menyenangkan!
Semakin Melihat ke Dalam Bali
Tahun berganti, dan Bali sudah semakin akrab. Ada perjalanan beramai-ramai, ada perjalanan berdua, dan bahkan ada perjalanan sendirian. Ada perjalanan karena wisata, ada juga yang karena pekerjaan. Intinya, saya punya banyak kesempatan melihat Bali lebih dalam. Bukan sekadar di permukaan seperti yang selalu saya lihat sebelumnya.
Dan Bali ternyata menyimpan banyak cerita underground di luar cerita indah yang terpampang. Surga itu sama seperti tempat lain di dunia, ada kisah-kisah yang lahir sebagai efek samping dari dinamika kehidupan. Dinamika yang kadang lahir dari gesekan antara budaya dan modernitas, antara manusia dan uang.
Saya selalu penasaran, bagaimana orang Bali bisa tetap menjaga budaya mereka sementara di sekitar mereka modernitas semakin nyata menerjang? Bagaimana mereka bertahan dari modal dan kapital yang semakin deras mengalir? Mengubah sawah menjadi villa, mengubah kampung nelayan menjadi hotel, dan sebagainya.
Saya yakin ada pergesekan di sana. Tapi bagaimana kisah yang sebenarnya?
Lalu saya menemukan jawabannya.
Suara Berbeda dari Pulau Dewata
Sebuah buku setebal xvi + 485 ada di tangan saya. Sampul berwarna hijau tua dengan gambar seni kontemporer yang tidak saya pahami maknanya. Terlihat menarik. Kebetulan saya hadir saat buku ini diluncurkan di bulan Juni 2022 yang lalu, jadi sedikitnya tahu cerita di balik penyusunan buku ini.
Adalah Bale Bengong, sebuah usaha kolektif yang berfokus pada jurnalisme warga yang menjadi tulang punggung lahirnya buku ini. Saya mengenal salah satu pendirinya, dan tahu kalau beliau memang sudah lama menggemari usaha menggerakkan jurnalisme warga, utamanya di Bali. Dan inisiatif itulah yang kemudian bermuara pada buku berjudul “Suara Berbeda Dari Pulau Dewata” ini.
Buku ini dibagi ke dalam empat bagian; Budaya, Lingkungan, Profil, dan Sosial. Keempatnya memuat beragam cerita dari warga yang mengantarkan kisah-kisah berbeda dari yang sering kita dengar tentang Bali. Bukan tentang Bali yang indah, atau ritual budaya yang memukau, tapi tentang Bali yang mulai kesulitan air bersih, tentang mafia tanah, sawah yang berubah fungsi, atau bahkan tentang beratnya hidup sebagai orang Bali yang harus menanggung banyak upacara adat.
Saya tahu di Bali ada banyak upacara adat, tapi saya baru tahu kalau dalam setahun orang Bali bisa menghabiskan 30% dari harinya untuk membuat dan mengikuti upacara adat. Padahal setiap upacara butuh biaya yang tidak sedikit, belum lagi hubungannya dengan waktu kerja. Akan ada banyak alasan untuk tidak bekerja, karena tentu saja pekerjaan harus mengalah di depan upacara.
Bahkan saya baru tahu kalau ada orang Bali yang menjadi dosen di Bali, dan masih sempat menulis buku, maka dia akan dianggap orang yang luar biasa. Kenapa? Karena pada umumnya orang Bali yang tinggal di Bali tidak akan punya cukup waktu untuk menulis buku, saking banyaknya upacara yang harus dihelat atau diurus, atau bahkan sekadar diikuti.
Di bagian Lingkungan ada beragam cerita tentang bagaimana keseimbangan alam di Bali mulai dipertanyakan akibat munculnya proyek-proyek moderen. Sebenarnya bukan hal yang aneh, karena di tempat lain pun gesekan seperti itu kerap terjadi. Alam akan selalu berhadapan head to head dengan proyek besar buatan manusia.
Tapi bagian paling menarik buat saya ada di bagian Sosial. Di bagian itu, ada 19 cerita yang memaparkan secara jujur tentang pergeseran sosial di Bali akibat beragam hal, tapi yang paling utama adalah karena industri pariwisata. Kita mungkin paham bagaimana Bali menjadi blue print industri wisata di Indonesia, bahkan sampai muncul jargon “memunculkan bali-bali baru” sebagai tanda bahwa Bali memang standar wisata di Indonesia.
Tapi yang jarang diketahui orang adalah bahwa industri pariwisata di Bali itu pada akhirnya memunculkan perubahan sosial di masyarakat. Dari mereka yang menjual aset berupa sawah, lalu hidup dalam keterbatasan setelah uang hasil penjualan habis, cerita tentang tanah yang berpindah tangan ke para investor, atau bahkan cerita tentang sikap (sebagian) orang Bali yang mulai menukar keramahtamahan dengan uang. Kamu punya uang, saya akan ramah. Sebaliknya, kamu tidak punya uang saya akan biasa saja.
Perihal ini saya punya pengalaman sendiri. Seorang supir yang mengantar saya di Bali tiba-tiba menggungkit kebaikan penumpangnya dari Makassar yang katanya, “Suka ngasih tip lebih kalau sudah saya antar.” Lalu dia yang tadinya ramah berubah masam ketika saya menolak beberapa tawarannya. Sedih, tapi itulah realitanya.
*****
Buku Suara Berbeda Dari Pulau Dewata adalah buku yang sangat menarik, yang membuka mata kita tentang suara-suara berbeda dari sebuah pulau yang selama ini dianggap sebagai kepingan surga. Buku yang menceritakan kisah jujur dari orang-orang Bali yang hidup di Bali dan memandang realita Bali dari kacamata orang biasa. Sebuah buku yang disarankan bila ingin mendengar suara berbeda dari Bali, bukan hanya suara merdu promosi wisata. [dG]