Uji Fisik dan Mental di Jalur Nabire-Paniai(2)

Sambungan dari bagian pertama. Jalur yang kadang penuh warna. Antara pemandangan yang memukau dan kejutan-kejutan kecil di perjalanan.


Papua
Jalanan antara Nabire-Dogiyai

“Saya sudah pernah dikalungi parang sama ditodong senjata,” kata Sulaiman, supir lain yang juga pernah membawa kami dari Nabire ke Paniai. Umurnya lebih tua dari Munzir dan dia sepertinya lebih berpengalaman. Saat itu Munzir tidak bisa mengantar kami dan menyerahkan kami ke Sulaiman. Supir lain yang dia percaya.

Sepanjang jalan Nabire-Paniai dan sebaliknya, Sulaiman bercerita tentang pengalamannya selama menjadi supir di jalur itu. Dia menandai beberapa daerah yang oleh para supir di jalur itu sudah dikenali sebagai daerah berbahaya. Nama seperti Mapia, Pintu Angin dan Puga-puga adalah nama daerah yang selalu membuat supir meningkatkan kewaspadaan mereka. Mapia berada antara Nabire dan Dogiyai, sementara Pintu Angin dan Puga-puga berada di antara Dogiyai dan Paniai.

Di daerah itu – utamanya Pintu Angin dan Puga-puga – mereka yang mengadang bukan lagi warga biasa yang iseng, tapi memang para pelaku kriminal. Perampok istilah kasarnya. Mereka beraksi secara berkelompok, menggunakan senjata tajam seperti parang dan panah serta kadang senjata api. Dari mobil yang diadang, mereka akan menyita semua barang berharga. Uang, handphone, laptop, apa saja yang kira-kira punya harga.


Puga-puga tidak jauh dari sini

Setiap mendekati dua daerah itu, supir akan mewanti-wanti penumpangnya untuk menyembunyikan barang berharga mereka. Kadang mereka meminta penumpang untuk menyembunyikannya di bawah kursi. Berjaga-jaga jangan sampai perampok itu mengadang kami.

“Kalau ada begitu, kenapa nda ditabrak saja?” Tanya saya.

“Lebih bahaya pak. Bisa panjang persoalan, nanti kita kena lagi denda adat,” jawab Sulaiman. Serba salah memang.

Cerita-cerita dari Sulaiman dan Munzir ini tidak pelak membuat saya takut juga. Rasanya tidak tenang setiap kali melewati tempat yang disebutkannya itu. Meski alhamdulillah kejadian buruk seperti itu tidak pernah – dan mudah-mudahan tidak akan pernah -terjadi pada kami.

Waktu kedatangan pertama saya ke Paniai di bulan Januari 2018, sebuah kejadian sempat membuat kami begitu khawatir. Di Mapia, sebuah kecelakaan lalu lintas menewaskan dua anak warga setempat. Warga mengamuk dan menutup jalan, meminta ganti rugi dari semua supir yang lewat. Padahal itu satu-satunya jalan dari Nabire ke Paniai dan sebaliknya. Kejadian itu terjadi sehari sebelum jadwal kepulangan kami dari Paniai. Kalau jalan ditutup, bagaimana kita turun? Kata saya dalam hati dengan nada khawatir.

Beruntung keesokan harinya suasana sudah kondusif. Kecelakaan itu sudah ditangani polisi dibantu oleh tokoh masyarakat setempat. Tapi tidak urung selama perjalanan rasa khawatir tetap menghampiri kami. Beberapa saat sebelum mendekati Mapia, kak Luna yang jalan bersama saya tak henti memanjatkan doa. Suasana benar-benar mencekam. Kami baru bersantai ketika Munzir meyakinkan kalau lokasi kejadian itu sudah lewat. Pfiuhhh, lega rasanya.

Suatu waktu, salah seorang teman kami – pak Rara namanya – meminta supir berhenti sebentar padahal kami sedang berada di wilayah Puga-puga. Dia sudah tidak tahan ingin buang air kecil. Dengan berat hati Sulaiman yang menyupiri kami waktu itu menolak permintaan pak Rara.

“Kalau di sini saya tidak berani pak, nanti saja di depan ya,” katanya. Dan setelah melewati Puga-puga dan Pintu Angin hampir satu jam kemudian barulah dia berhenti. Di depan Moenamani yang jadi ibukota Dogiyai sudah terlihat. “Nah, kalau di sini boleh. Saya berani berhenti pak,” kata Sulaiman.

Akhirnya pak Rara bisa menuntaskan hasrat buang hajatnya dengan tenang dan lega.

Hari itu kami turun dari Paniai sore hari dan bertemu malam di jalan. Kami sempat berhenti sejenak di Kilo 100, sebuah rest area yang dipenuhi warung makan. Tempat ini berada kira-kira 100 km dari Nabire dan memang jadi tempat peristirahatan sementara untuk mereka yang melintasi jalur Nabire-Paniai. Ada banyak warung makan di sana, sebagian besarnya dikelola pendatang dari Bugis. Menu makanannya pun sebagian adalah makanan khas Bugis-Makassar seperti coto, konro, pallumara dan sop saudara.


Suasana warung di Kilo 100

Tidak ada sinyal seluler di daerah ini, tapi beberapa warung makan menyediakan fasilitas internet dengan voucher yang bisa dibeli. Rp.25.000,- untuk dua jam. Saya belum pernah mencoba kecepatannya karena biasanya kami hanya mampir paling lama 45 menit. Sekadar untuk makan, buang air kecil dan beristirahat sejenak.

Supir-supir yang melintasi jalur Nabire-Paniai melengkapi diri mereka dengan radio. Fungsinya untuk saling berbagi informasi situasi jalan. Dari radio itu supir yang sudah di depan akan menginformasikan situasi jalan, apakah ada halangan atau tidak. Kadang mereka juga menggunakan radio itu untuk bertukar candaan, sekadar pengusir kantuk dan sebagai teman sepanjang perjalanan.

*****

TAPI, APAKAH PERJALANAN JALUR NABIRE-PANIAI selalu  mencekam seperti itu? Tidak juga sebenarnya. Kalau menurut supir, itu nasib-nasiban. Kalau lagi sial ya ketemu orang jahat. Tapi kalau lagi beruntung ya lancar jaya tanpa gangguan sama sekali. Buktinya, 12 kali melewati jalur itu Alhamdulillah tidak sekalipun saya bertemu orang jahat seperti yang diceritakan supir-supir itu. Sekali dua kali bertemu mereka yang mengadang, tapi dengan bayaran Rp.20.000,- sampai Rp.50.000,- kami sudah bisa lewat.

Jalur Nabire-Paniai yang ditempuh selama tujuh jam itu sebenarnya adalah jalur yang menyenangkan kalau Anda tahan meniti jalan mendaki dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan kita akan disuguhi pemandangan alam Papua yang indahnya bukan main. Dari gunung tinggi, tanah lapang yang terhampar, kabut yang bertengger di atas atap bangunan sampai danau Tigi yang kebiruan. Mata akan dimanjakan sepenuhnya sepanjang perjalanan.

Sesekali kita akan melintasi kampung dengan beragam aktivitasnya. Ada orang-orang kampung yang melintas, ada orang-orang yang nongkrong di tepi jalan dan di sore hari ada orang-orang yang berkumpul di lapangan volly.

Sebagian besar jalan di jalur ini sudah sangat mulus. Aspalnya bahkan masih mengkilap. Memang di beberapa titik masih ada jalur yang tertutup karena longsor, atau aspal yang rusak parah. Tapi itu tidak seberapa banyak, meski di musim hujan cukup mengganggu perjalanan. Sisanya lancar jaya.


Kadang bertemu jalan seperti ini

Jalur ini baru dua tahun belakangan diperbaiki. Sebelumnya tidak seperti itu. Bahkan dulu katanya perjalanan dari Nabire ke Paniai hanya bisa dilewati oleh mobil truk dan ditempuh satu hari satu malam. Mereka harus bermalam di jalan, di tengah hutan. Sekarang sudah jauh lebih bagus. Aspal rata dan mengkilap dan jembatan dibangun menggantikan jembatan lama atau jembatan darurat yang sebelumnya sudah ada.

Secara umum perjalanan akan terasa menyenangkan meski kita juga harus kuat. Tujuh jam menanjak dan berliku tentu lumayan menguras tenaga. Beberapa orang mungkin akan tidak tahan dan muntah karena mabuk darat. Plus, gangguan kecil dari mereka yang mengadang itu bisa jadi trauma tersendiri.

Empat atau lima perjalanan terakhir dari Nabire ke Paniai dan sebaliknya, kami sudah tidak pernah bertemu lagi dengan tukang adang di jalan. Bahkan dua perjalanan terakhir kami melihat banyak orang-orang Papua yang ikut bekerja di proyek pemasangan fiber optic yang menghubungkan Nabire dan Paniai. Sebagian lagi bekerja di proyek jembatan yang banyak bertebaran di jalur itu.

“Mereka mungkin sudah sibuk kerja, jadi tidak punya waktu lagi mengadang mobil yang lewat,” kata saya setengah bercanda.


Pekerjaan jembatan sedang digenjot

Sebagian besar perjalanan kami lakukan mulai pagi dari Nabire dan tiba sore di Paniai. Sebaliknya, dari Paniai juga begitu. Tapi di beberapa perjalanan terakhir, kami mengubah kebiasaan. Dari Paniai kami berangkat siang dan tiba tengah malah di Nabire. Kata supir, tidak masalah asal melewati Puga-puga dan Pintu Angin sebelum malam turun. Hanya dua daerah itu yang ditakutkan mereka, sisanya aman.

Perjalanan terakhir malah jauh berbeda. Kami meninggalkan Nabire sore hari dan bermalam dulu di Moenamani sebelum melanjutkan perjalanan ke Paniai pagi hari. Moenamani dan Enarotali – ibukota Paniai – hanya ditempuh dua jam perjalanan. Perjalanan ini rasanya lebih segar buat saya, karena kami sempat beristirahat semalaman di Moenamani.

Jalur Nabire-Paniai dan sebaliknya ini sangat berkesan buat saya. Sebuah jalur yang kadang menguji fisik dan mental, tapi entah kenapa selalu saya rindukan. Jalur ini membuat saya bisa melihat Papua apa adanya. Alamnya, orangnya, ironinya, semua tersaji di sana. Meski kata orang jalur ini cukup menakutkan, tapi saya sepertinya tidak pernah kapok meski sesekali saya juga merasa begitu lelah ketika meniti jalur ini. Dua belas kali meniti jaur ini di tahun 2018 sudah memberi banyak cerita buat saya. Mungkin saya masih akan meniti lagi jalur ini di tahun yang baru, dan semoga seperti sebelumnya; semua tetap aman dan menyenangkan. [dG]