Tamuku Rajaku
Orang Indonesia terkenal dengan keramahannya, sesuatu yang buat saya adalah Mahakarya Indonesia.
“Pak, maaf. Bisa ikut saya sebentar?” Kata Om Niko yang menemani kami ke desa Setarap. Dia menggerakkan tangannya, memberi tanda supaya saya mengikutinya ke dalam.
Saya bangkit dari duduk, mengikuti lelaki tinggi berkulit gelap itu ke bagian dalam rumah menuju dapur. Di sana seorang pria lain sudah menunggu, di tangannya ada sebilah pisau dapur. Saya mengernyitkan dahi, ada apa ini? Tanya saya dalam hati. Kedua lelaki itu kemudian menunjuk seekor ayam jantan berwarna dominan putih-hitam yang sebelah kakinya diikat tali.
“Kau potonglah ayam itu, kami kuatir kalau kami yang menyembelihnya nanti tak halal.” Kata Om Niko. Pria yang satu-pak Petrus namanya- menyodorkan pisau dapur di tangannya.
Saya menolak, “Wah pak, saya belum pernah memotong ayam sebelumnya. Saya tidak tega.” Memang, sampai saat ini saya belum pernah menyembelih ayam. Pengalaman paling dekat dengan sembelih-menyembelih adalah ketika diminta almarhum bapak menjadi asistennya ketika menyembelih ayam. Itupun sudah lama.
“Silakan disembelih aja pak, saya mengikut saja. Tuhan pasti mengerti.” Kata saya kemudian. Akhirnya tidak ada perdebatan lagi. Ayam jantan itu kemudian tersaji di meja makan beberapa jam kemudian. Entah dia menemui ajal di tangan siapa, yang jelas bukan tangan saya.
Fragmen di atas membekas dalam ingatan saya. Betul-betul sebuah penghargaan pada tamu yang luar biasa. Tahu kalau kami muslim, sang tuan rumah yang beragama Kristen merasa tak nyaman, takut ayam yang disajikannya ternyata tidak halal buat kami yang muslim. Meski akhirnya ayam itu disembelih dengan cara mereka tapi usaha mereka dengan meminta saya yang menyembelihnya sudah membuat saya kagum.
*****
“Suka makan durian kan? Abis ini saya jemput, kita makan durian.” Kata kak Roy, pria Manokwari yang saya temui di ibu kota Papua Barat itu. Malam selepas maghrib dia datang ke hotel tempat saya menginap dengan mobil double cabin. Di bak mobilnya belasan biji durian yang kecil-kecil siap disantap.
Jadilah kami menikmati durian di teras hotel. Bukan hanya itu, selepas makan durian kak Roy dan keluarganya mengajak kami makan di pusat jajanan tepi pantai yang jadi salah satu pusat keramaian di Manokwari. Mereka sangat ramah, padahal kami baru kenal beberapa jam sebelumnya.
“Selamat malam kakak.” Seorang remaja muda menyapa kami malam itu. Saya dan seorang kawan yang menyusuri jalan menuju hotel, membalas sapaan remaja itu. Beberapa meter sebelumnya seorang ibu muda dengan anaknya yang masih kecil juga menyapa kami dengan ramah. Mereka berdua orang Papua.
Buat saya ini sesuatu yang luar biasa. Tidak tiap hari saya menerima sapaan seperti itu dari warga lokal, apalagi warga daerah yang oleh orang lain sering digambarkan sebagai daerah terbelakang dan berbahaya.
Beberapa kali ke Papua saya menemukan banyak orang seperti kak Roy, orang-orang yang sangat ramah menyambut tamu dan memperlakukan tamu seperti raja. Di balik tampang mereka yang keras dengan kulit legam dan rambut keriting, orang Papua sangat ramah dan terbuka.
*****
Orang Dayak dan orang Papua adalah orang Indonesia. Mereka mewarisi jiwa Indonesia yang ramah dan terbuka pada tamu. Kadang mereka rela mengeluarkan semua yang terbaik milik mereka untuk menjamu tamu-tamunya. Pokoknya tamu adalah raja, dan ini berlaku hampir di semua wilayah Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Rote.
Suatu hari seorang kenalan dari Yunani bilang begini, “Indonesian people it’s so polite. They also very warm. Whatever you ask, they will answer.” Katanya memuji kesopanan dan keterbukaan orang Indonesia. Di kalangan pejalan, orang Indonesia memang terkenal sebagai orang-orang yang ramah dan terbuka.
Berkali-kali jalan ke beberapa tempat di Indonesia, saya juga mengangguk mengiyakan. Orang-orang Indonesia memang sangat terbuka, ramah dan tentu saja menjamu tamu sepenuh hati mereka. Bagi kita orang Indonesia, tamu adalah raja yang harus dijamu dan didampingi. Kenyamanan tamu adalah nomor satu. Apalagi buat mereka yang masih tinggal jauh dari hiruk-pikuk kota.
Di desa Setarap kawan perjalanan saya sampai mewanti-wanti pemilik rumah untuk tidak usah memotong ayam lagi. “Kami ke sini mau menikmati makanan asli sini pak, jadi gak usah repot-repot motong ayam. Cukup makanan yang biasa aja.” Alasannya. Saya tahu itu hanya alasan saja karena aslinya dia –dan juga saya- merasa tidak tega melihat tuan rumah yang sederhana itu setiap hari menghabiskan uang ekstra untuk membeli ayam demi menjamu kami.
Begitulah, demi menjamu tamu mereka sampai rela mengeluarkan dana tambahan padahal sehari-harinya mereka mungkin juga bukan orang yang berlebih. “Kami tidak enak, masak menjamu tamu hanya dengan makanan sederhana begini.” Kata mereka. Sesuatu yang membuat saya yakin 100 % kalau orang Indonesia dengan jiwa Indonesia mereka yang tulus memang menjadikan tamu sebagai raja. Tamuku rajaku. [dG]