Sepakbola Kita, Mundur Menuju Jurang

Rahmad Darmawan
Rahmad Darmawan
Rahmad Darmawan ( sumber : Persibholic.com )

Entah mau dibawa ke mana sepakbola Indonesia. Pengurus sudah berganti, tapi masalah tetap sama bahkan makin kusut

Lelaki itu terlihat tegap di usianya yang ke 45. Lelaki kelahiran Metro, Lampung tahun 1966 itu memang seorang perwira menengah, seorang marinir yang kemudian lebih terkenal sebagai pelatih sepakbola di Indonesia. Lelaki yang senang menutupi kepalanya dengan topi adalah salah satu pelatih terbaik negeri ini. Persipura, Sriwijaya FC sudah pernah dibawanya ke level paling atas sepakbola kita. Terakhir timna U23 dibawanya membawa medali perak lewat serangkaian perjalanan yang menyita perhatian penggemar sepakbola Indonesia.

Tegas tapi mengayomi dan dekat dengan anak asuhnya. Itu komentar banyak orang yang sudah pernah merasakan sentuhan lelaki itu. Saat sedang bertanding memang terlihat jelas raut ketegasan dari wajahnya, bersanding dengan ketenangan kala memberikan instruksi. Di luar lapangan dia terlihat sebagai pria santai namun disegani.

Lelaki itu bernama Rahmad Darmawan. Tiga bulan terakhir namanya menjadi pujaan banyak orang di Indonesia. Dia berhasil menyuburkan rasa bangga dan kebersamaan dengan caranya sendiri. Mendorong 23 anak muda Indonesia untuk maju, bahkan hingga satu langkah dari puncak juara. Kekalahan menyesakkan diterima di ujung perjalanan perebutan emas sepakbola SEA Games. Tapi bagi banyak orang itu adalah harapan, harapan untuk melihat negeri ini kembali disegani di ASEAN, bahkan mungkin di Asia.

Beberapa hari yang lalu Rahmad Darmawan yang akrab disapa RD kembali menjadi pusat perhatian. Sebuah surat pengunduran diri dialamatkan ke PSSI. Secara resmi RD mengundurkan diri sebagai pelatih timnas U23. Alasannya karena dia merasa gagal membawa Indonesia meraih medali emas di SEA Games kemarin. Alasan yang masuk akal, tapi tetap membuat banyak orang ragu.

RD tidak gagal seratus persen. Merski gagal meraih medali emas SEA Games, RD telah berhasil meletakkan pondasi kokoh di timnas U23. Belasan anak-anak muda disatukannya menjadi tim yang menjanjikan. Beberapa bakat-bakat luar biasa dimunculkannya ke permukaan. Tak bisa dibilang gagal 100% meski tetap saja kita harus takluk pada negeri seberang di partai puncak.

Tapi RD tetap memilih mundur. Banyak yang berspekulasi kalau lelaki berkulit gelap itu terlalu frustasi untuk mengurai benang kusut sepakbola negeri kita. Era NH sudah lewat, NH yang jadi public enemy sepakbola Indonesia sudah lengser, berganti Djohar Arifin Husain. Semua publik menaruh harapan besar pada lelaki? yang dulu juga pernah menjadi pemain sepakbola itu.

Bulan berganti bulan, tapi tanda-tanda perbaikan belum ada. Timnas senior gagal di penyisihan grup Pra Piala Dunia sekaligus kembali memupus harapan berlaga di kasta tertinggi sepakbola bumi ini. Timnas muda kita lumayan, di tangan RD harapan itu masih ada. Medali perak di tangan, rasa bangga membuncah.

Tapi, rasa bangga itu hanya sesaat. Kusut masai sepakbola kita terus berlanjut. Liga yang jadi pondasi dasar sebuah pembinaan sepakbola suatu negeri justru jadi cermin betapa kacaunya sepakbola kita. Dua liga sama-sama mengaku sebagai liga yang syah, LPI dan LSI.

LPI mengaku sebagai satu-satunya liga yang disetujui PSSI, sementara LSI mengaku masih berpegang pada kontrak dengan PSSI. Semua sama-sama menegangkan urat leher, sama-sama mengencangkan promosi dan sama-sama tak mau kalah dianggap mentereng.

Hebatnya lagi karena kedua liga yang berseberangan itu didukung oleh raksasa media tanah air. Raksasa media yang kalau dirunut ke belakang sama-sama ditunggangi partai politik. Ujung-ujungnya kita tahu arahnya ke mana, bukan ? Dari dulu sepakbola kita memang tidak pernah bisa bersih dari politik, tidak pernah bisa bersih dari kepentingan politikus.

Ketika RD mengundurkan diri, mungkin dia sedang berpikir jernih. Mungkin juga dia sedang frustasi. Keputusan PSSI untuk tidak memanggil pemain-pemain yang bermain di liga saingan LPI tentu memusingkan RD. Sebuah tim yang sudah dibangunnya sedemikian rupa akan kehilangan para pemain terbaiknya hanya karena perselisihan politis tingkat atas. RD sudah lama meminta agar para pemain jangan sampai diseret-seret dalam perseteruan politik para petinggi. Biarkan mereka bermain, biarkan mereka menjadi pemain seperti bagaimana seharusnya, tak usah dilibatkan dalam urusan politik.

RD mungkin frustasi dan kecewa, seperti juga kita para pecinta sepakbola Indonesia. Terlalu lama kita menunggu prestasi sepakbola kita membaik, tapi yang muncul selau berita tentang kisruh sepakbola kita. Liga yang kacau, pengurus yang kebingungan. Masalah klasik yang terus berulang. Sementara di luar sana berbagai negara tetangga sudah siap dengan programnya masing-masing. Siap menuai prestasi lebih tinggi. Sedangkan kita ?

Ketika laga el clasico Real Madrid vs Barcelona berlangsung, saya melempar sebuah kicauan : Kalau di Spanyol ada El Clasico, di Indonesia ada masalah klasik.

Mudah-mudahan kita tidak sedang melihat sepakbola negeri ini yang berjalan mundur menuju jurang.