Takabonerate Bag.2 ; Tinabo, Sepotong Surga di Selatan Sulawesi
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan bagian 1
Malam kian pekat, sudah lebih dari tujuh jam lamanya kami berada di atas kapal kayu Cahaya Illahi yang mengantarkan kami ke pulau Jinato. Jinato yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate memang menjadi pusat penyelenggaraan Takabonerate Island Expedition, jadi semua rombongan memang diarahkan ke sana. Pulau ini lumayan besar dengan penduduk sekitar 100an KK. Sebagian besar penduduknya berbahasa bugis karena memang asalnya kebanyakan dari kabupaten Sinjai. Dari segi ekonomi, pulau ini terlihat maju. Terbukti dari deretan rumah batu dengan arsitektur yang lumayan modern, ditambah beberapa antena parabola di halaman rumah warga.
Malam itu air laut sedang surut sehingga kapal besar Cahaya Illahi tidak bisa merapat. Kami terdampar cukup jauh dari daratan, penumpangpun akhirnya harus ditransfer ke perahu-perahu kecil untuk bisa mencapai daratan. Proses untuk naik ke kapal kecil dan mencapai daratan tidak mudah. Malam yang gelap membuat proses perpindahan jadi agak sulit dan ketika berhasil naik ke perahu kecil itu, suasana menegangkan kembali terasa. Sang nakhoda hanya mengandalkan perasaan dan sebuah senter yang lebih sering padam.
Akhirnya setelah sempat berdebar-debar, kami tiba juga di dermaga pulau Jinato dan disambut puluhan anak SD berseragam pramuka. Seumur hidup, baru kali ini saya disambut anak-anak SD, rasanya seperti seorang pejabat penting. Meski begitu saya kasihan juga pada anak-anak itu, sudah jauh malam tapi mereka tetap harus terjaga menyambut kami, lengkap dengan seragam pula.
Di rumah kepala desa, kami yang termasuk dalam rombongan pejabat kabupaten kepulauan Selayar juga dijamu layaknya tamu penting. Anak-anak SD sudah siap dengan karton ukuran A4 yang berisikan nama dinas. Merekalah para pemandu yang mengantar kami ke rumah penduduk tempat kami diinapkan. Di karton yang dipegang anak-anak SD itu ada tulisan Tim Penggerak PKK, Dinas Pariwisata, Dinas Kesehatan, Bappeda, dan lain-lain. Bangga juga ketika melihat sebuah karton bertuliskan BLOGGER bersanding dengan nama-nama dinas kepemerintahan itu, meski kami yakin mereka tidak paham apa itu blogger.
Setelah berbasa-basi sejenak, kami kemudian diantar ke rumah pak Asfar, lelaki muda dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Malam itu kami akan beristirahat di rumah beliau. Pagi harinya kami berencana menyeberang ke pulau Tinabo, pulau yang jadi pusat pemberdayaan wisata diTaman Nasional Takabonerate. Seperti biasa, tidur jadi pilihan terakhir. Kami masih sempat duduk di teras rumah batu itu dan ngobrol sampai menjelang subuh.
Pagi harinya tanpa sempat mandi meski sempat sarapan di rumah pak Asfar, kami langsung menuju pulau Tinabo dengan menumpang sebuah kapal yang lumayan besar. Perjalanan dari Jinato ke Tinabo ditempuh dalam waktu 2 jam, berarti ini kali ketiga kami melintasi lautan untuk waktu yang cukup panjang. Sampai hari kedua sudah 3 jenis kapal yang kami gunakan. Kapal feri, perahu kayu besar dan yang ini perahu kayu sedang. Itu tentu saja belum termasuk dua perahu kecil yang kami pakai ketika menyeberang ke Gusung dan naik ke daratan dari kapal motor Cahaya Illahi.
Sekali lagi kami beruntung karena di bulan November ini cuaca masih sangat bersahabat. Langit cerah sedikit berawan, dan ombak tenang membuai. Perjalanan betul-betul melenakan. Hamparan laut berwarna biru tua berpadu dengan biru langit dan awan yang putih. Sesekali kami mendapati rombongan ikan terbang yang melintas menjauhi kapal. Cahaya matahari membias dan kadang terpantul sempurna di atas laut. Meski kadang merasa kepanasan, tapi semilir angin laut terasa sangat menyegarkan. Sungguh sebuah pemandangan yang tak membosankan. Laut di sekitar kamipun tidak sepenuhnya berwarna biru tua, kadang berwarna hijau tosca. Kadang kami bisa melihat langsung dasar laut yang dipenuhi soft coral , karang dan ikan-ikan hias. Rasanya sudah tidak sabar untuk menceburkan diri.
Akhirnya, setelah 2,5 jam kemudian sebuah pulau indah tampak di depan mata. Dari kejauhan pulau dengan pasir putih bersih itu sudah terlihat menggoda. Itulah pulau Tinabo yang jadi pulau utama untuk kawasan wisata di Taman Nasional Takabonerate.
Kami disambut beberapa orang staff Taman Nasional Takabonerate yang memang sudah menantikan kami. Sambutan ramah mereka bersanding sempurna dengan keindahan pulau kecil di selat Flores itu. Kami jadi heboh sendiri ketika melihat ribuan ikan yang bergerombol tidak jauh dari dermaga. Pun ketika kami melihat sendiri betapa jernih air lautnya sehingga pasir putih dan karangnya terlihat sempurna.
Karena sudah tidak sabar untuk mencicipi laut Tinabo, kami jadi tidak membuang-buang waktu. Hanya menaruh tas, menikmati suguhan teh panas dan langsung mencebur. Airnya sungguh jernih, dan pasirnya halus serupa bedak. Bila berdiri di garis pantai maka akan terlihat jelas perpaduan warna yang memikat. Pasir putih kekuningan, air laut jernih berwarna hijau tosca, air laut berwarna biru tua, langit biru cerah dan awan putih bersih. Sungguh perpaduan yang menenangkan.
Kami juga beruntung karena mendapat pinjaman kamera bawah laut sehingga kami bisa mengabadikan pemandangan di bawah sana yang sungguh memikat. Termasuk tentu saja mengabadikan gaya dan ekspresi ketika berada di bawah laut. Sebenarnya kami mendapat tawaran untuk mencoba menyelam menggunakan alat, tapi sayang karena kami tidak membawa persiapan dana sehingga tawaran seharga Rp. 400.000,- itu tidak kami sambut. Hanya Daeng Syamsoe seorang yang kemudian mencoba untuk diving.
Selama tiga jam berada di laut pulau Tinabo, kami tidak? bosan-bosannya mencoba mengintip keindahan bawah lautnya meski hanya dengan berbekal alat snorkle. Saya bisa membayangkan, dengan alat sederhana itu saja kami sudah terpukau sedemikian rupa, bagaimana kalau misalnya kami benar-benar bisa mengintip sampai jauh ke dalam sana ya ?
Menurut pak Nadzrun Jamil yang juga adalah kepala seksi pengelolaan Taman Nasional Takabonerate wilayah 1 itu, Tinabo memang jadi pusat untuk kegiatan wisata di Takabonerate. Di antara 21 pulau yang termasuk dalam gugusan Taman Wisata Takabonerate, Tinabolah yang dikelola secara serius untuk menjadi tujuan wisata. Di sana ada beberapa kamar untuk para pengunjung, termasuk tentu saja paket diving.
Sayangnya, infrastruktur memang kurang mendukung. Untuk mencapai pulau Tinabo dari Selayar harus menyewa kapal karena tidak ada perjalanan reguler ke sana. Biaya sewa kapal milik nelayan bisa mencapai angka Rp. 2 juta sekali jalan. Biaya paket wisata di Tinabo di luar sewa kapal itu sendiri seharga Rp. 1 juta rupiah per hari per orang, termasuk biaya penginapan, makan dan paket diving. Sedangkan bila hanya berkunjung dan snorkling, biaya yang dipasang adalah sebesar Rp. 2.500 untuk retribusi dan Rp. 40.000 untuk snorkling.
Ketiadaan infrastruktur ini memang jadi penghambat berkembangnya wisata bahari di Takabonerate. Padahal menurut pak Jamil, kawasan Takabonerate yang termasuk atol terbesar ketiga di dunia ini punya banyak potensi yang unik. Gugusan karangnya berbeda dengan Bunaken misalnya. Bila di Bunaken gugusan karangnya membentuk dinding, maka di Takabonerate khususnya di daerah Tinanja karangnya berbentuk padang dengan soft coral yang berwarna-warni.
Sampai saat ini koordinasi memang belum berjalan dengan baik antara pihak pengelola taman nasional yang berada langsung di bawah departemen kehutanan dengan pihak pemerintah daerah kabupaten kepulauan Selayar. Koordinasi yang masih berantakan inilah yang membuat kawasan taman nasional yang ditetapkan sejak tahun 2001 ini kalah pamor dibanding kawasan yang sama di Wakatobi. Padahal menurut pak Jamil, semua punya keunikan yang berbeda dan sama menariknya.
Biaya yang mahal untuk mengunjungi Tinabo jelas membuat orang berpikir dua kali. Dengan biaya yang lebih murah orang sudah bisa berada di Bunaken, atau malah di Wakatobi. Sayang sekali, pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar masih terlihat kurang greget dalam mengelola potensi wisatanya. Padahal seperti yang kami lihat sendiri, Tinabo memang seperti sepotong surga yang diturunkan ke bumi. Alamnya indah, di daratan maupun di bawah laut.
Sekali lagi, Tinabo jadi bukti bagaimana pemerintah kita selalu kesulitan mengembangkan dan mempromosikan potensinya. Tidak heran kita kalah dari negara tetangga dalam urusan wisata. Mereka lebih serius mengelola potensi wisata mereka sehingga menarik perhatian para turis dalam maupun luar negeri.
Sore menjelang pukul 4 kami meninggalkan pulau Tinabo menuju daratan pulau Selayar. Rasanya berat harus meninggalkan pulau indah itu. Rasanya belum puas menikmati sepotong surga di kaki pulau Sulawesi itu, tapi apa boleh buat. Kami harus kembali. Di kapal menuju Selayar saya merasa miris, miris membayangkan betapa sebuah potensi yang sangat besar itu tidak dikelola secara profesional. Sungguh sayang.
foto-foto lain bisa dilihat di album Facebook saya, atau di album Flickr
Subhanallah… Indonesia itu indah banget ya?
*tambah ngiri*
iyya mas..
gak perlu jauh2 ke luar negeri kita sudah bisa menikmati “surga”
:'( Indahnyaa… kapan ya Saya ke Sana. Mau belajar berenang dulu daeng. Masa’ Saya dikalah sama ubur-ubur -__-“.
Tidak sudiiii… :))
tidak perlu pintar berenang..kan ada pelampung..
😀
wahh..cantik banget ya..tapi sayang pemerintah kayaknya belom memberi perhatian yang serius. Padahal ini sumber devisa yang tinggi kalo dikelola secara profesional..
🙂
iyya…sayangnya ya begitu, belum ada perhatian serius untuk mengelolanya
Pulau2 kecil Indonesia indah2, sayangnya 95% tidak punya kapal yg layak, jadi turis hanya bisa mengandalkan kapal penduduk lokal yg rata2 sangat sederhana. Hanya turis pemberani yg akan mengunjungi pulau2 indah tsb. Sisi baiknya, keindahan pulau dan pantai2 tersebut akan terjaga karena tidak sembarang orang bisa kesana.
Apalagi turis Indonesia rata2 kampungan, suka buang sampah sembarangan dan berisik.
daeng bertanggung jawab atas rasa iri yang timbul di hati ini! 😀
hahaha..tanggung jawab seperti apa gerangan ?
keren benerr…
benerrr…:D
Yang pasti, apa yang selalu saya “promosikan” dan dikira mengada-ada, benar adanya toh Daeng? Hayyooo…., siapa lagi yg menganggap saya membual, saksikan dgn mata kepala sendiri sana!
cop, saya tidak pernah merasa daeng PremanG ngibul loh…dari dulu saya selalu menganggap Selayar apalagi Takabonerate itu cantik.
dan sekarang sudah membuktikan sendiri 🙂
Sayang memang krn infrastruktur tidak mendukung. Kalau mendukung, dan bisa terjangkau dlm rentang waktu liburan sabtu minggu, mungkin saya jg lebih memilih Tinabo dp P. Tidung, kep. Seribu. Terima kasih atas kunjungan teman2 AM.
hahahaha…seru tuh! saya jadi geli sendiri merasakan disambut ala pejabat, lengkap dengan anak-anak SD yang berseragam pramuka *duh, jadi terharu* hehehe. mm…Daeng, sebenarnya dari Selayar sendiri pun ada kapal langsung ke Tinabo yach? kenapa harus ke Jinato dulu kah?
Lalu, dengan kurangnya jumlah waktu tidur Daeng…hehehe…masih bisa seger tuh siang harinya? btw, perjalanan lautnya jauh lebih banyak dari perjalanan darat yaa…duh, saya pasti sudah ketar ketir mempersiapkan diri bawa antimo banyak-banyak deh. hiks…derita mabuk laut.
hmm…soal infrastruktur, yah…inilah kelemahan dari pemkab kita. harus disadari juga, dukungan dana nggak ada. alhasil, mau bikin jalur yang bagus dari Makassar (atau dari Flores langsung) menuju Tinabo memang jadi nggak mungkin. adanya sambung menyambung kapal dengan harga yang *hiks* lumayan mencekik kantong. Tapi, di sisi lain, kita harus bersyukur, bahwa indahnya alam di Tinabo bersanding lurus dengan kurang tereksploitasinya alam disana. Sederhana saja sih, alam yang banyak menerima kunjungan manusia akan jauh lebih rusak dibanding yang masih perawan sekali. Daeng dalam hal ini sungguh beruntung bisa berkunjung ke Takabonerate yang masih sangat jarang dikunjungi wisatawan reguler lantaran persoalan biaya.
dari Selayar harus ke Jinato dulu karena kami kan ikut rombongan dinas yang jalurnya memang begitu.
dari Jinato ke Tinabo itu hanya inisiatif kami.
setuju sih soal analogi kalau Tinabo masih kelihatan cantik karena memang masih belum terlalu banyak dikunjungi orang. cuma memang seandainya ada transportasi yang reguler setidaknya Tinabo bisa lebih terkenal 🙂
Ih sirik dot com, saya aja punya suami orang Selayar tapi belum sempat2 juga ke sana. Ini salah satu destinasi “10 things I have to visit before I die”..
salah sendiri, punya suami orang Selayar ndak dimanfaatkan..
😛
Em.. will do it soon nah, ah napa jiwa pemanfaatan ku nda keluardi’.. suami dan om yang orang Selayar.. oh em ji.. apa kata dunia ..
kira2 klo mau kesana crx giman
Salam kenal ,,,,,bolehkah minta no hp pemilik kapal sewa dari selayar ke tinabo,,,thanks
wah, kalau kontaknya saya tidak punya.
coba silakan tanyakan langsung ke akun @VisitSelayar di twitter
ah … jadi kangen lagi dengan pasir putih tinabo. butuh perjuangan panjang menuju pulau ini.
kadang biaya tidak jadi masalah, tapi lama perjalanan sering kali membuat kita rada2 mundur.
butuh 15 jam perjalanan dari makasar dengan darat- laut-darat-laut
Assalamualiakum daeng ,mau nanya ,,!!! Star rutenya dari benteng ke takabonerate bisa d jelaskan, dan tolong bagi backpacker berbudget rendah kayak saya!!!!heheheh brapa yang harus d sediakan PP.tq daeng
Pantainya wouw…..,bener-bener surga
Sy org selayar dan Sy baru 1 kali kesini waktu klas 2 SMA waktu itu kami lagi baksos di pulau tinabo, sungguh indah mmang pulau tinabo dgn anak hiu yg brmain di bibir pantai, bnyak org yg tdk tau ttang pulau tinabo in pdahal pulau ini sangat indah justru itu sy angkat sbgai judul skripsi tntang strategi pengembangan pulau tinabo ini.