Farewell to my buddy
Anak itu namanya Agus, dengan bercanda saya bilang itu adalah singkatan dari “Anak Gajah Umur Setahun”, tapi menurut dia, itu singkatan dari “ Anak Gagah Untuk Selamanya”. Yah, dia memang anak yang senang becanda dan senang melucu dengan gaya slapstik.
Gaya melucunya dan sikapnya yang sedikit “tak tahu malu” itu membuat kami langsung akrab. Sebelumnya saya sudah kadung terkenal sebagai orang yang lumayan “gila”, dan bertemu dengan Agus membuat saya seperti mendapatkan partner in crime.
Anak ini bukan cuma jago melucu dan jago menceriakan suasana. Dia juga jago bermusik. Dengan cepat kemampuannya memainkan electon dan gitar membuatnya menarik perhatian banyak orang. Secara tidak langsung dia menjadi player tetap kantor kami saat menggelar acara-acara yang melibatkan tarik suara. Agus menggeser Kele, player sebelumnya yang cenderung lebih idealis dan susah mengikuti keinginan “pasar”. Berbeda dengan Kele, Agus bisa dengan gampangnya mengikuti keinginan para penyanyi, apapun jenis musiknya. Mulai dari dangdut, pop kenangan, pop hits bahkan sampai lagu-lagu “dua-tiga jurus”.
Agus bergabung di kantor kami di divisi pemasaran, tepatnya seorang sales. Ini sebenarnya sebuah penghianatan buat dia. Saat mengajukan aplikasi, Agus mengincar posisi administrasi keuangan untuk proyek di Gorontalo sesuai background pendidikannya. Seusai rangkaian test, dia dinyatakan lulus. Namun karena proyek di Gorontalo belum juga mulai, untuk sementara Agus dititipkan dulu di divisi pemasaran.
3 bulan pertama dia menjalaninya dengan enjoy. Dia berhasil menjual beberapa unit rumah. Harapan untuk bekerja sesuai minatnya masih menggebu. Toh, posisi sebagai sales hanya untuk sementara. Sayangnya harapan itu memudar seiring dengan mulainya proyek di Gorontalo yang ternyata tak jua melibatkan dirinya.
Agus mulai kecewa, apalagi dia sama sekali tak merasa menemukan titik terang di masa depannya bila tetap berkutat sebagai sales. Memasuki bulan ketiga, semangatnya sudah hilang sama sekali. Tak sedikitpun dia mencoba untuk melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Pikirannya mulai bercabang. Hampir setiap hari dia berkeluh kesah tentang itu pada saya. Saya sangat bisa memahami perasaannya. Toh, beberapa bulan sebelumnya saya juga pernah merasakan hal yang sama. Diharuskan menjalani sebuah pekerjaan yang sama sekali tak sesuai dengan minat.
Ujung dari penantiannya segera datang. Lewat beberapa rangkaian test Agus akhirnya diterima bergabung dengan Matahari, salah satu retail terbesar di Indonesia. Tak ada lagi alasan yang kuat dari manajemen untuk menahannya. Sebulan yang lalu dia pernah mengajukan pengunduran diri, dengan alasan tak punya bakat untuk menjual. Namun waktu itu boss besar kami menolak pengunduran dirinya saat tahu Agus belum punya pegangan lain di luar.
Saat ini, dengan status diterima sebagai karyawan pada Matahari, boss besar tak punya hak lagi untuk menahannya. Saya tahu boss besar cukup kehilangan Agus. Boss besar yang hobi dengan berbagai macam pesta dan kemeriahan sangat mengandalkan Agus untuk urusan bermain musik, dan kepergiannya tentu merupakan sebuah kehilangan.
Sebenarnya bukan hanya boss besar yang merasa kehilangan. Teman-teman satu kantor pasti merasakan hal yang sama, utamanya teman-teman satu divisi. Kehilangan terbesar mungkin dirasakan oleh saya sendiri. Agus sudah menjadi partner in crime buat saya, beberapa orang menyebutnya soulmate saya.
Beberapa bulan terakhir ini kami memang dekat. Hampir setiap pagi kalau waktu masih memungkinkan, kami akan nongkrong sejenak di parkiran kantor, menghirup kopi bersama dan membakar berbatang-batang rokok. Banyak kejailan yang kami ciptakan, dan banyak juga gelak tawa yang berhasil kami hadirkan. Duet kami ternyata harus berakhir, meski saya yakin itu jalan terbaik untuk Agus.
Setelah Agus pergi, saya berpikir tentang sebuah kutukan. Yah, sebuah kutukan. Entah mengapa selama ini, setiap kali saya dekat dengan seseorang-secara personal -ujungnya selalu adalah resign.
Tahun 1999 saya pernah dekat dengan Sukma. Kami adalah teman yang akrab, saling berbagi meski sebagian orang juga menggosipkan kalau hubungan kami lebih dari seorang teman. Sukma kemudian resign dari kantor, sekarang dia sudah menikah dan punya 2 anak serta punya perusahaan developer sendiri.
Tahun 2002-2004 saya dekat dengan Army. Saya menyukainya karena kecerdasannya. Kami dekat karena punya banyak kesamaan. Ujung-ujungnya Army resign karena lebih memilih mengabdi di Universitas Negeri Makassar.
Tahun 2006 saya punya partner baru. Namanya Erwin. Kami direkatkan oleh kecintaan pada sepakbola. Erwin yang seorang fans berat Jerman mampu mengimbangi saya dalam setiap diskusi tentang sepakbola, bahkan tentang sejarah sepakbola sekalipun. Tak seperti kebanyakan teman di kantor yang hanya tau sedikit tentang sepakbola namun lagaknya melebihi kolomnis tabloid BOLA, Erwin mampu memberikan analisa berdasarkan fakta dan sejarah dalam sebuah diskusi tentang sepakbola. Sayangnya Erwin hanya bertahan setahun di kantor kami sebelum akhirnya mengundurkan diri karena sebuah konflik kecil dengan atasannya.
Selepas kepergian Erwin, saya mulai dekat dengan Anni. Seorang cewek cerdas namun lugu dan terkadang naif. Saya dan Anni punya kesamaan dalam hal selera film. Kami sama-sama movie mania, diskusi tentang film bersama Anni cukup berimbang-meski saya sendiri tak pernah merasa punya kapasitas untuk jadi pengamat film. Selain itu saya dan Anni juga sama-sama pengagum Zidane. Kami akrab, meski Anni lebih banyak menjadi “korban” celaan saya. Awal tahun ini Anni resign karena kemudian memilih mengabdi kepada pemerintah dan pulang kampung ke Enrekang, mengikuti jejak orang tuanya.
Begitulah, setiap kali saya menemukan teman yang cocok di antara sekian banyak orang di kantor ini, mereka dengan cepat akan meninggalkan saya. Untungnya, kepergian mereka selalu berujung kepada hal manis. Mereka semua kemudian menjadi orang sukses, setidak-tidaknya bila dibandingkan dengan kondisi mereka saat masih di kantor ini.
Now, I am on my own. Kehilangan partner in crime, kehilangan teman duet. Jejak-jejak kegilaan kami mungkin masih akan dikenang oleh teman-teman yang pernah kami buat tertawa. Sekarang jejak-jejak itu hanya akan jadi kenangan. Mudah-mudahan kenangan indah. Buat Agus-my partner in crime-saya cuma bisa mengucapkan selamat jalan. Peluang menjadi sukses tentu lebih besar di tempat pengabdianmu yang baru. Selamat berjuang teman…!!!
Dalam satu bentang waktu
Dalam satu bentang waktu kita yang pernah bersinggungan
Ada banyak keceriaan, gelak tawa dan canda yang berlebihan
Dalam satu bentang waktu kita yang pernah bersinggunngan
Ada kegilaan yang kadang terlepas begitu saja
Dalam satu bentang waktu kita yang pernah bersinggungan
Ada ketulusan dan persahabatan
Dalam satu bentang waktu kita yang pernah bersinggungan
Ada jejak langkah yang tersimpan sebagai kenangan
Dalam satu bentang waku kita yang pernang bersinggungan
Aku pernah mendengarmu berkata:
Persahabatan ibarat ompol, orang lain hanya bisa melihatnya
Namun hanya kita yang bisa merasakan hangatnya
Terima kasih telah pernah menjadi ompol buatku…
hidup memang gitu.. tak ada yang abadi.. termasuk persahabatan..
la tahzan bro.. 🙂
So who’s next? 😀
OMPOL?
hmmm…metaphor yang aneh…
Kehilangan seseorang apalagi udah terlanjur dekat memang memang meninggalkan sedikit rasa yang kurang
Apalagi, xt telah terbiasa dengan dia, mulai dari berdiskusi serius atau sekedar ngolor ngidul..
Tapi seperti kata seorang teman saya,”rasa sedih akan kehilangan seseorang akan hilang seiiring berjalannya waktu. Bahkan memori tentangs eseorang bisa saja hilang dan menguap…”
peopLe coMe n go, pak! 🙂
agus… agak gundul sdikit, anak gunung sahari…de el el.. cerita persahabatan yang menarik