Lebih Enak Jaman Soeharto (?)..

Momen kemerdekaan tahun ini saya habiskan dengan mencari pembenaran atau penyangkalan atas sebuha pernyataan yang berbunyi, “ lebih enak jaman Soeharto”. Entah kenapa kata-kata ini tiba-tiba saja singgah di kepalaku, seperti sebuah kereta yang berhenti utuk menurunkan penumpang di sebuah stasiun. Entah awalnya dari mana, tahu-tahu dia sudah muncul dan mengusikku. Akhirnya momen liburan panjang 3 hari selain diisi dengan acara bersantai dan menikmati video Pearl Jam hasil kiriman Wyndo minggu lalu, saya isi juga dengan menggali memori mencari data dan fakta seputar pernyataan itu.

Sebenarnya saya sudah sering mendengar ungkapan ini, tapi entah kenapa kali ini terasa lebih mengganggu. Dalam sebuah percakapan dengan teman di kantor yang usianya memasuki usia 40-an, terlontar kata-kata berikut : lebih enak jamannya Suharto, minyak tidak pernah susah, dollar cuma 2.500, tidak ada demo-demo, semuanya aman dan tenteram..”. Saat jalanan macet karena terhalang demonstrasi mahasiswa yang (katanya) memperjuangkan nasib rakyat, sang bapak kembali berkomentar, “ ah..kalo jamannya Suharto mana berani anak mahasiswa demo kayak begini. Sudah untung kalau cuma ditangkap, yang parah kalau sampe dihilangkan”. Saat membaca kasus pertikaian antara presiden SBY dan Zaenal Ma’arif, sang bapak berkomentar, “ ah..presiden sekarang ndak ada wibawanya lagi. Dilecehkan kanan-kiri. Jangankan sesama pejabat, pelawak saja sudah berani mencela presiden di televisi. Jaman Suharto dulu, mana ada yang berani seperti ini..”.

Ah..betulkah lebih enak jaman Suharto ?.

Saya jadi ingat seorang tetangga di Cileungsi, Bogor. Sang bapak bisa secara spontan mengeluarkan kallimat caci maki saat disebut nama Suharto. “ ah, Suharto itu ****ng”, katanya sambil menyebut salah seekor nama binatang. Wajar, kalau mengingat bagaimana kisah hidupnya yang berubah 180 derajat karena ulah anak-anak Suharto. Sebelumnya si bapak ini hidup tenang dan berkecukupan dengan beberapa swalayan miliknya. Namun sebuah tawaran kerjasama dengan pemodal asing membuat hidupnya berubah. Salah seorang anak Suharto rupanya juga tertarik dengan bidang usaha yang hendak dilakoni si bapak, sayangnya si anak penguasa waktu itu lebih tertarik lagi untuk memonopoli. Si bapak bertahan, dia tidak rela melepas begitu saja ladang bisnis barunya. Akibatnya, kekuasaan memaksa si bapak menutup satu demi satu swalayan miliknya. Menjual mobil, rumah dan kemudian tersisih ke sebuah rumah type 36 di Cileungsi. Entah ada bumbu atau tidak dalam ceritanya, yang jelas saya merasa telah bertemu dengan seorang korban permainan monopoli kroni Suharto.

Kita mungkin juga sudah sering mendengar banyaknya aktifis kampus maupun ormas yang dilenyapkan tanpa bekas, atau sekedar disiksa (alah…disiksa kok cuma sekedar..). Seorang aktifis ormas Islam pernah bercerita tentang nasibnya yang mengharu biru di tahanan polisi, hanya gara-gara isi ceramahnya yang menyerang kekuasaan orde baru. Kuku kaki dan tangannya jadi saksi bisu. Lepas dan cacat permanen.

Jadi, betulkan jaman Suharto lebih enak ?.

Seorang kawan, (mantan) aktifis sebuah partai politik memberikan teori bahwa kekacauan yang terjadi sekarang adalah buah dari kesalahan pemimpin orde baru. Utang luar negeri bertumpuk karena di masa lalu penggunaannya tidak sesuai rencana, alias lebih banyak masuk ke kantong pribadi. Nafsu KKN memuncak karena telah dilatih selama puluhan tahun selama masa Orde Baru. Mahasiswa berdemo dengan bebas dan kadang di luar batas karena telah terkungkung selama puluhan tahun. Oke, teorinya saya terima.

Seorang bapak, yang dulu dekat dengan lingkaran orde baru bercerita. Katanya Suharto sebenarnya baik. Dia punya banyak program demi kemajuan bangsanya. Hanya saja orang-orang di sekelilingnya yang tidak bisa diatur dan kemudian kebablasan dan lebih mementingkan diri sendiri. Suharto punya program memajukan perekonomian rakyat dengan cara memberi kemudahan kepada para konglomerat untuk berbisnis. Harapannya sang konglomerat nantinya bisa membagi hasil usahanya untuk peningkatan perekonomian rakyat kecil. Sayang, karena sebagian besar konglomerat justru lupa diri dan lupa pada tujuan utama sang Bapak Pembangunan. Suharto pun tak bisa apa-apa lagi. Keadaan makin parah ketika anak-anak beliau terjun dan tenggelam makin dalam di dunia bisnis. Menggerogoti apa saja, dan memonopoli apa saja. Hmmm..sampai di sini saya kembali ragu.

Jadi, betulkan jaman Suharto lebih enak ?.

Akhirnya saat mentok denganberbagai fakta dan data yang saling berlawanan, saya bertanya pada diri saya. Mana yang lebih enak ?. ah, saya tak mau menjawab pertanyaan ini. Prinsip saya sih sederhana. Apa yang sudah terjadi terjadilah. Sekarang tinggal bagaimana kita menatap jalan di depan sana. Mempersiapkan diri untuk segala hal bahkan yang terburuk sekalipun. Tak pernah berhenti belajar dari masa lalu. Saya yakin, masa Orde Baru tetap ada bagusnya, walaupun jelas ada jeleknya juga. Mungkin saya hanyalah orang biasa yang hidup di negeri yang tidak biasa ini, dengan pemimpin yang “luar biasa”. Saya tak pernah kenal dengan teori-teori politik atau retorika berbagai model yang dipakai para pemimpin. Saya dan mungkin anda semua hanya ingin tahu pemimpin kita telah melakukan sesuatu untuk kita, rakyat yang sedikit banyaknya telah membuat mereka jadi pemimpin. Saya dan mngkin anda tentunya ingin tak ada lagi kata-kata “ lebih enak jaman Suharto”, karena itu tak ada gunanya….

Mari meperbaiki begeri kita, mulai dari kita sendiri…

Selamat Ulang Tahun Negeriku….

Semoga aman, sentosa, sejahtera dan makmur rakyatnya…..