Pulau Ratusan Bandara

Bandara Sentani yang Cantik
Bandara Sentani yang Cantik

Rasanya tidak ada pulau di Indonesia yang punya bandara sebanyak pulau Papua. Menurut Kompas, setidaknya ada 297 landasan udara?di seluruh Papua dan Papua Barat.

Ketika pertama mendarat di tanah Papua dua tahun lalu, tepatnya di Sorong saya belum sadar betapa banyaknya bandara yang ada di tanah Papua. Ketika itu saya masih fokus pada bandara Domine Eduard Osok kota Sorong yang menurut saya sangat sederhana. Tentu saja kala itu saya menggunakan bandara Sultan Hasanuddin sebagai patokan.

Terminal kedatangan bandara Domine Eduard Osok, Sorong

Bandara Domine Eduard Osok?memang sangat sederhana (waktu itu), terminal kedatangannya kecil dengan conveyor satu arah. Lain lagi terminal keberangkatannya, hanya sebuah ruangan besar tanpa sekat-sekat dan tanpa pendingin ruangan. Orang-orang boleh merokok dimana saja tanpa perlu masuk ke ruang khusus buat perokok seperti umumnya di bandara.

Dua tahun kemudian saya kembali menginjakkan kaki di tanah Papua, kali ini menuju Jayapura. Perjalanan dari Jayapura dari Makassar ditempuh selama kurang lebih 5 jam dengan sekali transit di Biak. Bandara Biak mengambil nama Frans Kaisepo, seorang tokoh dari tanah Papua sekaligus gubernur pertama mereka.

Bandara Frans Kaisepo lebih rapi dan modern dari bandara Eduard Domine, meski ?besarnya sepertinya masih sama. Setidaknya di bandara Frans Kaisepo Biak ada ruangan khusus untuk para perokok. Saya hanya mampir sekisar 30 menit, tidak terlalu lama menikmati bandara Frans Kaisepo. Tapi satu hal yang membuat saya cukup senang karena bandara kecil di Biak ini ternyata dilengkapi dengan wifi.

Bandara berikutnya yang saya datangi adalah bandara Sentani di Jayapura. Ketika menjejakkan kaki di tanah Papua saya langsung takjub pada pemandangan sekeliling. Di depan saya atau di belakang bandara berdiri tegak pegunungan Cyclops atau yang kerap disebut sebagai blue mountains. Arak-arakan awan tipis menutupi puncak pegunungan, memberi pemandangan yang menyejukkan di pagi ketika matahari baru saja bangun.

Bandara Sentani cukup besar dan ramai, maklum Jayapura adalah ibukota provinsi dan salah satu kota paling modern di pulau Papua. Bandara Sentani mengingatkan saya pada bandara Sultan Hasanuddin yang lama ketika masih berada di Mandai, Maros. Sayang, bandara ramai itu tidak dilengkapi dengan wifi plus ruangan merokoknya kotor minta ampun. Ini bukan kesalahan pihak bandara tentu saja, ini sepenuhnya salah para perokok yang dengan entengnya membuang abu dan puntung rokok di lantai.

Bandara terakhir yang saya datangi di Papua adalah bandara Rendani di Manokwari. Bandara ini juga tidak terlalu besar tapi cukup nyaman dan rapi. Bandara berlantai dua ini juga dikelilingi oleh perbukitan dengan pemandangan yang menakjubkan. Ketika tiba di pagi hari yang baru merekah saya langsung terbuai oleh pegunungan di sekelilingnya, ditambah birunya awan yang disiram cahaya matahari.

Bandara Rendani, Manokwari
Bandara Rendani dengan pegunungan indah yang mengepungnya

Bandara Rendani juga adalah bandara dengan keamanan paling longgar yang pernah saya datangi. Dua kali melewati metal detector, dua kali juga metal detectornya berbunyi. Di bandara lain ketika metal detector berbunyi para petugas akan segera memeriksa kita, tapi tidak di bandara Rendani. Dua kali saya melewati metal detector yang bersuara keras tapi tidak ada satupun petugas yang mendekat dan memeriksa. Petugas bandara asyik bercengkerama dengan sesama petugas, bahkan di pintu ruang tunggu hanya ada satu petugas yang berjaga dengan tugas utama mengecek tiket penumpang.

Saya sampai terheran-heran sendiri di bandara Rendani, membayangkan betapa mudahnya bila ada orang yang memang berniat jahat. Tapi meski kecil dengan airport tax yang hanya Rp. 10.000,- bandara Rendani punya kelebihan dengan akses internet yang gratis.

297 Landasan dan Banyak Penerbangan.

Menurut buku Ekspedisi Tanah Papua yang dikeluarkan Kompas tahun 2007, di seluruh Papua dulunya ada sekisar 400-an landasan pesawat terbang. Kini setelah ada sejumlah pembangunan infrastruktur jalan tinggal 297 lapangan udara yang beroperasi. Jumlah ini sangat besar menurut saya, bahkan mungkin yang terbesar di seluruh Indonesia.

Jumlah itu juga sangat masuk akal mengingat betapa luasnya Papua yang jadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Memang tidak semua landasan itu punya bandara, tapi setidaknya hampir di semua ibukota kabupaten di Papua punya bandara, besar maupun kecil. Sebut saja kota-kota seperti Fak-Fak, Kaimana, Sorong, Manokwari, Biak, Nabire, Wamena, Merauke, Pegunungan Bintang, Jayapura, Timika dan kota-kota lainnya. Mereka rata-rata punya bandara sendiri yang bahkan melayani penerbangan maskapai besar.

Selain maskapai besar seperti yang umum kita kenal, di Papua juga banyak maskapai lain yang memang melayani rute pendek dengan pesawat kecil. Di bandara kita akan menemukan nama-nama seperti Trigana atau Susi Air. Selain maskapai-maskapai itu ada juga maskapai khusus milik para misionaris yang melayani penerbangan non niaga ke pedalaman-pedalaman Papua. Ada dua perusahaan yang memiliki wilayah pelayanan terbanyak, mereka adalah Mission Aviation Fellowship (MAF) dan Associated Mission Aviation (AMA).

Kontur Papua yang didominasi gunung dengan luas yang sangat luar biasa itu memang membuat perjalanan darat terasa berat dan bahkan kadang sulit dibayangkan. Satu-satunya cara untuk mencapai daerah-daerah pedalaman adalah dengan menggunakan jasa penerbangan. Kesulitan moda transportasi ini juga sekaligus memengaruhi harga-harga kebutuhan barang pokok yang harus didatangkan menggunakan pesawat, jadi jangan heran kalau di satu daerah harga BBM bisa naik menjadi Rp. 60.000.-/liter.

Sampai sekarang saya masih penasaran bagaimana rasanya naik pesawat kecil sebangsa Cessna yang hanya memuat sedikit penumpang. Pasti rasanya berbeda dengan sensasi yang berbeda juga. Mungkin suatu hari nanti saya juga bisa mencicipi pengalaman menjelajahi tanah Papua dengan pesawat-pesawat kecil seperti itu. Semoga. [dG]