Berkereta Tanpa Tempat Duduk

Stasiun Senen di suatu subu

Liburan kemarin adalah kali kedua saya merasakan naik kereta non seat. Beruntung karena pengalaman kali ini tidak seburuk pengalaman pertama sekitar tahun 2002 yang lalu.

Saya akui saya salah prediksi. Liburan kemarin saya sama sekali tidak menyangka kalau animo pengguna kereta di Jawa begitu besar. Dari Semarang saya rencananya akan menuju Jakarta tanggal 29 dan harus ada di Jakarta keesokan harinya. Karena pertimbangan waktu keberangkatan yang adalah tengah pekan jadi saya tidak memesan tiket kereta jauh-jauh hari sebelumnya. Toh tengah pekan ini, pasti tidak akan terlalu rama seperti akhir pekan. Begitu pikiran saya waktu itu.

Sayangnya saya salah. Tanggal 28 pagi saya menuju stasiun Tawang dengan santai, sama sekali tidak ada bayangan kalau tiket kereta akan ludes. Di depan loket saya baru sadar betapa bodohnya saya ketika melirik ke monitor yang menayangkan jumlah kursi yang tersedia. Deretan angka ?0? berderet-deret di sana. Artinya, tidak seat lagi. Hingga tanggal 5 Juli semua seat penuh, baik kereta kelas bisnis ataupun kereta executive. Saya langsung mengutuki kebodohan sendiri waktu itu, kenapa tidak pesan jauh-jauh hari sebelumnya ?

Karena jadwal tanggal 29 Juni tidak bisa diundur maka dengan sangat terpaksa saya tetap harus ke Jakarta dengan menumpang kereta bisnis meski tanpa tempat duduk. Tak ada pilihan lain.

Tahun 2002 lalu saya pernah mengalami kejadian yang sama. Naik kereta ekonomi dari Jakarta ke Surabaya dan terpaksa duduk di sambungan gerbong tepat di depan WC yang baunya minta ampun dan pintunya tidak bisa ditutup rapat. Walhasil selama kurang lebih 16 jam saya tersiksa di dalam kereta. Benar-benar perjalanan berat dan horor.

Bayangan itu sempat menghantui juga ketika saya berada di stasiun Tawang beberapa saat sebelum menuju Jakarta. Belajar dari pengalaman sebelumnya saya bergegas mencari tempat yang nyaman sebelum harus berdesakan dengan penumpang lainnya. Saya tetap memilih bordes, daerah dekat sambungan kereta dan kali ini saya memilih untuk tidak duduk di depan WC. Meski yakin kalau kondisi WC kereta bisnis jauh lebih baik dari kereta ekonomi tapi trauma atas kejadian hampir 10 tahun lalu itu masih tetap terbayang.

Ternyata saya juga tidak sendiri. Masih ada 3 orang lainnya yang juga duduk di bordes yang sudah duluan saya kapling. Jadilah kami berempat membagi wilayah yang ukurannya sekitar 3×1 M itu.

Saya menggelar beberapa lembar koran sebagai alas. Ternyata menjadi orang jangkung itu kadang memang jadi bermasalah juga. Saya jadi agak kesulitan melipat kaki dan mencari posisi yang nyaman di tempat yang sempit itu. Sepanjang perjalanan berkali-kali saya harus mengubah posisi kaki, dari yang tertekuk, bersila, ubah posisi lagi, menekuk lagi, bersila lagi. Pokoknya repot.

Suasana di bordes kereta

Namanya kereta bisnis, tetap saja terkadang harus mengalah kepada kereta yang kastanya lebih tinggi, kereta executive. Jadi tidak heran kalau berkali-kali kereta harus berhenti beberapa menit di persimpangan rel. ?Belum lagi keharusan untuk berhenti di beberapa stasiun. Momen berhenti di stasiun ini dimanfaatkan para pedagang asongan untuk naik ke kereta, dan sebagai penumpang yang berdiam di dekat pintu maka mau tidak mau saya harus berdiri dan memberi jalan ke mereka kalau tidak mau terganggu. Kurang sedap kan rasanya kalau kita duduk di lantai sementara di depan kita mondar-mandir para pedagang asongan yang kadang lumayan brutal berebutan naik ke kereta dengan teman-temannya sesama pedagang.

Berkali-kali saya sempat mencoba tidur, tapi karena posisi yang kurang nyaman akhirnya saya hanya bisa tertidur beberapa menit. Gangguan lain adalah karena lantai yang keras dan jelas membuat pantat rasanya sungguh tidak nyaman. Tapi sekali lagi meski kondisinya buruk tapi tetap jauh lebih baik dari kondisi ketika menumpang kereta ekonomi dulu. Itu yang terus saya syukuri.

Hal yang paling menghibur waktu itu adalah twitter. Yah, twitter. Tadinya saya berniat membaca buku sepanjang perjalanan, tapi ternyata susah untuk membaca di posisi yang tidak nyaman itu. Beruntung ada twitter dan tentu saja Blackberry yang menemani perjalanan meski tidak bisa sepanjang jalan karena BB yang kehabisan tenaga beberapa jam sebelum tiba di Jakarta.

Saya juga bukan tipe orang yang suka ngobrol dengan teman perjalanan dan lelaki muda yang duduknya pas di samping saya sepertinya juga sama. Sama-sama malas berbasa-basi dan malas ngobrol lama-lama. Kami cuma bertukar sapa sebentar sebelum dia tidur dan saya sibuk memandangi layar Blackberry.

Ada kejadian cukup menggelikan dengan lelaki muda di samping saya itu. Beberapa saat setelah lepas dari stasiun Tegal, seorang bapak mengajak si lelaki muda itu mengobrol. Awalnya saya tidak berniat nguping tapi karena tidak sengaja mendengarkan topik menarik akhirnya saya terpaksa nguping juga. Ada percakapannya yang isinya kira-kira begini :

Bapak : Ke Semarang mengunjungi pacar ya ?

Lelaki Muda : Nggak koq pak, saya sudah nikah.

Bapak : Ooo..sudah nikah toh ? kirain masih jomblo. Istrinya koq nggak diajak ? Ke Semarang mau ketemu selingkuhan ya ? ( sambil ngikik )

Saya memandang sekilas wajah kecut si lelaki muda sambil menahan tawa. Saya yakin si lelaki muda itu pasti betenya setengah mati apalagi karena berikutnya si bapak tidak berhenti nyerocos bertanya hal-hal yang tidak penting dan terkesan menyelidik. Si lelaki muda benar-benar keliatan bete, lama-lama dia hanya menjawab seadanya saja. Kelihatan kalau dia sudah malas menanggapi si bapak.

Yah, twitter dan episode singkat si bapak yang mau tahu aja itu jadi hiburan tersendiri dalam perjalanan kurang lebih 8 jam Semarang-Jakarta. Ketika tiba di stasiun Senen saya bergumam, ? Ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan? . Jelas pengalaman kali ini jauh lebih baik dan mending dari pengalaman horror bersama kereta ekonomi 2002 lalu.

Dan yah, saya tidak kapok untuk naik kereta bisnis tanpa tempat duduk lagi. It?s not that bad at all.