Belajar Merangkai Kata
KELAS MENULIS KEPO yang digelar beberapa pegiat komunitas Makassar masih terus bergulir, bahkah lebih intens dan serius.
Minggu lalu Lelaki Bugis yang bertindak sebagai fasilitator mencoba sebuah permainan yang tujuannya melatih kemampuan kami menulis.
Caranya mudah, semua peserta yang hadir diminta untuk menyumbang masing-masih satu kata yang kemudian akan disusun menjadi satu cerita. Cerita itu tidak ditentukan panjang-pendeknya, yang penting semua kata yang disebut oleh peserta harus masuk di dalamnya, tanpa ada imbuhan atau perubahan apapun.
Permainan ini lumayan sulit, tapi juga lumayan membantu kami menyusun sebuah cerita dengan spontanitas. Selepas permainan kami lalu diberi tugas untuk kembali menyusun satu cerita berdasarkan sumbangan kata yang diberikan para peserta.
Kata-katanya adalah; awan, tenggelam, lapuk, hijau, hijab, keluarga, potret, psikologi, filsuf, gender, kabel, ideologi, sublim dan muktamar.
Dan, inilah PR saya. Cerita yang berisi semua kata-kata yang disumbangkan di atas.
*****
AWAN putih menggantung di atas kota Makassar. Matahari seperti tegak berada tepat di atas kepala. Udara bulan Juli seperti memaksa semua keringat mengalir deras dari dalam tubuh, keluar melalui pori-pori kulit. Gerahnya bukan main.
Saya masih duduk di sebuah tiang beton yang separuh bagian bawahnya tenggelam ke dalam tanah. Dahan dan dedaunan trembesi yang berada tepat di atas kepala lumayan mengusir panasnya matahari, sesekali angin membuai seperti berusaha mengusir rasa gerah yang sedari tadi menguasai.
Brak! Sebuah batang pohon yang lapuk jatuh ke tanah, beberapa jengkal dari tempat saya mencangkung. Sedikit kaget, saya menoleh ke arah batang yang jatuh itu. Warnanya sudah tidak hijau lagi, malah sudah sedikit cokelat kehitaman. “Pantas saja.” Dalam hati saya bergumam.
Sepelemparan batu dari saya, seorang pria berjalan bersama wanita dengan hijab berwarna lembut. Di antara mereka seorang anak kecil saya taksir berusia 5 tahun tampak lucu, berjalan mengikuti dua orang dewasa itu sambil sesekali tertawa riang. Mereka sepertinya sebuah keluarga kecil yang sama dengan saya, melewati siang di taman kota yang tak seberapa besar ini.
Anak kecil itu berlari di depan kedua orang dewasa yang saya taksir adalah orang tuanya, dia berhenti sejenak lalu menari lucu. Kedua orang dewasa yang menemaninya tertawa lepas, mengikuti tawa riang si anak kecil lucu itu. Benar-benar potret keluarga kecil yang bahagia. Tanpa sadar saya ikut tersenyum.
Saya pernah membaca dari sebuah jurnal psikologi, tawa riang seorang anak kecil gampang sekali menular. Itu karena mereka melakukannya dengan tulus dan tidak dibuat-buat. Beda dengan tawa orang dewasa yang kadang dibuat-buat untuk tujuan tertentu. Tak perlu menjadi seorang filsuf untuk memahami ketulusan seorang anak kecil.
Anak-anak tak kenal ideologi, mereka juga tak peduli politik, intrik ataupun gender. Mereka hanya tahu bermain dan berbuat apa saja sesuka mereka. Mereka membiarkan semua tawa, canda atau tangis menjadi sublim dalam bentuk yang paling hakiki. Pantas saja banyak orang dewasa yang merindukan masa kanak-kanak mereka.
Bayangan pohon yang sedari tadi meneduhkan mulai bergeser, matahari makin ke barat. Terpaksa saya berdiri, sedikit menghindari dari panas matahari yang mulai mengenai kulit. Sempat tersendat karena kabel yang terlalu panjang dari handphone ke power bank di dalam tas, sebelum akhirnya menemukan tempat yang pas untuk kembali berteduh.
Sudah jam 15:15, lewat satu jam 15 menit dari yang dijanjikan, tapi teman yang mengajak untuk menggelar muktamar di taman ini tak juga datang. Dasar orang Indonesia! Kutuk saya dalam hati. Dan matahari kembali tertutup dedaunan.
TAMAT [dG]
Juara memang!