The King’s Speech : Ketika Raja Tergagap

Collin Firth sebagai raja George VI

Hitler dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang selalu sukses membakar semangat rakyatnya lewat pidato. Meski bertubuh kecil, tapi semangat berapi-api yang dikobarkannya di depan ratusan ribu dan bahkan jutaan orang Jerman mampu membuat negara tersebut menjadi momok menakutkan pada pertengahan tahun 40-an. Di Indonesia kita mengenal sosok Soekarno sebagai seorang macan pidato. Sama seperti Hitler, suara Soekarno yang menggelegar jadi penyemangat bagi jutaan orang Indonesia untuk mengusir penjajah. Mereka berdua adalah contoh dari sekian banyak pemimpin yang pandai membakar semangat rakyatnya lewat pidato berapi-api.

Tapi apa yang akan terjadi bila sebuah negara yang dikenal sebagai negara monarki terbesar di abad 20 dipimpin oleh seorang raja yang tak cakap berpidato, bahkan gagap ?

Cerita inilah yang jadi latar belakang kisah dalam film King’s Speech. Pangeran Albert, putra kedua raja Inggris ( waktu itu ) George V punya kekurangan. Dia gagap, bahkan dalam kehidupan biasa apalagi ketika didaulat untuk berbicara di depan umum mewakili keluarga kerajaan. ?Ini tentu jadi beban berat buat pangeran Albert dan keluarga kerajaan Inggris. Sebuah insiden memalukan membuat Albert makin serius mencari cara untuk menghilangkan gagapnya.

Nasib yang kemudian mempertemukan pangeran Albert dengan seorang terapist asal Australia bernama Lionel Logue. Seorang imigran yang mencoba bertahan hidup di kota London dalam segala keterbatasannya. Lionel memperoleh kemampuan menyembuhkan orang gagap dan gagal berkomunikasi verbal dari rangkaian pengalaman panjang selama masa perang dunia I. Dia bukan seorang dokter atau terapist bersertifikat.

Lionel Logue menggunakan beragam metode penyembuhan yang tidak biasa. Proses yang tentunya mendapatkan tantangan dan rasa tidak percaya dari sang pasien, pangeran Albert. Tapi Lionel bukan orang yang mudah menyerah. ?Proses penyembuhan yang diselingi oleh humor cerdas khas Inggris ini menjadi benang merah utama dalam film garapan sutradara Tom Hooper ini.

Masalah menjadi kian pelik ketika raja George V meninggal dunia. Pewaris utamanya, sang anak sulung ternyata lebih memilih menanggalkan mahkota rajanya dan menikahi seorang janda yang jadi penghalang baginya jika ingin terus menjadi seorang raja. Albert sebagai anak kedua secara otomatis menerima limpahan tanggung jawab, maju sebagai raja berikutnya dengan gelar George VI. Ini tentu saja membuatnya makin sering berhadapan dan berbicara langsung dengan publik sebagai seorang raja.

Klimaks dari film ini adalah ketika raja George VI harus memberikan pidato pada acara siaran langsung radio terkait keputusan Inggris menyambut perang dunia ke-II. Tom Hooper kemudian berhasil mengemas adegan pemuncak dalam film ini dengan sangat apik, dia berhasil mengajak kita para penonton untuk ikut larut dalam pergulatan batin seorang raja yang tergagap-gagap tapi harus memberi pidato yang menyemangati rakyatnya.

Anda bisa bayangkan bagaimana pergulatan batin raja George VI sebelum membacakan pidato kenegaraan menyikapi perang dengan Jerman yang sudah di depan mata. Tak elok rasanya jika sebuah pidato penyemangat dituturkan secara gagap. Perang batin inilah yang berhasil dengan baik dihadirkan, tepat di sepertiga akhir film.

Secara umum buat saya, film ini memang spesial. Meski jalan ceritanya telah ditebak sejak awal karena toh ini adalah kisah yang diangkat dari kisah nyata dan telah tertulis di banyak literatur sejarah kerajaan Inggris, namun tak pelak proses yang terjadi selama durasi 119 menit adalah sebuah proses yang sangat indah dan sangat menyentuh.

Film ini menurut saja juga istimewa dari segi sinematografi. Tom Hooper sang sutradara banyak menggunakan semi close up dan menempatkan wajah para pemain di hampir seluruh frame. Ini memberikan kesempatan kepada para penonton untuk menikmati akting luar biasa dari dua bintang utama, Colin Firth ( raja George VI ) dan Geoffry Hurst ( Lionel Logue ). Akting kedua bintang utama itu yang dilengkapi dengan angle yang pas dan music score yang juga tepat memungkinkan kita ikut larut dalam keseluruhan cerita dan ikut merasakan apa yang dirasakan raja George VI ketika harus berhadapan dengan publik dan membawa amanah berat sebagai raja kerajaan inggris.

Semua divisi yang terkait dalam pembuatan film ini memang bekerja nyaris sempurna sehingga kita sebagai penonton bisa sedikit ikut memahami beratnya tanggungjawab sebagai ?seorang raja, plus gagap pula. Bagi anda yang senang dengan film bergenre drama, maka film peraih penghargaan Academy Award ini adalah sebuah pilihan yang pas.

Film yang memuaskan di awal tahun 2011.

Dan by the way, saya juga gagap sampai kira-kira umur 15 tahun. Memang berat menjadi seorang yang gagap, apalagi di masa kecil. Anda akan jadi bahan olok-olokan teman-teman, dan percayalah..itu sama sekali tidak menyenangkan.