Cerita Kumbang dan Kembang

Kumbang dan Kembang ( foto by : irwinday.web.id)

Ini kisah nyata, nama dan lokasi kejadian sengaja disamarkan demi keselamatan pelaku

Tersebutlah seorang gadis, sebut saja Kembang ( bukan nama sebenarnya ) yang hidup di sebuah kota besar, jauh dari orang tuanya yang terpisah jarak ratusan kilometer. Si Kembang seorang gadis manis, usianya sudah matang, siap untuk mengubah status menjadi istri bahkan ibu. Tapi, meski usianya perlahan merambat mendekati angka 30 tapi ternyata tidak gampang baginya membuka hati untuk para lelaki yang ingin meminangnya.

Tersebutlah seorang lelaki bernama Kumbang ( bukan nama sebenarnya ). Lelaki matang berperawakan tampan dan berekonomi mapan. Nasiblah yang kemudian mempertemukan Kumbang dengan Kembang. Hari-hari mereka lalui bersama, ke mana-mana sering berdua. Kembang butuh lelaki yang bisa menemaninya dan Kumbang butuh wanita yang bisa dia temani. Klop sudah. Semakin hari mereka semakin dekat, perlahan mereka makin mengenali karakter masing-masing.

Entah siapa yang memulai, tapi rupanya Kumbang merasakan ada sesuatu yang berbeda untuk Kembang. Mungkin cinta, mungkin sayang yang berlebih.? Di sisi lain, si Kembang sepertinya sulit merasakan hal yang sama. Dia sama sekali tidak merasakan hal yang khusus dari kebersamaannya dengan si Kumbang. Sifat Kumbang yang kekanak-kanakan dan gampang emosi serta tak bisa menunjukkan rasa sayangnya jadi penghalang untuk tumbuhnya rasa sayang di sisi yang berbeda.

Hari berganti, orang luar tahunya Kumbang dan Kembang pacaran atau setidaknya saling menyimpan rasa yang tidak biasa. Ke mana-mana selalu bersama, meski sedikit yang tahu kalau si Kembang menjalaninya hanya karena dia tak sanggup berkata TIDAK untuk semua ajakan Kumbang. Orang-orang mengira mereka sepasang kekasih.

Hanya sedikit orang yang tahu kalau Kembang ternyata mendamba lelaki lain. Lelaki yang katanya berjarak ratusan kilometer dari dia dan Kumbang. Lelaki yang kadang menumpahkan rasa sayangnya tapi kadang tak juga jelas perhatiannya. Entah kenapa Kembang sama sekali tak bisa mengalihkan hatinya dari lelaki itu, lelaki yang meski jauh tapi telah terlanjur mencuri hatinya. Jauh di dalam hatinya Kembang menanti si lelaki dating memintanya kepada orangtuanya. Bilangan hari berganti bulan dan berganti tahun, tapi si lelaki yang didambanya tak kunjung datang.

Bila ada yang bertanya ke Kembang tentang siapa sebenarnya pilihan hatinya, maka jawaban enteng meluncur dari mulutnya : saya sih siapa saja yang berani datang melamar, dia yang akan saya terima. Mungkin Kumbang memegang teguh kalimat itu dan menjadikannya pegangan hingga suatu hari keberaniannya sampai di ubun-ubun. Berbekal keberanian dan niat yang kuat, Kumbang menempuh jarak ratusan kilometer menuju rumah orang tua Kembang dan memintanya baik-baik. Orang tua Kembang yang tahu Kumbang dekat dengan anaknya langsung setuju. Palu diketuk, Kembang resmi menjadi calon suami Kumbang.

Berita itu bagai petir di siang bolong untuk Kembang. Tak terbayang di benaknya Kumbang akan senekad itu. Dia bingung bagai terpuruk ke pusaran tanpa dasar. Memohon kepada orang tuanya untuk membatalkan lamaran adalah hal yang sia-sia. Orang tuanya bergeming, harga diri keluarga besar akan jadi taruhannya bila lamaran yang sudah diterima itu dibatalkan. Kembang terjebak, tak bisa ke mana-mana, tak ada pilihan lain selain menantikan hari pernikahan yang sudah ditetapkan. Meski marah pada si Kumbang yang dianggapnya kurang ajar karena tidak berkonsultasi pada dirinya sebelum melamar, Kembang tak bisa apa-apa lagi.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Kisah tentang sebuah cerita antara sepasang muda-mudi yang meski akrab dan selalu bersama tapi tidak berarti keduanya menyimpan rasa. Saya tidak tahu harus menyalahkan siapa di kisah ini, apakah si Kembang yang tak tegas menarik garis tegas dan terus memberi harapan pada si Kumbang, atau si Kumbang yang terlalu percaya diri melamar si Kembang meski mungkin dia tahu Kembang tak sepenuhnya mencintainya.

Atau mungkin saya harus menyalahkan orang tua si Kembang yang menerima begitu saja sebuah pinangan tanpa bertanya kepada sang anak hanya karena dia tahu anaknya dekat dengan sang pelamar ? Tapi bukankah hal seperti itu biasa terjadi di Indonesia ? Ketika anak gadisnya sudah mulai mendekati umur 30 tahun, orang tua akan kebingungan. Ketika sebuah lamaran datang dan dianggapnya tidak ada yang salah maka kalimat setuju bisa saja terucap dengan ringannya. Sebagian besar orang tua di Indonesia masih menganggap pernikahan anaknya masih mutlak menjadi urusan mereka meski bukan mereka yang akan menjalaninya.

Beberapa hari yang lalu mata si Kembang masih sembab oleh tangis yang panjang di malam hari. Dia rupanya belum rela 100% menerima pinangan si Kumbang, entah apa yang ada dalam pikirannya. Entah karena merasa tak sanggup hidup bersama lelaki yang dianggapnya masih kekanak-kanakan, emosional dan tak bisa menunjukkan kasih sayangnya , atau mungkin karena dia masih merindukan lelaki nun jauh di sana itu.

Entahlah..