Negeri Para Pelupa

Munir
Munir, kepergiannya hampir terlupakan. ( sumber foto : grafisosial.wordpress.com)

Bulan Mei hampir 13 tahun yang lalu. Di sebuah negeri yang dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, ribuan orang turun ke jalan. Mereka punya satu mimpi, menggulingkan tiran yang sudah terlalu lama mengangkangi negeri itu.

Sang tiran tidak tinggal diam. Ratusan lelaki berseragam dan bersenjata lengkap dalam genggaman diturunkannya ke jalan, berhadap-hadapan dengan saudara mereka sebangsa dan setanah air. Saat emosi membakar, lelaki berseragam itu entah karena suruhan entah karena memang tak tahan lagi akhirnya menumpahkan timah panas dari moncong senjatanya. Korban berjatuhan, anak-anak muda yang penuh semangat membara itu jatuh ke atas aspal. Sebagian dari mereka gugur sebagai pahlawan.

Sang tiran akhirnya jatuh, anak-anak muda yang jadi tumbal itu tak pernah bisa menikmati benih yang ditanamnya. Orang-orang di negeri itu marah, meminta pemerintah yang baru untuk menangkap siapa saja yang menembak sang pahlawan mereka, dan siapa saja yang berdiri di belakang lelaki berseragam itu.

Tapi, mereka kemudian terlupakan. Orang-orang di negeri itu lupa kalau mereka pernah marah karena kepergian anak-anak muda yang jadi tumbal itu. Negeri itu memang negeri para pelupa

Seorang lelaki muda lainnya berada di barisan depan, berteriak meminta seorang jenderal ditangkap karena dianggapnya sebagai pelanggar HAM. Suara lantangnya membahana ke mana-mana, menanamkan benih semangat pada anak-anak muda lainnya. Mereka berdiri bersama, berteriak bersama dan menggugat bersama sang jenderal. Mereka adalah anak-anak muda yang penuh semangat, ada bara dalam dada dan mata mereka. Menentang sang jenderal yang dianggap sebagai pembunuh.

Sepuluh tahun kemudian, si anak muda yang penuh bara itu telah berubah jadi seorang lelaki yang lemah lembut. Dia berada di belakang lelaki mantan jenderal yang dulu diteriakinya sebagai penjahat kemanusiaan. Lelaki muda yang dulu berjaket almamater itu sekarang berganti kostum. Jas hitam mahal yang rapih menggantikan jaket tuanya yang bulukan. Dia terus bergelayut di lengan sang jenderal yang dulu diteriakinya.

Lelaki itu sudah lupa pada teriakannya sendiri 10 tahun yang lalu. Dia mungkin memang seorang pelupa, yang hidup di negeri para pelupa.

Bertahun-tahun kemudian, seorang lelaki yang senang berteriak ketika melihat ketidakadilan, ketika melihat orang-orang yang dihilangkan secara paksa tiba-tiba dipanggil Yang Maha Kuasa. Kematiannya tidak wajar, ada orang yang menginginkan kepergiannya. Mereka mungkin gerah karena si lelaki rajin memanaskan pantat mereka, membuat duduk mereka tak tenang.

Orang-orang marah, orang-orang menuntut sang perancang skenario kematian segera ditemukan dan diadili. Tapi yang ada tak seperti itu, hanya mereka sang pion yang jadi korban. Sang perancang tak pernah tertangkap, seperti angin yang berhembus. Dirasakan kehadirannya tapi tak tersentuh keberadaannya.

Tapi kemudian, orang-orang lupa. Lupa pada kepergian si lelaki yang senang berteriak itu. Orang-orang itu hidup di negeri para pelupa dan kemudian memilih untuk lupa.

Bertahun-tahun kemudian, negeri itu makin ramai oleh para pelupa. Begitu mudah rakyatnya lupa pada apa-apa saja yang seharusnya diingat. Para tersangka korupsi, para pencuri uang rakyat atau bahkan para negarawan dan pemerintah yang nakal. Semua hanya dibicarakan beberapa jenak, sebelum topiknya berganti. Toh, semua akan lupa begitu saja.

Ketika banyak yang berusaha terus mengingatnya, muncul berita lain yang menarik perhatian. Bom meledak di kedutaan negeri asing, bom meledak di sana, bom meledak di sini dan banyak lagi. Semua untuk membuat rakyatnya makin larut dalam kubang kelupaan, karena toh mereka memang hidup dalam negeri para pelupa.

Ketika isu bom tak lagi seksi, muncullah isu-isu lain yang lebih menarik untuk dijadikan pengalih, tepatnya dijadikan virus lupa bagi para rakyat yang aslinya memang gampang lupa.

Dibenturkanlah rakyat yang satu dengan rakyat lainnya, biar mereka tak saling mengasihi lagi, biar mereka tak saling berangkulan lagi. Biar mereka lupa pada apa yang seharusnya mereka ingat. Toh, negeri ini adalah negeri para pelupa. Negeri di mana rakyatnya gampang lupa pada teriakan kemarahannya sendiri, negeri di mana pemerintahnya gampang lupa pada janjinya sendiri.

Negeri itu memang negeri para pelupa.