Ada Ancaman Perpecahan di Indonesia
Kita harusnya bahagia, punya banyak perbedaan tapi tetap bisa hidup damai. Tapi, kenapa masih ada yang berusaha memecah belah perdamaian itu?
HARI ITU SAYA SEDANG MENYANTAP makan siang di sebuah hotel di Makassar. Di depan saya duduk seorang pria gagah berseragam TNI. Namanya Letkol Fajar Catur. Waktu pertemuan itu beliau masih bertugas di Kodam XIV Hasanuddin, tapi katanya sebentar lagi akan dipindahkan menjadi Komandan Kodim (Dandim) di Soppeng. Kebetulan kami baru saja mengisi acara yang dihelat oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Obrolan kami berjalan santai dan tidak formil. Meski berpakaian militer, beliau ternyata sangat santai. Padahal di awal saya yang agak grogi, maklumlah saya jarang berinteraksi langsung dengan orang militer, apalagi perwira.
Dari obrolan santai, kami mulai beranjak ke obrolan yang lebih serius. Tepatnya obrolan tentang kondisi ancaman perpecahan yang sepertinya sedang marak belakangan ini.
Ada satu cerita yang selalu saya bagikan setiap kali topik persatuan bangsa diobrolkan. Cerita ketika menemani beberapa warga Afghanistan yang berkunjung ke Makassar, tentang bagaimana mereka sangat kagum pada kedamaian dan persatuan yang mereka lihat sendiri di Indonesia.
Kisah itu bisa kalian baca di sini: Cerita Dari Afghanistan: You Should Be Thank God That Your Are Indonesian
Negara ini, kata mereka, punya banyak agama dan suku. Tapi kenapa bisa tetap damai dan rukun? Dia membandingkannya dengan Afghanistan yang suku dan agamanya cuma sedikit, tapi yang namanya perdamaian itu jauh panggang dari api.
“Nah, bener! Ini kan sesuatu yang maya, tapi koq bisa gitu loh,” kata pak Letkol Fajar Catur dengan logat Semarangannya yang khas. Beliau memang asli Semarang, katanya.
*****
KALAU DIPIKIR-PIKIR, ide persatuan Indonesia itu memang sangat ambisius dan mendekati impossible. Bayangkan, negara kita punya 700an suku dengan bahasa yang berbeda-beda. Negara kita punya 6 agama berbeda yang diakui, ditambah dengan kepercayaan lokal yang jumlahnya lebih banyak. Sungguh sesuatu yang sangat kaya dan beragam kan?
Nah dengan jumlah sebanyak itu, kenapa koq kita bisa hidup rukun ya? Kita bisa bercakap-cakap dengan bahasa yang sama (meski logatnya kadang berbeda-beda), kita bisa berinteraksi dengan nyaman dengan orang yang beda suku dan beda agama, kita bisa bertetangga dengan orang yang beda suku dan agama. Damailah pokoknya.
Bandingkan dengan negara di Timur Tengah sana. Suku mereka saya yakin tidak sebanyak suku di Indonesia, agama pun pastilah lebih sedikit. Tapi, kedamaian adalah barang mahal. Ada saja alasan untuk saling berpecah-belah satu sama lain. Saling serang, saling bunuh.
Saya pernah membaca sebuah artikel di Tirto, isinya wawancara dengan Umelto Labetubun, seorang konsultan keamanan asal Indonesia di Irak. Pria yang kerap disapa Alto ini paham betul pola pertikaian di Timur Tengah karena dia sudah nyaris 17 tahun berkecimpung di dunia keamanan Timur Tengah. Bukan hanya sebagai pengamat dari jauh, tapi melihat langsung dari dekat konflik-konflik di sana.
Ada satu pertanyaan penting yang diajukan Tirto kepada Alto, yaitu: Apa yang sebetulnya terjadi di Timur Tengah? Jawabannya pun menarik. Saya kutipkan ya:
Jadi salahnya kita terlalu melihat segala sesuatu sebagai agama. Bagi aku, orang-orang itu harus pergi ke sana, oh ternyata di sana bukan agama lagi. Karena perang terjadi antarsesama orang muslim, sesama orang Arab. Harus dibedah lagi interest mereka untuk perang itu apa. Jawaban yang aku dapat: mereka perang untuk pertahankan kekuasaan dari klan dan keluarga.
Menarik karena dari pernyataan itu sebenarnya jelas tergambar kalau perang di Timur Tengah bukan urusan nasionalisme apalagi agama. Perang-perang itu hanya terjadi karena nafsu berkuasa demi klan atau keluarga, bukan demi negara atau agama.
Alto juga menggarisbawahi kurangnya nasionalisme di negara-negara Arab, bahkan pada aparat keamanan mereka sekalipun. Mereka hanya berjuang setengah-setengah ketika itu dikaitkan dengan nasionalisme. Berbeda ketika dikaitkan dengan suku atau keluarga, perjuangan mereka baru benar-benar keluar.
*****
MARI KITA TARIK KE DALAM NEGERI.
Sampai sekarang kita masih beruntung karena sebagian besar kita masih punya rasa nasionalisme yang tinggi, meski ancaman terhadap NKRI juga masih ada. Parahnya, ancaman itu kadang dalam bentuk yang sulit dideteksi secara terang-terangan. Salah satunya adalah menggunakan sentimen agama.
Menurut Alto, ada kesan kalau kelompok tertentu mencoba mengadudomba antara polisi dan TNI. Tujuan utamanya adalah membuat kekacauan, toh kedua institusi itu adalah institusi pemilik senjata dan bahan peledak terlengkap di Indonesia. Kalau antar mereka sudah saling serang, tentu akan mudah untuk menimbulkan kekacauan di kalangan rakyat sipil. Ujung-ujungnya mudah pula untuk menguasai negeri ini.
Ini agak mengkhawatirkan, padahal kita tahu kalau TNI dan Polri adalah aparat keamanan negeri. Kedua institusi itu adalah pengawal setia keamanan kita, kalau keduanya sampai tidak solid dan bisa dipecah belah, matilah kita.
Di sisi lain, kita juga mudah menemukan usaha membenturkan penganut agama dengan aparat. Ada kesan yang coba dibangun kalau aparat keamanan kita (TNI dan Polri) bertindak represif kepada salah satu agama. Selain itu ada juga upaya membangun narasi kalau aparat bertindak tidak adil dalam menindak pelanggaran yang dilakukan oleh agama lain, tidak sereaktif ketika pelanggarnya beragama mayoritas. Kalau dilihat lebih jauh, narasi ini seakan-akan mencoba membenturkan penganut agama mayoritas dengan aparat, baik TNI maupun Polri.
Buat saya ini aneh karena kalau membaca sejarah terlihat betul bagaimana perjuangan para pejuang dulu yang bahu membahu memerdekakan Indonesia. Semua agama dan suku bersatu padu, berjuang bersama. Bahkan tokoh-tokoh agama seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyhari, dua tokoh dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia juga turut berjuang mengusir penjajah.
Jadi kurang apalagi coba? Masak iya TNI dan Polri tega meninggalkan mereka yang sudah sama-sama berjuang untuk kemerdekaan negeri ini?
Perjuangan ke depan memang semakin berat. Perbedaan yang ada di Indonesia sebenarnya adalah modal besar, tapi di sisi lain juga berisiko besar untuk jadi bahan perpecahan. Kalau tidak awas, kita bisa jatuh pada perpecahan yang dahsyat seperti Yugoslavia di tahun 90an. Awalnya satu negara dengan beragam suku dan agama, tiba-tiba pecah dalam konflik horizontal yang memakan korban jiwa ratusan ribu orang. Ngeri!
Akhirul kalam, saya cuma mau mengingatkan: kita harus bersyukur hidup di negara yang begitu kaya dengan perbedaan ini. Bisa hidup damai tanpa harus saling curiga, bisa menikmati indahnya perbedaan tanpa harus saling serang. Tapi, ya hati-hati saja. Kalau perbedaan itu tidak dirawat dengan baik, yang ada malah kehancuran yang mendekat.
Kalian tentu tidak mau Indonesia jadi seperti Afghanistan kan? Saya sih tidak. Entah dengan mas Anang. [dG]