The Power of Social Media
Rabu 1 Desember 2010. Begitu peluit pertama pertandingan piala AFF antara Indonesia vs Malaysia dibunyikan, pulau berkicau langsung ramai. Dalam satu detik saja bisa muncul beberapa kicauan tentang pertandingan pertama di Grup A piala AFF 2010 itu. Selanjutnya, tweetland makin ramai ketika satu demi satu gol Indonesia bersarang di gawang Malaysia. Riuh rendah di tweetland betul-betul terasa, bahkan melewati semua batas, batas negara sekalipun.
Itulah pulau berkicau. Pulaunya para manusia yang senang berkicau. Twitter, dalam kurun setahun belakangan ini betul-betul merangsek ke atas menjadi sosial media paling populer menggeser Facebook yang sebelumnya sudah cukup nyaman berada di puncak, setidaknya di Indonesia. Menurut Sysomos jumlah pengguna Twitter di Indonesia sebesar 2,41% dari total pengguna Twitter di seluruh dunia dan duduk di posisi 6 atau terbanyak di Asia mengalahkan Jepang dan India.
Perlahan-lahan Twitter (dan Facebook di masa sebelumnya) mengubah cara hidup banyak orang utamanya pada tatanan interaksi sosialnya. Dulu orang harus bertemu langsung atau minimal menggunakan telepon untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Facebook dan kemudian Twitter membuat pola komunikasi menjadi lebih massal dan menembus batas waktu. Interaksi yang terjalin meski di dunia nyata terlihat begitu sunyi namun sejatinya di dunia maya begitu riuh.
Entah sudah berapa orang di negeri ini yang menemukan kembali karib-karib lamanya lewat media-media sosial itu. Entah berapa banyak juga orang yang menemukan teman-teman baru, atau bahkan musuh-musuh baru. Sosial media kemudian menambahkan banyak kegunaan dalam kehidupan seseorang, bukan cuma sebagai ?tempat untuk membongkar kembali kenangan lama atau merajut kenangan baru tapi juga menjadi sebuah tempat untuk bertukar informasi.
Di awal tahun 90an, ketika telepon masih belum bisa menjangkau banyak tempat dan masih berada pada posisi eksklusif sebagai milik para berpunya, radio menjadi media efektif untuk menyiarkan sebuah berita. Entah berita duka ataupun berita gembira. Mungkin sebagian dari kita masih ingat beberapa radio memang punya segment khusus untuk menyebarkan berita-berita tersebut, khususnya berita duka tentang kepergian seseorang dengan harapan keluarga atau kerabat jauh yang tak terjangkau telepon bisa ikut mendengar berita tersebut, syukur-syukur bisa meluangkan waktu untuk mendatangi keluarga yang berduka.
Hari ini, segala macam berita cukup disebar melalui status di Facebook atau kicauan di Twitter. Dalam sekejap berita tersebut akan langsung tersebar, dibaca dan dikomentari orang di Facebook atau di ReTweet di Twitter.
Hampir 2 bulan yang lalu ketika bapak saya berpulang, cukup dengan satu status di Facebook dan satu kicauan di Twitter, berbondong-bondonglah ucapan belasungkawa mendatangi saya. Mereka-mereka yang jauh, entah yang betul-betul kenal atau bahkan yang tak pernah bertemu sekalipun sama-sama mengirimkan doa dan ucapan belasungkawa. Hanya karena satu status di Facebook dan satu kicauan di Twitter.
Sekitar dua minggu yang lalu ketika berada di Semarang dan bertemu langsung dengan salah satu korban letusan Merapi saya kembali merasakan dahsyatnya kekuatan sosial media. Kicauan saya di Twitter menggerakkan beberapa teman di Makassar yang sontak mengirimkan donasi yang sudah terkumpul sebelumnya. Jumlahnya memang tak seberapa, bahkan tak sampai genap 10% dari total yang harus dibayarkan oleh si Bapak. Tapi, gerakan dan reaksi yang begitu cepat dari beberapa kicauan saya menjadi sebuah bukti kalau sosial media memang punya kekuatan.
Dalam beberapa kesempatan saya sungguh merasa kagum pada mereka yang menciptakan sosial media itu. Mereka membuat banyak orang seperti saya tak pernah merasa kesepian. Produk telepon genggam menjadi fasilitas ampuh untuk terus terhubung dengan sosial media semacam Facebook dan Twitter. Dan dari sebentuk benda yang pas di genggaman itu semuanya bergulir. Candaan, curhatan, celoteh tak bermakna hingga buah pikiran yang serius dan berat semua terkumpul di sana. Sungguh sebuah dunia yang riuh dan nyaris tak pernah sepi.
Jaman yang semakin bergulir ke depan jelas menjadi sebuah lahan yang pas untuk tumbuhnya sebuah kekuatan baru, kekuatan dari sebuah sosial media. Suatu saat nanti bukan tidak mungkin akan ada pemerintahan yang bisa digulingkan dari sebuah demonstrasi di dunia maya. Kenapa tidak ? Toh social media memang punya power. Orang-orang menamakannya, The Power of Social Media.
Social media is also about self control. Banyak yang kecanduan social media sampai sampai lupa akan sekeliling. Peduli pada korban bencana di luar sana, namun lupa bahwa di sekitar kita pun masih banyak yang perlu bantuan.
I am social media addict…. And still searching my own ways to get rid off it “a bit”. hehehehhee
sedikit sumbang pemikiran boleh ya. menurut saya kita jangan buru2 senang dulu dengan persentase tweeps Indonesia yang mencapai 2,41% mengalahkan Jepang dan India. Jepang dan Korea, meski jumlah penduduknya lebih sedikit dari kita meski sudah digabung, mempunyai penetrasi internet yang tertinggi di dunia dan dengan kecepatan yang terbaik di dunia pula. lalu mengapa jumlah pengguna twitter dan FB di sana kalah dengan kita?
jawabannya adalah budaya pengembangan konten yang sudah maju. FB tidak populer di Jepang karena mereka lebih tergila-gila pada Mixi, lalu Korea dengan Cyworld. Keduanya adalah contoh startup lokal yang isinya gak kalah menarik dari FB. hanya karena konten lokal itulah maka tidak banyak orang asing yang menggunakannya. Apalagi cyworld yang untuk membuka account di sana wajib mencantumkan nama asli, alamat lengkap, nomor telepon dan dan KTP (ini berlaku utk banyak layanan internet lainnya di Korea). Bahasa yang tersedia juga hanya bahasa lokal.
Sementara Indonesia berbeda sekali; kita lebih nyaman menggunakan layanan internet Amerika yang paling-paling diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Jarang ada usaha mengembangkan startup yang bersifat murni lokal. Karena itu aplikasi seperti Koprol menjadi sangat unik dan jarang. Saya pribadi sebenarnya menyayangkan Koprol dibeli Yahoo, oleh karena meski akuisi itu mendatangkan uang, tapi menutup peluang orang Indonesia mengembangkan lebih jauh aplikasi itu secara mandiri. Tapi yah, sejauh ini saya juga asyik2 aja sih make FB dan twitter. hehehe.
maaf jadi curcol 😀