Sekali Lagi Tentang Joke Yang Tidak Sensitif

Stop Making A Shallow Joke

Acara Dekade jaringan televisi Trans Corp. ternyata berbuntut panjang. Salah satu bagian acaranya ternyata mengundang reaksi negatif dari para penonton

Adalah Olga Syahputra yang menjadi aktornya. Dalam sebuah segmen dia tampil sebagai hantu dalam parodi Dunia Lain, salah satu acara unggulan Trans TV beberapa tahun lalu. Ketika ditanya apa penyebab kematiannya, dengan enteng Olga menjawab : matinya sepele, karena diperkosa sopir angkot.

Sule yang jadi lawan mainnya tertawa riang, begitu pula ratusan penonton di studio dan mungkin ribuan lainnya yang sedang memelototi layar televisi.

Tapi di twitter, beberapa reaksi negatif berseliweran. Di antaranya yang dituliskan di Yahoo OMG adalah :

@cho_ro
Kita butuh becandaan yang cerdas. Bukan merendahkan sesuatu atau seseorang. Kalo masih mau merendahkan mbok merendahkan diri sendiri aja.

@leonisecret
Laporkan becandaan #OLGA di @TRANSTV_CORP ke Komisi Penyiaran Indonesia/KPI dg sms ke 08121370000 #RapeIsNotForJoke !!! via @shasya_toviano

@RyuDeka
Mengerikan kalau kematian dan pemerkosaan dianggap sesuatu yang sepele dan dijadikan bahan becandaan. Di TV nasional pula

@wdanoe
@dahsyatnyaolga semoga segera menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Rape is never funny. Rape is NOT a joke!

Dan yang paling keras adalah dari @RisaHart, seorang pemerhati masalah HAKI dan blogger perempuan. Isi twitnya :

@RisaHart
Menggunakan topik “mati krn diperkosa supir angkot itu SEPELE” sbg bahan canda merupakan refleks berpikir manusia tak bermoral dan kejam.

@RisaHart
Pikirkan jika anda atau keluarga anda yg jadi korban, apakah anda msh menganggapnya ‘hanya bercanda’? Tanyakan nurani dan jawab dgn jujur.

@RisaHart
Be sensitive to others’ misery and pain. If you want to be loved, try loving others sincerely. Have a good rest! @HelgaWorotitjan thanks!

Bahkan beberapa twit berikutnya dari @RisaHart lebih keras lagi dan benar-benar menunjukkan kemarahan. ?Bagi saya, ini dapat dipahami. Sebuah lelucon yang mengambil subjek pada penderitaan orang menurut saya tidak lucu, sama sekali tidak lucu.

Belakangan ini kasus pemerkosaan di dalam angkutan kota memang sedang marak dan jadi berita di berbagai media. Sayangnya bagi Olga itu bukan hal yang bisa mengundang simpati, bahkan sebaliknya bisa mengundang tawa bila diselipkan ke dalam sebuah penampilan. Sayangnya lagi karena sang partner saat itu ( Sule dan Denny Cagur ) tidak tampak keberatan, pun dengan ratusan penonton di dalam studio yang serentak menyumbang tawa. Lengkaplah sudah, lelucon tentang korban perkosaan dianggap wajar. Toh itu hanya sebuah lelucon, tak perlu dianggap serius.

Kasus ini bukan yang pertama tentu saja. Para pelawak di negeri ini sudah sering kebablasan, kelepasan ngomong, kurang sensitif dan akhirnya tergoda mengeluarkan candaan yang sebenarnya melukai orang banyak.

Olga sendiri sudah beberapa kali mendapatkan kritikan tajam berkaitan dengan candaannya. Di sebuah acara musik yang dibawakannya setiap pagi, dia terkadang tampil dengan cara bercanda yang juga ofensif dan cenderung terkesan menyerang dan melecehkan lawan bicaranya. Acara sahurnya di Trans TV pun pernah mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dianggap sudah melewati batas kesantunan.

Olga tidak sendiri, masih banyak lagi pelawak tanah air yang lawakannya kadang tidak sensitif. Tukul Arwana sendiri yang terkenal dengan acara Empat Mata-nya sudah pernah merasakan teguran keras dan sanksi dari KPI meski kemudian dengan pintarnya sang produser membawa kembali acara tersebut dengan nama yang sedikit berbeda.

Dunia lawak ini memang unik. Para pelawak dituntut untuk terus berkreasi menemukan objek yang kira-kira bisa menjadi bahan lawakan dan tentunya mengundang tawa riang para penonton. Batas-batas norma kadang memang jadi agak kabur. Sebuah lelucon sarkas kepada penguasa korup bisa diartikan sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik, apalagi bila menyampaikannya tidak dengan cara yang cerdas.

Kalau melihat aksi para pelawak di negara maju dengan tingkat kebebasan yang lebih tinggi dari Indonesia memang terlihat bagaimana mereka dengan tenangnya bisa menyampaikan lawakan yang sangat menyinggung, bahkan kadang sampai berbau rasis. Hanya saja kadang kita lupa kalau budaya mereka dan budaya kita memang sedikit berbeda. Lagipula saya yakin para pelawak tenar juga masih punya batasan dalam menentukan bahan lawakan, utamanya bila menyangkut kesusahan atau penderitaan orang lain.

Televisi kita juga menjadi ladang subur untuk berbagai lawakan kasar dan tidak sensitif itu. Acara yang dipandu Olga setiap pagi itu meski telah mengundang kecaman tapi toh tetap saja disukai orang banyak, dan stasiun televisi terlalu takut kehilangan pundi-pundi rupiahnya untuk memperingatkan atau bahkan menghentikan acara yang dimaksud. Akibatnya, acara itu masih tetap tayang dan masih tetap dengan bumbu lawakan kasar, tidak sensitif dan tentu saja ofensif.

Yah begitulah, harus kita akui kalau dunia lawak di negeri kita memang masih jauh dari lawakan cerdas. Kekerasan, kekasaran, ofensif, pelecehan dan semacamnya masih menjadi bumbu utama. Masih sedikit yang sadar bahwa lawakan mereka bisa saja menyakiti hati beberapa orang yang sebenarnya adalah korban sebuah keadaan.

Entah sampai kapan kondisi ini akan terus berlanjut.