Sihir Dari Catalunya

Kegembiraan Barcelona ( sumber : UEFA.com )

Saya tidak pernah terlalu suka pada Barcelona, tapi pencapaian pada beberapa tahun terakhir ini memaksa saya untuk mengangkat topi pada klub asal Catalunya ini.

Gol dari David Villa di Wembley hari Sabtu 28 Mei 2011 menjadi pamungkas malam itu, sekaligus menandai kali kedua Barcelona memukul Manchester United untuk meraih gelar Liga Champion mereka yang keempat. Pertemuan kedua mereka di partai puncak final liga champion Eropa tahun ini seperti mengulang kisah 2 tahun lalu ketika Barca menekuk MU dengan 2 gol tanpa balas. Tahun ini margin golnya tetap dua meski MU sempat membalas satu lewat Wayne Rooney.

Barca memang luar biasa. Semua orang yang mengerti sepakbola pasti akan setuju kalau Barca adalah klub dengan permainan yang indah. Mereka memainkan sepakbola dari kaki ke kaki atau yang lazim disebut tiki-taka. Sepanjang permainan, pemain mereka selalu bergerak dengan penempatan bola yang akurat.

Barcelona yang menghibur

Saya kenal Barcelona sejak jamannya Ronald Koeman, Hristho Stoijkov dan Romaria Faria dengan Johann Cruijff sebagai pelatih. Tapi waktu itu saya sama sekali belum tertarik pada klub dari propinsi Catalunya itu. Belakangan saya malah lebih tertarik pada Real Madrid.

Ketika Frank Rijkaard menukangi Barca, atensi saya tersedot. Faktor utamanya adalah karena Rijkaard. Sebagai salah satu pilar kesuksesan AC Milan di tahun 90-an, Rijkaard selalu menjadi salah satu idola saya. Jadi ketika dia berada di belakang Barca, mau tak mau pandangan saya ikut menatap ke sana.

Rijkaard menetapkan pondasi awal untuk kesuksesan Barca. Rijkaard yang mulai membawa pakem 4-2-3-1 dengan mengandalkan Ronaldinho dan Deco sebagai kreator lapangan tengah. Barca perlahan melambung ke puncak, pelan tapi pasti. Hingga akhirnya gelar Champion Eropa pun mereka rebut.

Tapi Rijkaard tidak bertahan lama. Manajemen menggantikan tempatnya setelah beberapa kekisruhan dalam internal Barca mulai melanda. Pep Guardiola didaulat untuk duduk di kursi pelatih menggantikan si meneer berambut gimbal itu.

Pep di final ECL (sumber:UEFA.com)

Pep bukan orang baru di Barca. Mantan gelandang di era 90an awal itu adalah anak didik Johann Cruijf. Bersama Romario Faria, Hristo Stoickov dan Ronald Koeman mereka sempat menjadi raja Eropa dan bahkan memenangi piala Toyota. Wajar ketika Pep kemudian terlihat begitu fasih memperbaiki pondasi klub yang sudah diletakkan oleh Rijkaard. Pep berani membuang Ronaldinho dan Deco, dua pilar utama di masa Rijkaard melatih. Pep juga berani memaksimalkan pemain-pemain muda yang dibawanya dari Barca B, pusat pelatihan Barcelona tempat pemain-pemain muda dipupuk.

Pep berhasil. Barca disulapnya sebagai tim dengan materi mayoritas pemain muda yang dimantapkan dengan pengalaman dan jam terbang tinggi dari beberapa senior. Nama-nama seperti Busquet, Pedro dan Bojan muncul ke permukaan mengikuti nama yang sebelumnya sudah terlanjur terkenal seperti Xavi, Iniesta dan tentu saja si messiah, Lionel Messi.

Paduan pemain-pemain ini membuat Barca bebas bermain dengan indah di dalam lapangan. Mereka menguasai permainan sepenuhnya lewat penguasaan bola yang disertai umpan-umpan yang akurat. Angka penguasaan bola selalu di atas 50% dan dengan angka seperti itu maka gol hanya menunggu waktu. Dari Catalunya, mereka menyihir dunia.

Barcelona yang rendah hati

Dengan tipe permainan menyerang, tim yang solid dan suasana yang selalu kondusif Barcelona mulai mengumpulkan tropi satu per satu. Dalam waktu 3 tahun, Pep Guradiola mengumpulkan 10 tropi, dari level lokal, Eropa hingga dunia. Barcelona terlihat begitu rakus mengumpulkan keping demi keping tropi.

Tapi, hebatnya Barca karena mereka kemudian tidak berbesar mulut. Utamanya sang pelatih, Pep Guardiola.

Dua tahun lalu ketika mengalahkan Manchester United di final, Pep mendedikasikan kemenangan tersebut untuk Paolo Maldini yang baru saja mengundurkan diri dari lapangan hijau. Pep menganggap Maldini adalah seorang pesepakbola besar yang pantas menjadi panutan bagi seluruh pemain sepakbola di dunia. Sebuah sikap yang rendah hati.

Tahun ini, meski kembali berhasil mengalahkan Manchester United dan kali ini bahkan di depan rumah mereka sendiri, Pep tidak lantas menjadi jumawa. Pep menganggap keberhasilannya belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan prestasi yang diukir pelatih Manchester United, Sir Alex Ferguson. Pep bahkan menganggap mustahil untuk bisa menyamai perolehan Sir Alex.

Bagi anda yang menyaksikan final Champion Eropa, pasti anda bisa melihat bagaimana Pep dan Sir Alex bersalaman sebelum dan sesudah partai tersebut. Mereka terlihat saling segan dan hormat satu sama lain. Pep yang fenomenal menaruh hormat pada Sir Alex yang legendaris, pun sebaliknya.

Musim 2010-2011resmi ditutup, ?untuk sementara tirai panggung sepakbola Eropa akan diturunkan sebelum kemudian diangkat lagi pada pertengahan Juli untuk sebuah musim baru. Pep masih mengisyaratkan untuk tetap ada di Camp Nou, minimal hingga akhir musim depan. Menarik untuk menantikan kiprahnya di musim yang baru.

Kira-kira berhasilkan Pep kembali membuat Mourinho meradang ? Berhasilkan Pep membuat Mourinho kembali mencari kambing hitam untuk kegagalannya membendung laju Barca ? Atau justru Pep yang akan dibuat bertekuk lutut oleh Mourinho ? Atau mungkin ada pelatih lain yang bisa meredam Pep dan anak asuhnya ?

Mari menunggu musim yang baru. Bagaimana menurut anda ? Apakah sihir Catalunya masih akan bertahan lama ?