Karena kita negara besar

menarikan-tarian-pendet

Belakangan ini salah satu berita yang paling hangat di jagat berita Indonesia adalah berita tentang klaim terbaru Malaysia atas salah satu warisan budaya Indonesia. Sebenarnya tidak terlalu jelas apakah Malaysia benar mengklaim tari pendet dari Bali sebagai budaya mereka, yang jelas mereka menayangkan potongan tari pendet dalam iklan pariwisata mereka di Discovery Channel. Orang yang tak tahu pasti tentang tari tersebut pasti akan langsung berkesimpulan kalau tari Pendet itu berasal dari Malaysia seperti yang ada di iklan.

Ini bukan yang pertama, sebelumnya Malaysia sudah lebih dulu mengklaim gamelan dari Jawa, batik parang, badik tumbuk dari Riau, angklung dari Jawa Barat, wayang kulit, rendang, lagu rasa sayange, reog Ponorogo, kain ulos, keris, dan banyak lagi. Bahkan secara berseloroh ada yang mengatakan kalau bencana alam gempa bumi di Jawa Barat kemarin juga diklaim sebagai milik Malaysia.

Bukan hanya dari segi budaya, yang terbaru Malaysia juga mengiklankan pulau Jemur di kepulauan Riau dalam iklan pariwisata mereka di internet. Luar biasa.

Tingkah polah Malaysia ini mengundang reaksi tentu saja. Di ranah internet, perang antar pengguna internet dari kedua negara sudah berlangsung dengan sengit, rapper Saykoji bereaksi dengan menciptakan sebuah lagu menyindir Malaysia, sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah kabarnya bahkan menolak mahasiswa asal Malaysia, dan yang terbaru puluhan orang unjuk kekuatan dan menyatakan dirinya siap untuk dibawa mengganyang Malaysia.

Dalam sekejap rasa nasionalisme kita seakan diusik, apalagi jarak antara suasana panas dengan Malaysia ini masih dekat dengan hari kemerdekaan kita. Berbagai kebudayaan daerah kita tiba-tiba mendapatkan porsi perhatian besar dari masyarakat dan pemerintah, tidak seperti sebelumnya. Pulau Jemur yang sebelumnya tak pernah kita dengarpun tiba-tiba menjadi pusat perhatian, bahkan pihak angkatan laut dengan tergopoh=gopoh segera mengibarkan bendera merah putih di tanah pulau Jemur. Sekali lagi luar biasa.

Di luar efek negatif yang ditimbulkan oleh Malaysia dengan aksi klaimnya itu, kita juga patut mensyukuri efek positif yang ditimbulkannya. Dalam sejenak kita jadi punya penghargaan yang tinggi atas budaya dan invetaris yang kita miliki. Rupanya benar kata orang bijak (entah orang bijak yang mana) bahwa manusia tidak bisa menghargai apa yang dia miliki sampai dia kehilangannya.

Bangsa kita memang menganut filosofi hangat-hangat tai ayam. Saat sebuah isu hangat sedang berhembus, kita bereaksi positif dan negatif menanggapinya, tapi seiring dengan mendinginnya isu tersebut, reaksi positifnya juga ikut menghilang. Kenapa kita baru sadar dan memberi perhatian lebih pada budaya kita saat Malaysia kembali berusaha merebutnya ? bukankah ini bukan kali pertamanya negara serumpun kita itu melakukannya ?.

Sebenarnya contoh lain dari filosofi hangat-hangat tai ayam itu bukan hanya pada isu perebutan budaya asli saja, lihat saja bagaimana aksi dan reaksi pemerintah dan pihak terkait setiap kali isu bom menghangat. Ketika bencana bom jadi kenyataan, semua pihak jadi sangat hebat bereaksi. Polisi memperketat penjagaan di perbatasan antar daerah, pihak keamanan hotel dan mall jadi begitu sangar memeriksa para pengunjung. Tapi, begitu isu bom sudah mendingin, semuanya kembali biasa-biasa saja, sama sekali tidak konsisten. Jangan heran kalau negeri kita jadi sasaran empuk para teroris, lucunya lagi pentolan teroris paling dicari di negeri ini justru adalah orang Malaysia.

Kembali ke soal klaim budaya yang dilakukan Malaysia. Klaim dan komersialisasi yang dilakukan Malaysia jelas bikin gerah dan sakit hati apalagi sudah dilakukan berulang-ulang. Tapi, mungkin ada baiknya juga kalau itu kita jadikan cermin, cermin bahwasanya kita juga sudah sering nyuekin budaya kita sendiri jadi jangan heran kalau ada negara lain yang kebetulan butuh aktualisasi diri melihat kesempatan ini dan merebutnya. Persoalan nantinya budaya itu diambil kembali sama yang punya itu urusan belakangan, yang penting mereka sudah berhasil meraih keuntungan komersil dari aksi klaim itu.

Kenapa sih kita tidak bisa seperti Malaysia yang begitu intens dan serius mempromosikan pariwisata mereka (meski harus mencuri sebagian budaya orang lain) ? padahal kita punya banyak stok budaya dan lokasi wisata yang sangat menarik. Kalau kita sudah lebih dulu mempromosikan budaya dan lokasi wisata kita maka negara lain pasti akan malu untuk mengakuinya sebagai budaya mereka.

Di sisi lain, reaksi negatif berupa penolakan mahasiswa baru dari Malaysia serta ajakan untuk melakukan aksi ganyang Malaysia rasanya agak keterlaluan. Menolak mahasiswa dari Malaysia berarti menutup sedikit kesempatan untuk melakukan promosi positif tentang Indonesia dari para mahasiswa yang belajar di sini. Lagipula bagaimana kalau Malaysia melakukan aksi yang sama dan menutup kesempatan kepada pelajar Indonesia untuk belajar di Malaysia ?

Sementara itu, aksi ganyang Malaysia lebih tidak masuk akal lagi. Tahun 60-an Indonesia terpinggirkan dari pergaulan dunia gara-gara aksi keras Soekarno termasuk gerakan Ganyang Malaysia-nya. Presiden setelah Soekarno menyadari hal tersebut. Soeharto memperbaiki hubungannya dengan negara-negara lain dan membentuk wibawa Indonesia dengan cara menjauhi kekerasan. Melakukan aksi keras bahkan aksi militer tentu bukan jawaban yang bijaksana atas permasalahan ini.

Kita adalah negara besar, dari segi luas wilayah maupun sumber daya alam dan manusia. Tidak semestinya kita bereaksi emosional menanggapi cubitan dari negara tetangga yang lebih mungil dan lebih kecil itu. Berkelahi dengan anak kecil tentu tak ada untungnya, bila menang orang bilang kita beraninya hanya sama anak kecil, bila kalah kita jadi bahan tertawaan. Karena itu, mungkin tak ada yang lebih bagus daripada menegakkan wibawa dengan jalan damai. Konsolidasi ke dalam dan berbicara seperlunya keluar. Karena kita adalah bangsa besar, bangsa yang tak hanya bertubuh besar tapi juga berwibawa besar.

Ayo, kita tunjukkan kalau kita memang seharusnya dihormati.