Nyanyi Sunyi Benteng Somba Opu
Di tepi kota Makassar berdirilah sebuah benteng bekas kejayaan kerajaan Gowa. Benteng Somba Opu namanya, berdiri dalam sepi dan nyaris terlupakan.
Pada awal abad XIV sampai awal abad XVIII muncul kerajaan-kerajaan di Nusantara yang sistim tata kotanya menyerupai kota-kota modern saat ini. Pada masa itu jalur perdagangan rempah-rempah di Nusantara makin menggeliat mengundang perhatian pedagang dari negeri-negeri Asia Timur sampai Eropa. Jalur perdagangan yang semakin ramai itu membuat kerajaan-kerajaan yang berpusat di pesisir pantai berpikir untuk membangun benteng pertahanan untuk menjaga keamanan wilayah mereka.
Pada masa itu pula, raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisika Kallongna memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan Gowa ke delta sungai Jeneberang. Karaeng Tumapakrisika Kallongna dengan cepat berhasil membawa kesuksesan dan kejayaan pada kerajaan Gowa. Area baru yang dipilihnya perlahan menjadi sebuah bandar pelabuhan yang ramai oleh pedagang-pedagang asing.
Untuk menjamin keamanan rakyat dan para pedagang tersebut, sang Raja memerintahkan didirikannya benteng di sekitar kompleks pelabuhan dan kerajaan. Akhirnya pada sekisar tahun 1550 dimulailah pembangunan benteng Somba Opu. Benteng Somba Opu sebagai benteng pertama yang dibangun kerajaan Gowa Tallo diakui sebagai benteng yang paling rapih pembangunannya. Strukturnya terbuat dari batu bata dan batu andesit yang disusun rapih menghadap ke laut lengkap dengan bastion dan meriam yang ditempatkan pada dinding sebelah barat. Tembok sebelah barat yang lebih tebal merupakan bukti pertahanan kerajaan berbasis maritim yang sudah memperhitungkan serangan dari laut.
Terletak pada posisi 5?11’22” Lintang Selatan , 119?24’4″ Bujur Timur dengan ketinggian 0-10 meter di atas permukaan laut benteng ini disempurnakan pembangunannya oleh raja Gowa X Manrigau Daeng Bonto Lakiung (1546-1565). Selama bertahun-tahun benteng Somba Opu jadi saksi kejayaan kerajaan Gowa ketika itu. Pelabuhan Gowa menjadi salah satu pelabuhan paling sibuk di Nusantara, bahkan beberapa negara asing seperti Inggris, Potugis, Denmark dan China membangun perwakilan dagang mereka dalam areal benteng Somba Opu.
Keadaan berubah drastis ketika VOC berusaha menguasai perdagangan di kawasan Nusantara. Niat monopoli ini ditentang kerajaan Gowa dan perang tidak terhindarkan. Di akhir kisah raja Gowa ke XVI Karaeng Bonto Mangape atau yang dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin akhirnya harus tunduk pada perjanjian Bongayya tahun 1667. Salah satu isi perjanjian adalah kerajaan Gowa harus menghancurkan 12 benteng milik mereka, menyerahkan benteng Ujung Pandang (kemudian berubah menjadi benteng Fort Rotterdam) kepada VOC dan menyisakan benteng Somba Opu sebagai milik kerajaan Gowa.
Perlahan kejayaan kerajaan Gowa pudar seiring sepinya pelabuhan yang dulu ramai dikunjungi para pedagang. Tidak ada lagi pedagang yang nyaman berdagang di bawah kekuasaan kompeni dari Belanda. Perlahan benteng Somba Opu sepi hingga kemudian Sultan Hasanuddin memutuskan untuk memindahkan kembali pusat kerajaan Gowa ke ?daratan yang kini dikenal sebagai kota Sungguminasa.
Sepi dan Terpinggirkan.
Ratusan tahun kemudian sisa-sisa benteng Somba Opu ditemukan kembali. Nyaris hilang ditelan bumi sebelum kemudian perlahan mulai dihidupkan. Periode tahun 1990an, Gubernur SulSel waktu itu Prof. Ahmad Amiruddin berinisiatif menghidupkan kembali kawasan benteng Somba Opu sebagai peninggalan sejarah kejayaan kerajaan Gowa. Salah satunya adalah dengan merencanakan kawasan tersebut sebagai kawasan wisata budaya, tepatnya sebagai taman mini Sulawesi Selatan. Rumah-rumah adat dari berbagai etnis di Sulawesi Selatan dibangun, rangkaian acara budaya dimasukkan dalam kalender tahunan.
Perlahan kawasan benteng Somba Opu jadi bergairah kembali. Berbondong-bondong warga datang menikmati suguhan budaya dari beragam etnis di provinsi Sulawesi Selatan. Setiap tahunnya pameran pembangunan yang dipadukan dengan kirab budaya menjadi sajian yang ditunggu banyak orang. Benteng Somba Opu seperti bangkit dari tidur panjangnya.
Baca juga: Mari Belajar Logat Makassar
Tapi benteng Somba Opu hanya terbangun sesaat. Pemerintahan berganti dan visipun tak sama lagi. Perlahan-lahan asa yang dirajut oleh pemerintahan sebelumnya mulai tergantikan oleh asa yang lain. Benteng Somba Opu mulai ditinggalkan, warga beralih ke mall dan pusat perbelanjaan modern. Agenda budaya hilang dari kalender. Rumah-rumah adat dari beragam etnis yang ada di Sulawesi Selatan perlahan mulai akrab dengan debu dan rayap. Lapuk, berdebu dan tak terurus. Benteng itu kembali sepi, tenggelam dalam tidur panjangnya.
Ratusan tahun yang lalu benteng Somba Opu pasti jadi salah satu benteng tersibuk di Nusantara. Di dalamnya ada ratusan atau mungkin bahkan ribuan orang yang setiap harinya beraktifitas dan berinteraksi satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah orang-orang dari negeri seberang lautan yang datang untuk berdagang, datang untuk membawa puja dan puji pada tanah Nusantara yang kayanya tak terhingga.
Sekarang benteng Somba Opu masih ada, sisanya masih tergeletak di satu sisi kota Makassar. Kita masih dapat menemukan dinding tebal yang membuat segala macam senjata tak bisa menembusnya. Bukti ketangguhan kerajaan Gowa yang butuh ratusan tahun sebelum jatuh ke tangan VOC. Di Somba Opu juga terekam jejak-jejak keberanian raja Gowa Tallo yang tak sudi menjilat kaki bangsa asing yang ingin mengatur mereka.
Tapi jejak sejarah di benteng Somba Opu mungkin perlahan akan hilang. Mahakarya Indonesia yang pernah harum dalam lintasan sejarah itu seperti terpinggirkan dan terlupakan. Foto wisata arkeologi yang direkam Ali Masduki mengingatkan saya pada satu peninggalan penting kerajaan Gowa yang terlupakan, Benteng Somba Opu. Benteng yang masih berdiri, tapi seperti menyanyi sendirian, menyanyi dalam sepi. [dG]
sedih ih bacanya… padahal tempat ini keren bgt!