Pilih Group atau Solo ?

Saya orang yang senang jalan-jalan, meski hobi itu tak selalu terpuaskan karena banyaknya halangan, biasanya sih karena dana. Namun, saya cukup beruntung karena setidaknya 4 tahun belakangan ini saya banyak mendapat kesempatan untuk jalan-jalan ke beberapa tempat di Indonesia. Sebagiannya bersama teman-teman kantor, sebagiannya lagi sendirian atau setidaknya bersama istri dan anak.

Jalan-jalan paling terakhir baru saja terjadi minggu lalu. Bersama kurang lebih 43 orang lainnya, saya berkesempatan ke Ciater dan Bandung selama 5 hari. Judulnya sih acara kantor yang isinya kebanyakan hanya berleyeh-leyeh di Ciater, ber-outbound dan ditutup dengan belanja gila-gilaan di Bandung. Jalan-jalan terakhir ini membuat saya menyadari perbedaan besar antara jalan-jalan bersama rombongan dan jalan-jalan sendiri apalagi karena sebulan sebelumnya saya sempat berjalan-jalan solo ke Surabaya.

Hasil perbandingan saya memberikan kesimpulan kalau jalan-jalan berombongan itu kurang asyik, setidaknya buat saya. Banyak sekali hal-hal menarik yang terlewatkan. Kadar keseruannya juga tidak seberapa apabila dibandingkan dengan jalan-jalan sendirian. Penyebab utamanya adalah karena age-gap dan status-gap yang rentangnya jauh banget antar para peserta.

Karena namanya acara kantor, ya pesertanya adalah hampir semua karyawan kantor. Mulai dari level Direktur Utama sampai level Staff biasa seperti saya. Di sinilah perbedaan itu mulai terasa. Bagi mereka yang levelnya di atas, apalagi berjenis ibu-ibu, jalan-jalan ke museum, tempat wisata atau itenerary sejenis tentu kurang menarik. Jangan lagi menyuruh mereka ke sana ke mari menggunakan angkot atau jalan kaki. Kebiasaan ber-AC mulai dari rumah, kendaraan sampai ruangan kantor membuat mereka akan sangat gampang mengeluh ketika rasa gerah timbul sedikit saja.

Tapi, coba ajak mereka ke pusat belanja. Reaksi mereka pasti akan berbeda. Mata yang berbinar-binar cerah, wajah yang bersemangat dan adrenalin yang memuncak akan gampang terasa. Ibu-ibu itu ( plus beberapa bapak-bapak ) akan dengan antusiasnya menyerbu gerai-gerai busana yang ada, apalagi karena kami ada di Bandung, kota yang dianggap sebagai ibukota fashion di Indonesia . Sialnya, saya bukan orang yang doyan belanja selain tentu saja kantong saya tidak sekuat mereka. Walhasil selama mereka mengamuk di gerai busana, saya lebih banyak menghabiskan waktu di parkiran dan mengunyah makanan khas dari gerobak sederhana di pinggir jalan.

Mau memisahkan diri dari rombongan rasanya agak riskan mengingat ketua rombongan sudah mengeluarkan ultimatum untuk “menjaga kebersamaan” dan jangan memisahkan diri. Wajar sih mengingat acara ini sepenuhnya dibiayai kantor sehingga peserta diwajibkan mengikuti aturan kantor.

Tapi ikut tur dengan grup ada enaknya juga. Apalagi kalau bukan fasilitas hotelnya. Maklumlah,sebagai “orang tidak mampu” yang lebih banyak berjalan-jalan dengan dana terbatas, saya lebih sering menginap dihotel seadanya, asal bersih aman dan terjangkau. Beda banget dengan hotel yang saya tempati di Ciater dan Bandung kemarin. Bayangkan, harga semalamnya saja bisa sama dengan harga 5 malam hotel yang terakhir saya tempati menginap di Surabaya bulan lalu. Karena harganya beda jauh maka tentu saja kualitas pelayanannya juga beda dong. Kamar ber-AC, bathtub dan air hangat, sarapan a la buffet dengan beragam pilihan makanan dalam dan luar negeri serta tentu saja kolam renang luas yang siap dipakai 24 jam sehari.

Kenyamanan ini juga dilengkapi dengan segala kemudahan dalam hal transportasi. Mau ke mana-mana tinggal angkat barang dan badan ke atas bis. Tinggal duduk tenang dan nanti akan diturunkan di tempat tujuan. Saat waktu makan tiba, tidak perlu bingung. Tinggal ngikut aja dan nanti akan diturunkan di restoran yang sudah dipilih. Dan namanya gabung dengan para “pembesar” maka hidangannyapun pasti sesuai dengan selera mereka. Pokoknya tinggal makan aja tanpa perlu memikirkan bayarnya berapa.

Tapi, sekali lagi buat saya itu semua sama sekali tidak mengesankan. Jalan-jalan yang selalu saya nikmati itu adalah jalan-jalan yang ada tantangannya. Survey tujuan dan tempat menginap sebelum berangkat, turun di bandara ada adegan tawar menawar dengan tukang ojek, menginap di hotel seratus ribuan, makan di pinggir jalan, naik angkot ke tujuan serta sesekali berjalan kaki beratus-ratus meter. Yah, jalan kaki di tempat baru adalah sebuah pengalaman yang selalu saya nantikan. Ada keasyikan tersendiri kala berjalan kaki di trotoar atau di pinggir jalan sembari menikmati suasana kota, bertemu dan berinteraksi dengan orang lokal. Wuihh..menyenangkan.

Saat di Bandung kemarin saya akhirnya menemukan keasyikan jalan kaki justru di malam terakhir menjelang kembali ke Makassar. Waktu itu akhirnya saya bisa memisahkan diri dari rombongan yang masih saja memilih untuk mengamuk di Paris van Java. Berdua bersama Nadaa saya naik angkot kembali ke hotel. Perjalanan berdua kemudian diakhiri dengan jalan kaki sejauh kira-kira 500 meter. Asyik, apalagi karena jalan kakinya ditemani angin malam yang semilir dan suhu yang lumayan sejuk di jalan Setiabudhi menuju puncak.

Intinya, bila diberi pilihan rasanya saya akan lebih memilih jalan-jalan sendirian. Saya tentu akan bebas menentukan arah tujuan, menentukan waktu dan tentu lebih santai tanpa harus bertoleransi dengan orang banyak. Tapi, sepertinya pilihan terbaik adalah jalan-jalan sendirian dengan biaya yang sepenuhnya ditanggung kantor. Betul tidak ?