Spesial dari The Special One

Tuntas sudah penantian selama 38 tahun itu. Massimo Moratti bisa tersenyum lebar sekarang. Lelaki berparas keras itu akhirnya menuai hasil panen dari benih yang ditanamnya selama hampir 2 dasawarsa. Entah berapa ratus juta lira yang sudah dihamburkannya demi membangun sebuah emporium baru di Italia, emporium yang beribukota pada sebuah klub berseragam biru hitam bernama Internazionale Milan. Deretan bintang-bintang kelas satupun sudah pernah berlabuh di seberang markas AC Milan itu. Ronaldo, Roberto Baggio, Cannavaro, Luis Figo, itu hanya sedikit nama dari talenta-talenta kelas satu yang pernah berbaju biru hitam.

Tahun ini, Moratti menuai hasilnya. 3 tropi dalam satu musim, salah satunya adalah tropi idaman semua klub sepakbola profesional di daratan Eropa. Tuntas sudah rasa haus selama 38 tahun. Tahun ini orang tak bisa lagi menyebut Inter Milan sebagai klub jago kandang yang melempem di kancah Eropa.

Satu sosok yang langsung jadi sorotan di balik sukses Inter Milan tahun ini adalah seorang lelaki berkewarganegaraan Portugal. Jose Mourinho namanya. Lelaki itu menyebut dirinya sebagai ” The Spesial One ” kala pertama kali datang ke tanah Inggris dan mengobrak-abrik persaingan menahun antara Manchester United, Liverpool dan Arsenal. Chelsea dibawanya menyeruak ke tengah persaingan ketat antara MU dan Arsenal. Satu persatu pertikaian dirajutnya, satu persatu musuh dideretkannya dalam antrian yang panjang. Rafa Benitez, Arsene Wenger, deretan media Inggris, semua berada dalam antrian panjang dengan label ” musuh Mourinho “. Hanya sir Alex yang agak diseganinya, selain karena opa Alex mungkin merasa terlalu letih bermusuhan dengan banyak orang.

Mou – demikian lelaki ini sering disebut – kemudian memilih untuk pergi dari Chelsea ketika dia merasa Abramovic sang boss besar terlalu banyak ikut campur dalam urusan tim. Sempat vakum sebelum akhirnya Moratti berhasil membujuknya untuk mencari tantangan baru di Italia. Inter dibawanya meraih scudetto di tahun pertama. Tapi itu belum cukup, Moratti meminta lebih dan setahun kemudian Mou memberikannya. Apalagi yang kurang ?

Mou memang pantas bergelar spesial. Dia masuk dalam deretan pelatih yang bisa membawa 2 klub berbeda menjadi juara Champion Eropa. Jumlah penghuninya hanya 4, genap satu tangan untuk menghitungnya. Gaya kepelatihannya memang luar biasa, gabungan antara kecerdikan, disiplin tinggi dan kemampuan memanfaatkan teknologi modern.

Mou menggabungkan gaya kepelatihan dua tentornya, Bobby Robson dan Louis van Gaal. Dia belajar soal kemampuan melatih dari Robson dan mempraktekkan kedisiplinan besi dari van Gaal. Lengkap sudah. Semua orang juga tahu bagaimana seriusnya Mou kala mempersiapkan strategi dalam menghadapi lawan. Deretan fakta, data, angka dan statistik menjadi bumbu utama dalam racikan strateginya. Mou memang tak punya latar belakang sebagai pemain sepakbola yang bagus, tapi dia punya kemampuan managerial yang tidak bisa dipandang enteng.

Mou juga melengkapi dirinya dengan mulut yang tajam. Mulut yang sangat gampang menyulut emosi rival dan tentu saja media massa. Ini membuatnya terkadang berdiri di bawah spotlight melebihi anak buahnya. Sewaktu di Chelsea dia mengaku melakukan itu untuk melindungi anak buahnya dari kejaran media. Mou lebih senang anak buahnya pusing memikirkan persiapan sebelum bertanding daripada pening memikirkan segala gosip dan gangguan nyamuk pers. Itulah Mou, dia berani melakukan apa saja untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

” Sepakbola adalah sebuah permainan yang harus dimenangkan “, ucapnya suatu ketika. Mou memang tidak melulu menyembah pada permainan cantik. Tujuan utamanya hanyalah kemenangan, permainan indah hanyalah opsi. Kala menghadapi Barcelona, tim yang terlanjur kondang dengan permainan cantiknya, Mou memilih bermain pragmatis. Bertahan hampir sepanjang babak dan membuat satu persatu pemain Barcelona frustasi sebelum akhirnya memilih waktu yang tepat untuk memukul balik sang juara bertahan.

Di final hal yang sama dia lakoni. Sadar kalau Louis van Gaal hobi bermain ofensif, Mou memilih mengulang strategi yang sama ketika berhadapan dengan el Barca. Muenchen dibuat frustasi dan kebingungan sebelum akhirnya dipukul di waktu yang tepat. 2 gol dari Milito membuktikan kalau Mou lebih hebat dari mantan boss-nya di Barcelona.

Mou masih muda tapi prestasinya sudah berderet. Dia belum sampai pada titik puas dan seperti biasanya, Mou masih ketagihan pada tantangan baru. Real Madrid, tuan rumah final kemarin dari jauh-jauh hari sudah menunjukkan rasa ngilernya pada Mou. Godaan disodorkan pada lelaki Portugal itu. Mou menyambut dengan ucapan ingin menjadi pelatih pertama yang menjuarai Champions Eropa dengan 3 klub berbeda. Kepastian memang belum ada, tapi arahnya bisa ditebak.

Mou tidak ikut pulang ke Milan ketika anak buahnya sibuk berpesta di jalan-jalan utama kota Milan. Mou tetap berada di Madrid, mungkin sibuk mempelajari draft kontrak dengan klub ibukota Spanyol itu. Satu tantangan baru siap untuk dihadapinya.

Sajian spesial apa lagi yang akan disajikan sang special one musim depan ? mari kita nantikan.