Catatan ini saya buat karena ketertarikan saya melihat betapa besar fenomena film Uang Panai ini.
FOTO ITU MENGGAMBARKAN sebuah antrian panjang yang mengular di dalam bioskop sebuah mall kota Makassar. Ratusan orang berbaris rapi dari mulai depan loket hingga ke tangga menuju bioskop. Mereka dengan sangat sabar menunggu giliran hingga tiba di depan loket, semua demi menonton sebuah film yang dalam dua pekan ini benar-benar menjadi fenomena.
Film itu apalagi kalau bukan Uang Panai. Sebuah film drama-komedi yang diproduksi oleh tim produksi lokal kota Makassar. Dari pemain utama, pemeran pembantu hingga kru semua orang-orang lokal yang sebagian besar masih berusia muda.
Sampai tulisan ini saya buat saya belum berhasil menonton film Uang Panai. Pertama karena dalam dua pekan ini saya sibuk ke barat dan ke utara menunaikan tugas. Kedua, ketika sempat berada di kota Makassar saya masih gentar melihat sedemikian banyak orang yang bertarung demi memperebutkan selembar tiket Uang Panai. Saya tidak sampai seberani itu untuk ikut bertarung bersama mereka.
Hingga pekan kedua sejak pertama kali tayang, Uang Panai masih terus menuai antrian panjang di depan tiket. Sampai tanggal 9 September, konon jumlah penontonnya sudah menembus angka 200 ribu yang berarti menempatkannya dalam jejeran 10 besar film Indonesia terlaris tahun ini. Bahkan pernah ada waktu ketika Uang Panai benar-benar menguasai satu bioskop dan hanya menyisakan satu film lain dari enam studio yang ada.
Kurang fenomenal apalagi coba?
Tadinya saya mau menunda menuliskan kesan saya pada film ini hingga saya benar-benar sudah menontonnya, tapi sulit. Saban hari informasi tentang film ini terus berseliweran di lini masa media sosial saya. Dari cerita tentang antrian yang belum juga surut, orang-orang yang bahkan rela menyeberang lautan dari Seram ke pulau Ambon demi menonton film ini sampai mereka yang bahkan rela menontonnya hingga lima kali. Semua itu benar-benar menarik buat saya, lalu menimbulkan banyak pertanyaan.
Apa sebenarnya yang menarik dari Uang Panai ini? Kenapa dia bisa menjadi sefenomenal itu?
Saya tentu tidak bisa menjawabnya dari sisi teknis sinematografi, baik dari sisi cerita, pengambilan gambar ataupun editing. Saya belum sempat menontonnya, jadi mustahil saya bisa berkomentar dari sisi itu.
Saya mencoba meraba dari sisi lain. Uang Panai mengangkat tema yang dekat dengan keseharian sebagian besar warga Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Uang panai adalah sebuah warisan budaya yang mengikat semua keturunan berdarah Bugis-Makassar. Hampir mustahil sebuah pernikahan Bugis-Makassar tidak menyertakan uang panai sebagai elemennya. Uang panai semacam penebusan dari pihak calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Kamu tidak bisa membawa putri seseorang keluar dari keluarganya tanpa “menebus” apa yang sudah dikeluarkan oleh orang tua mereka selama ini.
Uang panai juga dimaknai sebagai cara mengangkat derajat kaum wanita dalam kultur Bugis-Makassar. Seorang calon suami musti punya kemampuan untuk “menebus” seorang gadis, punya kemampuan untuk menafkahinya dan membuat hidupnya nyaman dari sisi materi. Semakin tinggi derajat dan pendidikan si gadis maka tentu semakin tinggi “biaya tebusannya”, makin tinggi juga syarat kemampuan si calon suami.
Budaya yang seharusnya begitu luhur itu kemudian mengalami pergeseran. Uang panai tak lagi murni ditandai sebagai simbol meninggikan derajat seorang perempuan, tapi menjadi simbol seberapa kaya dan terhormat sebuah keluarga. Keluarga seorang gadis dari keluarga terpandang akan merasa jengah ketika anak gadis mereka hanya “ditebus” dengan uang panai yang sedikit. Kehormatan sebuah keluarga yang ditentukan oleh dewan paman dan bibi akan terasa sangat terhina.
Dari sebuah upaya meluhurkan seorang perempuan, uang panai bergeser menjadi ajang memamerkan kehormatan yang menjadikan harta sebagai penanda. Uang panai lantas jadi momok mengerikan buat para pria bujangan dari keluarga pas-pasan.
Konflik uang panai yang begitu dekat dengan keseharian orang Bugis-Makassar itu dengan jeli dibidik oleh kru film Uang Panai. Dituangkan ke dalam sebuah cerita yang tentu saja serasa tidak berjarak dengan pasarnya; orang Bugis-Makassar.
Lokalitas menjadi kata kuncinya. Kami orang Bugis-Makassar sudah terlalu sering dicekoki dengan beragam film atau tayangan televisi yang menggunakan bahasa dan budaya dari Jakarta atau Jawa sana sehingga ketika ada sesuatu yang terasa lekat dengan kami, tak pelak tentu serasa menjadi penawar dari semua yang sudah terlanjur sering dicekokkan itu. Isu yang dekat dengan kami ditambah dengan eksekusi yang begitu dekat dengan kami tentu jadi daya tarik tersendiri.
Film ini (katanya) sepenuhnya menggunakan logat khas Makassar dan idiom-idiom khas keseharian orang Bugis-Makassar. Film ini tidak mencoba terlihat keren dengan menggunakan logat Jakarta atau Jawa yang justru membuatnya terasa dekat dengan penonton. Selain mendekatkan warga Sulawesi Selatan, film ini juga menumbuhkan romantisme buat para perantau Sulawesi Selatan yang ada di mana saja di luar provinsi ini. Brilian bukan?
Faktor lainnya adalah kehadiran sosok duo Tumming-Abu. Keduanya sudah jadi selebritas lokal di Makassar. Dengan pengikut sampai ratusan ribu di Instagram dan belasan ribu pelanggan kanal di YouTube, Tumming-Abu tentu jadi magnet kuat untuk film Uang Panai.
Beberapa teman bahkan terang-terangan mengakui kalau dua sosok jadi semacam roh untuk film Uang Panai. Jangankan mendengar mereka berbicara, melihat tangan mereka menuang teh saja tawa riuh sudah menggema dalam gedung bioskop. Tentu itu sekadar ilustrasi betapa besar magnet Tumming-Abu.
Kejelian melibatkan duo Tumming-Abu adalah sebuah langkah brilian lainnya. Di samping mampu menjadi ruh film (menurut sebagian orang), mereka juga mampu menjadi alat promosi paling tepat.
Terakhir, film Uang Panai menjadi spesial karena perannya sebagai “perlawanan orang daerah terhadap orang pusat”. Anda jangan coba-coba bermain-main dengan fanatisme kedaerahan. Seorang gadis bernama Florence saja sampai berurusan dengan hukum karena menghina satu daerah. Meski sudah mengusung semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, namun fanatisme kedaerahan adalah sesuatu yang sulit untuk dihapuskan dalam darah kita orang Indonesia.
Film Uang Panai dengan cerdas memainkan isu itu. Dengan tema lokalitas yang kental dan kru serta pemain yang hampir semuanya orang lokal, Uang Panai dicap sebagai “karya lokal anak Makassar”. Apa lagi yang bisa lebih membanggakan dari cap seperti itu? Cap itu menohok langsung ke jantung anak-anak Makassar, orang-orang SulSel dan semua perantau yang jauh dari kampung halaman.
Meski tak setuju pada jargon “Makassar bisa tonji” (Makassar juga bisa) yang menurut saya justru membuat kita jadi mengiyakan inferioritas, saya harus mengakui kalau promo yang diusung oleh film Uang Panai memang sangat berhasil. Dua hal yang sangat sensitif untuk diutak-atik bagi kita orang Indonesia adalah; agama dan asal daerah. Uang Panai berhasil mengutak-atik satu elemen itu dengan cara yang positif.
Dengan ramuan yang pas, promo yang cermat dan momentum yang tepat, Uang Panai berhasil menjadi film domestik yang fenomenal. Tentu saja terlepas dari berbagai kekurangannya, film ini patut menjadi perhatian secara nasional, sesuatu yang sayangnya sulit saya dapatkan dari media-media skala nasional. Media kelas nasional yang menyorot fenomena Uang Panai ini masih bisa dihitung dengan jari. Tentu kita tidak bisa membandingkannya dengan keriuhan media nasional ketika mahasiswa Makassar turun berdemo ke jalan, atau tawuran sesama mereka.
Sudahlah, sampai pada titik tertentu film Uang Panai sudah meraup kesuksesannya sendiri. Menjadikannya tolak ukur baru untuk karya-karya domestik, sesuatu yang semoga bisa dimanfaatkan oleh sineas lokal lainnya untuk terus berkarya. Karena sebenarnya kita semua bisa, hanya soal kemauan, tekad dan momentum saja.
Sembari menikmati fenomena Uang Panai ini, mari mendiskusikan seberapa penting budaya uang panai harus tetap kita jaga. Ini tentu demi kemaslahatan umat manusia berdarah Bugis-Makassar, utamanya mereka pria-pria bujangan dari keluarga pas-pasan [dG]
saya bukan orang Bugis atau makassar, tapi penasaran sama film ini. Tapi kira-kira bisa paham sama percakapannya enggak ya? kan pakai bahasa lokal
Ada subtitle nya
Terbaik :v
Kereeeeennnn Daeng!
Ini salah satu bukti bahwa kita tidak perlu melulu Jakarta-sentris atau Jawa-sentris. Saya jadi penasaran, macam apa sih filmnya. Hehehe.
Jujur, film Indonesia belakangan sih bagus bagus ya, apalagi mengusung kultur dan cerita lokal mulai dari Belitong sampai NTT, Timor, Papua sampai Kalimantan. Hanya saja, agak mengelitik ketika mereka (lagilagi) menggunakan bintang Nasional yang itu lagi itu lagi. Saya ngga bilang acting mereka buruk atau bagaimana, tapi boleh donk kita disegarkan dengan wajah baru dunia perfilman? Bukan saya anti sama Lukman Sardi, Cut Mini Teo, Reza Rahardian, atau sederet nama kondang lain yaaa… Tapi itu, perfilman Indonesia butuh tambahan wajah segar, bukan cm artis FTV. Hehehe. Saya rasa saya bukan satu satunya yg berpikir demikian.
Kabar terbaru dari film uang panai’ ini, akhirnya bisa menembus box office perfilman Indonesia. Salah satu karya lokal anak Makassar dan pertama yg bisa masuk kedalam daftar film Box Office Daeng. Saya sbagai orng daerah jadi turut berbangga 🙂