Aroma Jakarta di Jalanan Makassar

Salah satu titik macet di kota Makassar

Jalanan Makassar makin ramai, titik macet makin bertambah dari hari ke hari. Tiba-tiba saya merasakan aroma kota Jakarta di banyak jalan di kota Makassar

Saya jarang menyusuri jalanan kota Makassar, apalagi yang mengarah ke pusat kota di jam-jam sibuk. Jalur rumah-kantor adalah jalur pinggiran kota yang melewati beberapa jalanan sepi dan kadang malah bertemu puluhan hewan ternak. Tidak heran kalau saya akhirnya tidak tahu banyak soal kemacetan kota Makassar kecuali dari cerita orang-orang.

Bulan Mei ini saya kebetulan jadi panitia dua acara besar yang diadakan oleh Anging Mammiri, ada peluncuran Firefox4 dan Blogilicious Makassar. Kedua acara itu membuat saya wara-wiri di jalan raya Makassar tepat ketika waktu bubaran kantor. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya mulai merasakan sesuatu yang sepertinya saya benci. Kemacetan parah di berbagai titik.

Sekitar pukul 4 sore, dari arah pusat kota atau sekitar Karebosi saya menuju ke arah Selatan menyusuri jalan Urip Sumohardjo dan nantinya masuk ke jalan A.P.Pettarani dan kemudian masuk ke Jl. Hertasning. Titik kemacetan mulai dari jalan Urip Sumohardjo sekitar daerah Karuwisi. Mobil dan motor berdesakan tidak karuan.

Masuk ke Jl. A.P.Pettarani macet agak mereda, kecuali di sekitar pasar Pettarani. Macet baru mulai terasa kembali mulai dari depan mall Ramayana, terus ke bagian selatan hingga dekat jalan masuk ke Jl. Hertasning. Masuk Jl. Hertasning masih lumayan lancar hingga kemudian macet lagi begitu sampai di depan kantor PLN.

Hal yang sama berulang ketika saya menyusuri jalan Perintis Kemerdekaan menuju pusat kota di sekitaran Karebosi. Macet bermula di sekitar M’Tos Jl. Perintis Kemerdekaan dan kemudian akan berlanjut di jalur yang sama dengan yang saya ceritakan di paragraf di atas.

Saya benar-benar merasakan aroma Jakarta. Aroma yang maksud adalah bau knalpot kendaraan, seketika aroma tersebut mengingatkan saya pada Jakarta yang sempat saya akrabi sekitar 11 tahun lalu. Macet Jakarta adalah salah satu alasan kenapa saya tidak pernah betah berlama-lama di ibukota itu, mau ke mana saja pasti ketemu macet dan akhirnya aroma knalpot itu seperti terpatri di kepala, pun dengan rasa gerah luar biasa yang membuat badan rasanya jadi lengket karena keringat.

Dari sejak beberapa tahun lalu sebenarnya saya sudah menduga kalau suatu saat nanti Makassar akan bernasib seperti Jakarta, titik-titik kemacetan akan terus bertambah, dan jalanan yang terbebas dari macet makin sedikit. Rupanya tidak perlu menunggu lama karena toh tahun 2011 ini jalanan di kota Makassar sudah hampir sangat mirip dengan jalanan di kota Jakarta.

Saya jadi ingat komentar beberapa tamu dari idblognetwork Jakarta ketika saya menjemput mereka dari bandara menuju hotel.

” Wah, ini kayak di Kelapa Gading ya ”

” Wah, ini rasanya kayak di Kali Malang ya ”

Komentar mereka bukan cuma berdasarkan topografi daerah yang mirip, tapi juga karena model kemacetan yang mungkin hampir sama.

Ada yang bilang, ini adalah ciri khas kota metropolitan. Tapi apa iyya setiap kota metropolitan harus akrab dengan kemacetan ? Saya belum pernah mengunjungi kota-kota metropolitan di Eropa atau Amerika sana sehingga tentu saja tidak bisa bicara banyak untuk membandingkan.

Tapi, sepanjang yang saya tahu segala model kemacetan itu bisa saja diminimalisir dengan sebuah antisipasi dari jauh-jauh hari. Penerapan sistem transportasi yang bagus, penyediaan infrastruktur berupa transportasi massal yang memadai serta tentu saja kebijakan-kebijakan yang lebih mementingkan transportasi publik daripada kendaraan-kendaraan pribadi. Setidaknya itu yang sering saya baca.

Jalanan macet karena jumlah kendaraan pribadi jauh lebih banyak daripada kapasitas yang bisa ditanggung jalanan tersebut. Salah satu teorinya seperti itu, bukan ?

Pertanyaan saya, itu salah siapa ? Salah kami yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi publik ? Salah kami ketika kami lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada harus naik angkot ke mana-mana ? Dan hey, angkot bukan transportasi massal kan ?

Ke mana semua para ahli tata kota itu ? Kenapa kondisi ini tidak diantisipasi serius dari awal ? Kondisi seperti apalagi yang akan kami temui di tahun-tahun mendatang? ?

Sudahlah, pertanyaan-pertanyaan itu mungkin sudah terlalu sering dilemparkan dengan ragam jawaban yang mungkin tidak pernah memuaskan selain rentetan retorika yang membuai. Tapi lihatlah ke jalanan kota Makassar, di sana aroma Jakarta makin menusuk. Entah sampai kapan..