Sumpah Pemuda dan 82 Tahun Kemudian

Suasana ketika pembacaan Soempah Pemoeda 2.0 ( foto by : Amril TG-http://daengbattala.com)

5 September 1949, mereka menembak Robert Wolter Monginsidi di Paccinang, Makassar. Itu adalah hari terakhir dalam kehidupan sang pemimpin gerilya yang paling ditakuti tentara Belanda saat itu. Umurnya baru 24 tahun, masih sangat muda. Monginsidi sudah paham resiko dari pilihannya. Dalam sepucuk suratnya yang ditulis empat hari sebelum maut menjemputnya, yang dikirimkannya kepada seorang gadis di Jakarta dia menggambarkan kaumnya sebagai , ” bunga yang sedang hendak mekar, digugurkan oleh angin yang keras “.

Monginsidi mungkin memang sekuntum bunga yang belum lagi mekar sebelum angin keras menggugurkannya, tapi angin yang keras itu membuat yang dilakukannya menjadi dikenang. Seperti kata Goenawan Mohammad, pahlawan lebih cepat mati ketimbang tindakan yang dilakukannya. Sejarah selalu menuliskan tingkah menakjubkan dari para pelakunya. Dan sejarah juga menuliskan kalau bangsa ini banyak dibangun oleh tangan-tangan orang muda.

Tengoklah catatan sejarah kita, berapa banyak manusia-manusia luar biasa yang lahir dan berjuang untuk bangsa ini dalam ruang lingkup penuh keterbatasan ? Soekarno selalu hidup dalam bayang-bayang penjara sempit milik pemerintah kolonial. Hatta meninggalkan dunia nyamannya di Belanda untuk pulang dan berjuang demi tanah airnya, pun dengan Syahrir. Mereka masih sangat muda ketika sadar kalau negeri ini membutuhkan tangan-tangan mereka, membutuhkan kerja keras mereka dan butuh pengorbanan mereka. Mereka secara sadar atau tidak sadar telah meresapi makna dari sebuah sumpah, bukan hanya meliriknya sebagai catatan sejarah saja.

28 Oktober 1928, sekelompok pemuda yang menggelar kongres pemuda kedua di tiga gedung berbeda di Jakarta menghasilkan sebuah keputusan penting bagi bangsa ini. Keputusan yang dianggap sebagai sebuah tonggak sejarah bagi perjuangan Indonesia merebut kemerdekaannya sendiri. Mereka masih sangat muda, mereka adalah bunga yang hendak mekar meski tak seluruhnya gugur oleh angin yang keras.

Delapan puluh dua tahun berselang, di gedung museum kebangkitan nasional di Jakarta sekelompok anak muda mewakili 14 daerah di Indonesia mengulang sumpah yang sama, kali ini dengan nuansa yang sangat berbeda. Soempah Pemoeda 2.0, demikian acara itu diberi nama. Sebuah repetisi atau pengulangan atas apa yang sudah dilakukan para pemuda leluhur kita 82 tahun yang lalu, namun kali ini dalam bentuk digital.

Delapan puluh dua tahun sejak sumpah pemuda untuk pertama kalinya digelar. Zaman telah mengikis begitu banyak makna dari sumpah nan sakral itu, membuatnya seakan-akan hanya sebuah catatan sejarah yang hanya perlu dikenang tanpa perlu diresapi maknanya.

Tengoklah apa yang terjadi di masa sekarang. Ibu pertiwi sudah semakin tua, ibu pertiwi sudah semakin lelah melihat kelakuan anak-anak bangsa yang lebih senang menuding sesamanya, berpecah belah sesamanya dan saling menyakiti sesamanya. Sumpah pemuda hanya tertinggal sebagai sebuah catatan sejarah yang dibaca dan dipelajari di bangku sekolah. Isinya ? tak menarik untuk diresapi.

Banyak tempat di pelosok negeri ini yang menjadi panggung pertunjukan para oprtunis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan tanpa berpikir tentang satu nusa dan satu bangsa. Banyak tempat di negeri ini yang jadi panggung pertunjukan kekuatan dan kekuasaan satu golongan atas golongan lainnya, tak ada lagi satu nusa satu bangsa.

Oktober 1928, para pemuda pelopor kebangkitan negeri ini melepaskan attribut kedaerahan mereka dan melebur menjadi satu di bawah panji bernama Indonesia. Tak ada lagi sekat-sekat yang sebelumnya jadi sebuah penghalang besar dalam mempersatukan bangsa yang memang penuh dengan ragam warna-warni budaya ini.

Waktu kemudian terus bergulir, Indonesia akhirnya merebut kemerdekaannya sendiri dan menjadi negara yang berdaulat. Sejarah mencatat republik muda itu berjalan tertatih dalam alur yang tak selamanya lurus. Silih berganti cobaan datang, berusaha memecah belah persatuan yang sudah dibangun dengan susah payah. Puluhan tahun setelah sumpah itu didengungkan untuk pertama kalinya, semangatnya mulai luntur. Banyak yang tak paham lagi konsep satu nusa satu bangsa satu bahasa. Yang tertinggal hanya gaungnya di dalam ruang-ruang kelas, tak meresap hingga ke hati.

Satu persatu pelosok ibu pertiwi dihiasi perseteruan karena perbedaan. Beda etnis, beda paham dan beda agama. Anak-anak bangsa dengan gampangnya saling membunuh karena perbedaan, perbedaan yang delapan puluh dua tahun lalu coba disatukan oleh para leluhur kita, para pemuda yang tahu beratnya perjuangan dan resiko menyatukan bangsa yang demikian besar dan beragam ini.

Delapan puluh dua tahun yang lalu, pemuda-pemuda terbaik yang lahir dan besar di tanah ibu pertiwi ini berani mengambil langkah berat dalam keterbatasannya. Delapan puluh dua tahun kemudian, banyak pemuda di tanah ibu pertiwi ini yang terlanjur terbuai oleh semua kemudahan, kehilangan semangat berjuang bahkan berjuang untuk masa depannya sendiri. Bukan salah mereka sepenuhnya memang, karena sebagian dari mereka juga menjadi apatis karena melihat contoh yang diberikan tetua mereka dari bilik gedung-gedung mewah berpendingin ruangan itu. Selebihnya hanyalah anak-anak muda labil yang terlalu terbuai oleh beragam kemudahan yang ditawarkan oleh masa depan yang dulu bahkan tak berani diangankan oleh para pejuang kita.

Delapan puluh dua tahun semenjak sumpah itu diucapkan, gaungnya terasa lemah. Bahkan teks sumpah itu mulai hilang dari ingatan, hanya sebatas masa berseragam sekolah saja. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa ?serasa hanya ada di awang-awang saja. Bahkan gaungnya hanya mengema perlahan di dinding-dinding kita. Tak meresap hingga jauh ke dalam hati.? Setidaknya bagi sebagian anak bangsa yang lebih sibuk memikirkan diri dan kaumnya sendiri.

Delapan puluh dua tahun berselang sejak sumpah itu pertama kalinya diucapkan, dalam sebuah gedung tua yang diberi pendingin ruangan, 14 pemuda wakil dari 14 daerah mengucap kembali sumpah yang sama, dengan kemasan yang berbeda. Soempah Pemoeda 2.0 namanya. Sebuah langkah kecil yang diharapkan banyak pihak bisa menjadi sebuah pijakan baru untuk meresapi kembali sebuah tonggak sejarah yang paling penting sekaligus mungkin paling terlupakan di era serba digital ini.

Era digital menjadi tantangan tersendiri untuk sebuah filosofi persatuan di Indonesia. Internet seharusnya bisa diubah menjadi sebuah alat terbaik yang menyatukan para pemuda, para anak bangsa, dan semua orang Indonesia yang masih ingin melihat bangsanya bersatu, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.

Delapan puluh dua tahun berselang, dan bangsa ini harus direkatkan kembali apapun jalannya. Sumpah itu harus berdengung kembali, bukan hanya di ruang kelas tempat para siswa meneriakkannya karena perintah guru. Sumpah itu harus bisa meresap dalam dada setiap anak bangsa, seperti yang dulu diresapi para pendahulu kita.

Delapan puluh dua tahun berselang, dan waktunya untuk kembali menggemakan sumpah itu. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.