RUMATA ; Sebuah Mimpi Tentang Kota Yang Lebih Berbudaya

Suasana diskusi tentang RUMAHTA' bersama Riri Riza

Anda kenal Riri Riza ? Kalau anda bilang tidak maka mungkin saya harus bertanya, ” Dari mana aje Lu ?”. Atau pertanyaannya saya ubah sedikit, anda pernah dengar Laskar Pelangi ? baik novel ataupun filmnya. Nah, untuk anda yang belum tahu siapa Riri Riza itu saya kasih bocoran sedikit kalau dialah yang menjadi sutradara film Laskar Pelangi serta sequelnya, Sang Pemimpi. Sebenarnya sudah banyak rentetan karya Riri Riza yang begitu membekas di dunia perfilman Indonesia. Sebut saja film Petualangan Sherina, Eliana-Eliana, atau Gie. Jelasnya, Riri bukan sosok sembarangan kalau kita bicara soal dunia perfilman Indonesia, khususnya dalam satu dekade terakhir.

Ada yang luar biasa dari sosok Riri menurut saya. Dia yang telah begitu terkenalnya, menghasilkan karya yang tidak main-main itu ternyata tetaplah seorang sosok yang sederhana dan sangat membumi. Jabatan tangan dan senyumnya terasa hangat, bahkan kepada saya yang bukan siapa-siapa ini.

Kami bertemu pertama kalinya di sebuah sore yang basah oleh hujan hari Senin 15 November kemarin. Di lantai dua sebuah kantor NGO di bilangan Jl. Hertasning, Riri datang bukan sebagai seorang selebriti, seorang sutradara terkenal ataupun publik figur. Sore itu dia datang sebagai seorang anak Makassar yang punya mimpi untuk membuat Makassar, kota tempatnya lahir dan menikmati masa kecil bisa dianggap sebagai kota yang berbudaya, minimal lebih berbudaya dari gambaran tentang Makassar saat ini.

Sore itu Riri banyak bercerita tentang mimpinya, mimpi membangun sebuah rumah yang bisa jadi sebuah tempat baru bagi para seniman Makassar dan sekitarnya untuk berkumpul, bercerita, berbagi ilmu dan pengalaman serta tentu saja menampilkan karya-karya terbaiknya. Di hadapan sekitar 30an orang yang hadir di sebuah ruang sempit tak berpendingin ruangan itu, Riri menampilkan slide-slide tentang rancangan sebuah rumah yang disebutnya sebagai RUMATA’ .

Dalam bahasa Indonesia berlogat Makassar, Rumata’ diartikan sebagai rumah kita, rumah bagi kita semua bukan hanya bagi dia atau bagi saya. Riri mengaku kalau kegelisahannya berawal dari ide sang kakak yang bermukin di New York untuk menjadikan rumah peninggalan orang tua mereka di daerah Gunung Sari, Makassar sebagai sebuah pusat kebudayaan untuk daerah Makassar dan sekitarnya.

Makassar masih jauh tertinggal dari kota-kota lainnya yang sudah lebih dulu punya beberapa pusat kebudayaan. Sebut saja Salihara, Teater Utan Kayu di Jakarta, Cemeti di Yogya dan Sunaryo di Bandung. Makassar memang punya Dewan Kesenian Makassar serta berbagai pusat kegiatan-kegiatan komunitas dan budaya lainnya tapi semua masih berdiri sendiri-sendiri dengan gaung kegiatan yang masih kalah dari aksi demo berujung ricuh.

Riri punya mimpi untuk menjadikan rumah peninggalan orang tua mereka seluas kurang lebih 900m2 itu sebagai sebuah pusat kegiatan seni dan budaya yang lain (bukan yang baru) untuk melengkapi berbagai pusat kegiatan seni dan budaya yang sudah terlebih dahulu hadir di Makassar. Rumahta’ dibayangkan Riri menjadi sebuah tempat yang independent, terbuka dan mudah diakses siapa saja. Rumahta akan menjadi sebuah tempat di mana terjadi persilangan dan persinggungan berbagai latar belakang seni, baik itu teater, sastra, seni rupa dan bahkan seni fotografi.

Rumahta yang dibayangkan sebagai sebuah tempat yang menjadi alternatif hiburan keluarga di mana pada hari-hari libur seorang ayah atau ibu bisa mengajak keluarganya untuk berkunjung ke Rumahta, mencicipi berbagai karya seni atau sekedar menikmati buku-buku di perpustakaannya.

Riri Riza mungkin beruntung bertemu dengan Lily Yulianti dan Ami Ibrahim. Dua orang yang selama beberapa tahun belakangan ini juga tidak pernah berhenti bermimpi dan bekerja untuk membuat Makassar menjadi kota yang jauh lebih nyaman daripada yang digambarkan oleh orang-orang luar Makassar selama ini. Mimpi Riri bersambut, Lily Yulianti yang meski sekarang sedang berada di Melbourne bergerak mengumpulkan beberapa orang yang juga punya mimpi dan harapan yang sama untuk ikut berdiri dan ambil bagian dalam mimpi Riri, mimpi tentang sebuah tempat bernama Rumahta.

Rumahta dalam bayangan Riri juga akan menyediakan sebuah wisma dan kedai sebagai tempat bagi para seniman dan pekerja seni dari luar Makassar untuk tinggal sejenak, berbaur dengan seniman lokal dan menciptakan sebuah interaksi positif serta simbiosis mutualisme dengan seniman dan pekerja seni lokal. Riri berbicara tentang sebuah program residensi di mana seorang “pendatang” tinggal dan belajar dalam sebuah masa waktu tertentu untuk kemudian membawa pulang beberapa pengalaman dan tentu saja meninggalkan beberapa jejak bagi “tuan rumah”. Salah satu peserta diskusi, Arfan Sabran yang telah terkenal sebagai seorang pembuat film dokumenter mengungkapkan nilai-nilai positif yang direguknya ketika mengikuti program residensi di Jogjakarta.

Salah seorang peserta diskusi yang juga seorang sastrawan muda Makassar bernama Aan Mansyur mengungkapkan kekhawatirannya tentang label eksklusif yang mungkin saja akan melekat erat dalam lingkup Rumata. Sebagai seorang yang bukan pekerja seni saya juga menyadari hal tersebut, terkadang bagi kita yang orang awam ini, labe bernama seni entah itu seni sastra, seni musik atau seni teater terasa sangat jauh dari jangkauan. Terkadang saya sendiri merasa kalau para pekerja seni dan seniman itu adalah orang-orang yang hidup di dunianya sendiri yang begitu eksklusif dan jauh dari kita yang hanya penikmat dalam kesunyian ini. Rasanya begitu susah untuk melebur dengan mereka karena terkadang kita sendiri tak mengerti apa yang sedang mereka pikirkan atau bicarakan.

Ini kemudian menjadi sebuah pembahasan serius di sore menjelang malam itu. Abdi, seorang pekerja seni tari Makassar membagi pengalamannya selama berkunjung ke beberapa pusat-pusat kesenian di Jogja termasuk di sanggar milik Bagong Kusudiarjo. Dia bercerita bagaimana pusat-pusat kebudayaan tersebut berinteraksi dengan sangat terbuka dengan masyarakat biasa, utamanya masyarakat sekitar dalam usahanya untuk melepas label eksklusif dan menakutkan itu.

Riri menggambarkan kalau padepokan milik pak Bagong di Jogja itu adalah sebuah tempat yang benar-benar terbuka tanpa pagar sehingga benar-benar seperti mengundang masyarakat sekitar untuk ikut aktif bukan hanya sebagai penikmat tapi juga sebagai peserta. Anak-anak sekitar dirangsang untuk selalu ingin datang belajar seni, apapun itu bentuknya. Riri membayangkan konsep yang sama dengan sedikit modifikasi yang akan diterapkan di Rumata.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah soal manajemen. Semua peserta yang datang sore itu dihadapkan pada sebuah persoalan tentang manajemen yang apabila tidak diatur dengan baik bisa menjadi sebuah bumerang yang menghambat perkembangan mimpi sebuah pusat kebudayaan bernama Rumata ini. Manajemen ini termasuk keberadaan kurator. Dalam konsep Rumahta, kurator dibentuk lewat sebuah dewan sehingga tidak terkesan mendewakan satu orang saja dalam pengambilan keputusan tentang karya seni mana saja yang pantas untuk ditampilkan oleh Rumahta.

Sore itu begitu banyak ide-ide yang berserakan yang kemudian dikumpulkan satu persatu dengan cermat. Para hadirin sepertinya sudah sadar untuk menyatukan satu komitmen berada di belakang Riri Riza, membangun sebuah pusat seni dan budaya di kota Makassar yang dalam perkembangannya diharapkan bisa ikut mengubah citra Makassar yang selama ini terlanjur sering digambarkan sebagai kota yang keras dan kasar menjadi kota yang lebih berseni dan berbudaya yang memberi ruang seluas-luasnya kepada warganya untuk belajar dan berpraktek di bidang seni dan budaya.

Bukankah sebuah kota akan terasa lebih menyenangkan bila kegiatan seni dan budayanya begitu teratur, kerap dan begitu mudah diakses ? mimpi Riri Riza tentang Rumahta adalah mimpi orang Makassar juga. Mimpi tentang sebuah kota yang lebih nyaman, untuk pekerja seni dan untuk siapa saja.