Setidaknya Pernah ke Ternate
Horeee! Akhirnya saya pernah ke Ternate. Walaupun rasanya belum puas karena merasa belum kemana-mana.
Sejak SD saya sudah mendengar nama Ternate. Sebuah kesultanan yang namanya begitu harum di nusantara, yang menjadi tujuan pedagang dari benua jauh, yang terkenal dengan rempah-rempahnya, dan terntu saja terkenal dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang besar di sekitar Maluku, sedikit Papua, dan sebagian wilayah Sulawesi.
Pokoknya Ternate bukan nama yang asing buat saya, meski saya belum pernah ke sana.
Mendarat
Tanggal 4 September 2023 akhirnya saya mendarat di Bandara Sultan Baabullah, Ternate. Beberapa menit sebelum mendarat saya sudah menikmati indahnya Ternate dengan laut yang biru dan bening serta gunung Gamalama yang berdiri kokoh.
Kota Ternate tepatnya ada di kaki gunung Gamalama, gunung berapi setinggi 1.715 m ini menjadi latar belakang kota Ternate. Pulau Ternate ini tidak terlalu luas, hanya sekitar 40 km2. Dari bagian paling selatan ke bagian paling utara saja kira-kira hanya butuh waktu 45 menit.
Pulau yang punya gunung tinggi itu berpadu dengan laut biru yang bening. Sayangnya karena pantainya ditemani pasir hitam, bukan pasir putih. Sedikit mengurangi keindahannya meski tetap saja terlihat indah.
Bandara Sultan Baabullah sedang direnovasi, jadi tidak heran kalau bagian depannya masih berantakan. Bandaranya tidak terlalu besar, bahkan lebih kecil dari bandara Pattimura, Ambon. Bandara Sultan Baabullah mengingatkan saya pada bandara di Kaimana yang terletak di tepi pantai dan tidak terlalu besar. Keluar dari bandara menuju pusat kota, kami menelusuri jalan tepi pantai. Benar-benar kenangan akan Kaimana seperti melesat di ingatan.
Kota Ternate
Kami akhirnya tiba di pusat kota Ternate, menginap di salah satu hotel terbaik di kota itu. Hotel yang katanya dibangun di atas tanah seluas lebih kurang 5Ha. Hotel ini terletak di daerah yang serupa tebing, berkontur. Sebagian menghadap ke laut, sebagian menghadap ke gunung Gamalama. Hotel Bella namanya. Besar sekali, dan saking besarnya berpindah dari satu sayap ke sayap hotel yang lain juga lumayan capek. Kemudian karena hotel ini berada di tebing, maka perjalanan ke lobi pun sudah cukup menguras tenaga.
Kami juga sempat berjalan keliling kota ternate dan melihat bagaimana kota ini sebenarnya kecil dan padat. Berada di tepi pantai, menghadap ke pulau Halmahera yang lebih besar. Dibandingkan Halmahera, Ternate bahkan terlihat sangat kecil. Di atas peta, Ternate hanya seperti tumpahan tinta dari pulpen yang dipakai menggambar peta. Kecil sekali.
Karena masih tergolong kota kecil, Ternate pun terasa lebih padat meski tetap rapi. Kondisi yang mereka sebut sebagai “macet” tidak lain hanya perlambatan, jauh sekali dengan kondisi “macet” yang disebut orang Makassar, apalagi orang Jakarta.
Apa yang Bisa Dilihat di Ternate?
Kami beruntung karena ada teman orang Ternate yang bersedia mengantar kami mengenal Ternate. Namanya Ghem. Dia bahkan menjemput kami di bandara. Dari bandara kami dibawa ke hotel, istirahat sejenak lalu diajak makan di depan hotel, dan dari sana baru diajak ke beberapa tempat.
Pertama kami diajak ke Batu Angus. Sebuah wilayah geopark berisi batu-batu berwarna hitam bekas letusan gunung Gamalama. Batu-batunya terhampar secara acak dan menciptakan suasana yang mistis tapi menyenangkan.
Batu Angus terletak di tepi pantai, menghadap ke pulau Halmahera dengan hamparan laut biru yang cantik. Di kejauhan Jailolo juga terlihat jelas. Pemandangan sore hari yang mahal dan menyenangkan.
Kami tidak lama di Batu Angus. Setelah berfoto dan menikmati sore, kami diajak bergerak makin ke utara. Ke daerah pantai bernama Jikomalamo. Sebuah teluk yang menjorok ke daratan. Di dua sisinya ada banyak bangunan semi permanen yang berdiri. Sebagian besar adalah warung makan, tempat wisatawan bisa bersantai menikmati sajian makanan dan minuman, sambil berenang di pantai yang jernih.
Sepiring pisang goreng lengkap dengan sambalnya menemani sore yang indah. Jikomalamo sedang ramai, maklum karena itu hari Minggu sore. Sayangnya, seperti umumnya pantai di timur Indonesia yang penuh dengan wisatawan, suara musik dari speaker saling bersahutan. Saya rasa itu salah satu ciri khas pantai di timur Indonesia.
Pertama tiba di sana saya belum menyentuh air karena hari sudah terlalu sore. Saya baru akhirnya menyentuh air ketika kami kembali ke sana beberapa hari kemudian. Minimal sudah menikmati pantai Ternate, kata saya.
Sayangnya karena waktu yang singkat di Ternate saya hanya bisa mengunjungi dua tempat itu. Sisanya hanya menikmati pagi di Ternate dengan pemandangan dari balkon kamar. Kota Ternate terhampar di depan mata, dan Tidore di seberang laut. Sekali lagi sebuah pemandangan mahal.
*****
Saya tidak menghabiskan waktu lama di Ternate. Hanya lima malam. Tentu saja itu masih sangat kurang. Saya hanya mendatangi dua tempat wisata dan tentu saja menikmati makanan-makanan khas Ternate, termasuk ikan-ikannya yang maknyus. Rasanya belum puas sih, belum sempat menyesapi lebih jauh tentang perjalanan sejarah kerajaan kecil tapi sangat berkuasa itu. Kerajaan yang dulu sangat dihormati para penjajah asing dari benua biru.
Setidaknya, saya pernah ke Ternate! [dG]