Sinetron ; Antara Mimik, Mata Melotot dan Musik Yang Mengganggu

Putri Yang Ditukar

Dua hal yang paling saya benci dari sinetron Indonesia : mimik bego pemainnya dan musik latarnya yang menganggu.

Wanita muda itu melotot tajam seakan-akan menampakkan kemarahan, sementara di depannya ada lelaki muda yang bertampang bego seakan-akan pasrah kena marah. Di belakang terdengar latar musik yang melengking, memekakkan telinga dan benar-benar tidak nyaman di kuping.

Itulah sedikit potongan adegan dalam sebuah sinetron di salah satu stasiun televisi Indonesia. Sinema elektronika atau yang lebh dikenal dengan sinetron memang menjadi salah satu mata acara favorit di Indonesia. Penggemar terbesarnya adalah para ibu rumah tangga atau remaja putri meski tidak sedikit juga kaum Adam yang rela meluangkan waktunya memelototi televisi setiap kali sinetron kesayangannya ditayangkan.

Jalinan cerita yang agak absurd, terlalu dibuat-buat, adegan yang tidak masuk akal, akting yang parah dan sinematografi yang secara keseluruhan sangat payah tidak menghalangi para penggemarnya untuk tetap mencintai sinetron,. Alasan ini juga yang membuat para produser tetap setia memproduksi sinetron, betatapun kritikan tajam selalu menghampiri.

Selama bertahun-tahun jadi salah seorang warga Indonesia yang punya televisi, saya hanya sedikit menemukan tayangan sinetron yang bolehlah masuk kategori berkualitas. Selebihnya hanyalah sinetron yang mampu membuat saya tertawa dan kemudian mual karena? absurditasnya.

Sekitar periode 90an ada beberapa sinetron yang lumayan berkualitas menurut saya. Sebut saja sinetron : Siti Nurbaya atau Sengsara Membawa Nikmat. Dua sinetron yang diangkat dari novel berlatar budaya Minangkabau dan ditayangkan oleh TVRI.

TVRI juga pernah menayangkan sinetron-sintetron berkualitas lainnya seperti Rumah Masa Depan atau Aku Cinta Indonesia, dua sinetron favorit saya di masa kecil.

Kemudian ketika stasiun televisi swasta mulai bermunculan, TVRI mulai terasa sangat ketinggalan jaman. Perlahan, acara yang dulu bernama Drama disadur oleh televisi swasta dan diubah namanya menjadi Sinema Elektronika atau Sinetron.

RCTI sebagai stasiun televisi tertua pernah punya sinetron yang juga bisa dibilang berkualitas, Si Doel Anak Sekolahan. Sinetron yang sekarang rajin ditayangkan ulang setiap pagi ini menurut saya sangat lumayan dari jalinan cerita, konflik hingga akting dan aksentuasi pendukungnya.

Konfliknya membumi, begitu juga dengan akting para pemainnya yang kemudian menjulangkan sejumlah nama seperti Mandra, Basuki atau Maudy Koesadi. Tapi, semua memang harus ada akhirnya. Menjelang akhir 90an, popularitas si Doel mulai menurun dan perlahan ditinggalkan penggemarnya.

Selepas itu, makin sulit menemukan sinetron yang bagus. Lupakan kata berkualitas, menemukan yang baikpun susah.

Periode tahun 2000an ada angin segar di dunia sinetron tanah air. Stasiun televisi Trans TV menayangkan Bajaj Bajuri. Sebuah sinetron yang mengangkat tema keseharian seorang supir bajaj dengan istrinya yang oon dan mertuanya yang galak dan mata duitan.

Saya suka Bajaj Bajuri. Jalinan ceritanya meski kadang mengada-ada tapi terkesan jenaka. Akting para pemainnya natural dan tidak berlebihan. Karakter-karakternya juga kuat. Cacat satu dua memang ada, tapi dapat tertutupi oleh keseluruhan rangkaian cerita yang segar dan menghibur.

Tapi sekali lagi, semua ada akhirnya.

Bajaj Bajuri menghilang dari layar kaca dan coba digantikan oleh beberapa sinetron bergenre sama, tapi tidak ada satupun yang bisa menyamai popularitas Bajaj Bajuri. Perlahan-lahan genre sinetron komedi atau Sitkom mulai menghilang,

Entah karena kurang kreatif atau malas, para pekerja seni peran di televisi Indonesia seperti selalu ikut-ikutan. Satu tema sedang ngetrend, yang lain kemudian membuat tema yang sama. Ketika tema mistis dan hantu sedang marak, hampir semua sinetron memuat tema yang sama. Bahkan sebuah sinetron yang tadinya bercerita tentang kehidupan muda-mudi tiba-tiba memunculkan hantu yang entah datangnya dari mana.

Hampir tidak ada perkembangan yang bagus dari sinetron di negeri kita. Dari sejak tahun kapan, sinetron kita tetap seperti itu. Jalinan ceritanya absurd, ditambah-tambahkan biar durasinya panjang, tokoh yang jahat sejahat-jahatnya serta tokoh yang baik, lugu dan hanya bisa pasrah tapi akan keluar sebagai pemenang di akhir cerita.

Lihat juga akting para pemain sinetron itu. Akting mereka pas-pasan dengan rumus yang sama. Mata melotot melambangkan rasa marah, senyum menyeringai melambangkan ide busuk atau wajah memelas melambangkan ketertindasan. Parahnya lagi, semua ketidakberesan itu dilengkapi dengan suara musik yang mengganggu. Mungkin maksudnya ingin member nuansa sesuai apa yang terjadi, tapi bagi saya justru terasa sangat mengganggu di telinga.

Suka atau tidak suka, itulah gambaran sinetron tanah air kita. Acara yang jualannya lebih banyak berkutat pada cerita yang absurd, akting pas-pasan dan musik yang mengganggu. Entah sampai kapan, mungkin sampai masyarakat kita benar-benar bisa memilih dan memilah mana tayangan yang bagus.

Tapi, sampai kapan ? Entahlah..