Riuhnya Penerbangan di Pagi Hari
Bulan April-Mei konon jadi bulan yang ramai dengan jamaah umrah, buktinya bisa dilihat di bandara.
Matahari belum lagi sepenuhnya bangun, jarum jam belum menunjuk ke angka enam. Taksi yang saya tumpangi masih kesulitan mencari tempat kosong untuk memarkir. Deretan mobil berjejer di depan terminal keberangkatan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Benar-benar butuh kesabaran sampai taksi yang saya tumpangi akhirnya berhasil mendapatkan bagian yang kosong.
Saya membayar taksi sesuai angka yang tertera di argo, tentu dengan sedikit kelebihan. Tas ransel saya sematkan di punggung, tas selempang saya sampirkan di bahu dan tas pakaian saya jinjing.
Begitu turun dari taksi saya langsung bertemu dengan keriuhan yang benar-benar di luar sangkaan. Ratusan orang menyemut di depan pintu masuk keberangkatan. Suaranya riuh rendah memecah keheningan pagi. Beragam aroma menyeruak ke lubang hidung, dari rokok, parfum sampai bau badan. Suara-suara manusia dalam berbagai bahasa dan nada memenuhi kuping. Anak-anak kecil berlarian, meliuk-liuk di antara orang dewasa yang berdiri bergerombol.
Saya berhenti beberapa jenak, mencoba menganalisa keriuhan pagi itu. Beberapa orang dengan tas koper yang ditarik berusaha menyeruak di antara kerumunan orang, berjalan tergesa menuju pintu masuk. Pesawat saya masih beberapa jam lagi, tidak perlu tergesa-gesa, kata saya dalam hati.
Dari sekian banyak orang itu, puluhan di antaranya memakai pakaian yang sama, seragam. Prianya mengenakan jas warna gelap dengan kopiah menutupi kepala, kaum wanitanya menutup kepala dengan mukena putih berenda. Mereka sepertinya rombongan umrah dari salah satu agen wisata. Tas mereka pun sama, seragam bentuk, warna dan tulisan di atasnya.
Seorang perempuan tua berseragam sama tampak tersedu dalam dekapan seorang wanita yang lebih muda. Matanya sembab, tampak habis menangis. Si wanita muda yang juga berhijab juga sama, sembab dan tersedu. Sepertinya mereka melepaskan rasa sedih karena sebentar lagi akan berpisah.
*****
Selama bulan April tahun ini, sebanyak tiga kali saya harus meninggalkan Makassar melalui bandara Sultan Hasanuddin. Ketiga-tiganya mengharuskan saya berangkat sebelum matahari bangun, penerbangan pagi kata orang. Pemandangan seperti di atas akhirnya jadi pemandangan yang saya akrabi. Pemandangan riuh rendah bandara yang sepintas seperti riuh rendahnya manusia di pasar. Ramai, sesak olah manusia.
Penerbangan pagi tampaknya jadi favorit banyak orang, mungkin karena harganya yang lebih murah dari penerbangan siang, sore atau malam. Selain itu, penerbangan pagi juga dipilih sebagian besar travel yang memberangkatkan jamaah untuk melakukan ibadah umrah.
Jamaah umrah yang dari penampilannya seperti berasal dari luar kota Makassar itu jadi salah satu faktor juga penuhnya ruang keberangkatan. Satu jamaah biasanya tidak sendirian, di belakang mereka ada beberapa orang yang mengantarnya ke bandara. Bayangkan kalau satu jamaah diantar minimal 3 orang, kalikan dengan jumlah jamaah yang berangkat maka kita akan mendapatkan hasil yang banyak.
Sistim komunal masyarakat kita memang masih menjunjung tinggi kekerabatan seperti itu. Ibadah haji dan umrah yang mengharuskan ummat menyeberang jauh dianggap sebagai sebuah perjalanan panjang yang berisiko. Salah sedikit, nyawa taruhannya. Tidak heran kalau ibadah itu secara ekonomi dan sosial menempati struktur tertinggi, makanya para jamaah haji atau umrah dianggap harus diantar oleh keluarga dekat mereka. Bukan tidak mungkin, perjalanan ibadah itu akan jadi perjalanan terakhir mereka di muka bumi.
Saya ingat dulu di kampung bahkan ada satu keluarga yang memaksakan diri mengantar anggota keluarga mereka ke asrama haji dengan menumpang truk. Iya, truk! Mereka rela duduk berjejalan di bak truk hanya demi bisa mengantar anggota keluarga mereka yang akan pergi jauh.
Di Lombok saya juga menemukan satu keluarga yang duduk bersila di atas tikar di selasar bandara. Di tangan mereka ada piring-piring plastik berisi makanan, di tengah lingkaran ada rantang-rantang plastik berisi lauk pauk. Mereka adalah pengantar jamaah umrah yang menikmati sarapan setelah mengantar keluarga. Mereka menempatkan bandara seperti tempat piknik.
Kata seorang teman, di musim haji para pengantar itu bahkan bisa sampai menginap dan membangun tenda di bandara. Saya belum pernah menemukannya, tapi sepertinya itu masuk akal.
Alasan-alasan pengantar jamaah haji dan umrah itu bermacam-macam, dari kedekatan mereka sebagai keluarga, kerabat atau bahkan hanya tetangga sampai harapan agar suatu hari nanti mereka juga terpanggil untuk ke tanah suci. Dari sekadar mengantar, mereka berharap berkah yang sama juga akan jatuh kepada mereka. Kebiasaan ini menular dari mengantar jamaah haji kepada mengantar jamaah umrah.
Bulan April-Mei kata orang adalah bulan-bulan ramainya jamaah umrah ke tanah suci, jadi jangan heran kalau di bulan-bulan itu para pengantar akan menyemut dan memadati bandara. Penerbangan paling banyak yang digunakan adalah penerbangan pagi hari. Di waktu-waktu itulah kita akan menemukan banyak sekali jamaah umrah yang berangkat dari bandara, di belakang mereka juga ada ratusan orang lain yang sekadar mengantar dan melepas mereka.
Keberadaan mereka memang sedikit banyaknya membuat suasana bandara di pagi hari menjadi begitu sesak dan sedikit tidak nyaman. Beruntung para pengantar itu tidak diperbolehkan masuk hingga ruang tunggu, bisa dibayangkan bukan bagaimana sesaknya ruang tunggu kalau saja para pengantar boleh masuk? [dG]
Apa sekarang masih ada yang nganter sekampung mas?
masih mas, buanyak hahaha
Orang-orang yang mengantar berharap mendapatkan berkah, semoga bisa juga berkunjung ke Tanah Haram.
Saya pernah rasakan pergi tanpa ada keluarga yang antar, untung perginya sama orang tua. Tapi melihat orang lain diantar banyak keluarga, sempat menimbulkan rasa iri 😀
Btw, typo ki Daeng, harusnya sistem bukan sistim :p
bagaimanapun terasa juga harunya ya ketika diantar orang ramai-ramai hihihi
dan terima kasih untuk koreksinya 😀