Lombok; 1000 Masjid dan Cerita-Cerita di Baliknya

Cerita tentang Pesona Seribu Masjid di Pulau Lombok yang memang terkenal sebagai Pulau 1000 Masjid.

KETIKA PERTAMA KALI KE LOMBOK, November 2015 ada satu pemandangan yang langsung menarik perhatian saya. Bukan pemandangan laut atau pantainya yang sudah kadung terkenal, tapi pemandangan puluhan masjid yang berjajar di jalan dalam perjalanan dari pelabuhan Lembar di Lombok Barat menuju Selong, Lombok Timur.

Ini pemandangan yang tidak saya sangka sebelumnya. Saya tahu kalau Lombok dihuni mayoritas muslim, tapi sebegitu banyak masjid? Itu yang tidak saya sangka.

“Lombok kan digelari Pulau 1000 Masjid,” kata Safprada, kawan yang menjemput saya hari itu.

Saya hanya mengangguk-angguk. Betapa sedikit pengetahuan saya tentang Lombok, bahkan julukan itupun baru saya dengar dari Safprada di hari pertama saya menginjakkan kaki di Lombok.

Dalam rentang setahun terakhir saya makin akrab dengan Lombok. Berkali-kali saya mendarat di sana, menghabiskan beberapa hari untuk bekerja dan pernah juga sambil berwisata. Julukan Pulau 1000 Masjid jadi semakin bisa saya resapi dan lihat buktinya.

Status Path saya ketika itu

 

pulau 1000 masjid
Salah satu masjid megah di daerah Masbagik, Lombok Timur

Sebenarnya tidak tepat juga kalau disebut Pulau 1000 Masjid, karena katanya jumlah masjid di Pulau Lombok bukan hanya 1000, tapi ada sekitar 5.400 masjid. Luas Pulau Lombok sendiri adalah 4.725 km2. Ini artinya dalam setiap 0.88 km2 ada satu masjid. Jumlah yang sangat besar kan?

Ini bisa saya benarkan. Jangankan per 0.88 km2, per 500 meter saja bisa dipastikan ada masjid. Apalagi di jalan poros antar kabupaten di luar kota Mataram. Mudah sekali menemukan masjid di tepi jalan. Rata-rata bukan masjid kecil, tapi masjid-masjid besar yang bisa menampung ratusan bahkan ribuan jamaan.

“Kadang jumatan itu sampai digilir. Misalnya Jumat ini masjid yang sana, Jumat depannya di masjid sebelahnya,” kata Baiq Titis, teman yang lain yang asli Lombok.

Infografis masjid di Lombok

*****

JULI 2016 SAYA KEMBALI KE LOMBOK untuk ketiga kalinya. Rupanya kedatangan saya kali ini bertepatan dengan pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional ke-26 yang dipusatkan di Lombok. Kota Mataram sebagai ibu kota Nusa Tenggara Barat tentu jadi pusat keramaian kegiatan itu.

Tiga malam di kota Mataram saya bisa merasakan aura MTQ. Di mana-mana mars MTQ berkumandang. Dari kantor-kantor pemerintahan sampai hotel tempat saya menginap. Saya bahkan secara tidak sadar bersenandung mengikuti irama mars tersebut justru ketika suasana sedang sepi. Mars MTQ sudah masuk ke alam bawah sadar saya. Sesuatu yang seperti memanggil-manggil kenangan masa kecil ketika stasiun televisi nasional baru ada TVRI, stasiun televisi milik pemerintah yang rajin menayangkan detail acara MTQ di setiap penyelenggaraannya.

Kemeriahan MTQ bukan hanya di pemutaran mars MTQ saja, setiap sudut kota Mataram dan kota-kota lain di sekitarnya ada pernak-pernik bernuansa MTQ. Entah itu ucapan selamat datang buat kontingen tamu, ataupun ucapan selamat bertanding buat kontingen NTB.

pulau 1000 masjid
Islamic Center Lombok dari kejauhan

 

Salah satu baliho MTQ di depan Islamic Center Lombok

Pegawai hotel tempat saya menginap semua mengenakan busana muslim dan muslimah, membuat mereka terlihat sangat anggun dan rupawan. Ini juga sekaligus menegaskan posisi Nusa Tenggara Barat pada umumnya dan Pulau Lombok pada khususnya sebagai destinasi utama wisata halal di Indonesia.

Baca juga kesuksesan Lombok mengelola Wisata Halal di sini

Karena menginap tak jauh dari Islamic Center Lombok, saya pun menyempatkan diri untuk datang ke sana, melihat langsung pelaksanaan MTQ dan persiapan acara pembukaan. Wuih! Jangan dibilang ramainya seperti apa. Tumpah ruah warga kota Mataram dan kota-kota lain di sekitarnya, sesak berkumpul di sekitar Islamic Center.

Masjid yang megah dan indah dengan kerlap-kerlip lampu beragam warna di malam hari itu begitu meriah. Nampak benar antusiasme warga Lombok menyambut pelaksanaan MTQ di tanah mereka.

*****

“NAH, INI NAMANYA KEDIRI PAK EPUL. Kota ini juga dikenal sebagai kota santri,” kata pak supir yang menjemput saya di bandara. Kami dalam perjalanan menuju Lombok Utara dan melewati daerah Kediri. Dia menyebut nama saya dengan huruf “E” di depan dan pengucapan huruf “T” yang khas orang Lombok.

Saya melemparkan pandangan ke luar. “Ternyata ada Kediri juga di Lombok,” batin saya.

Di jalan beberapa pria muda belasan tahun berlalu lalang dengan kemeja putih, sarung dan kopiah di kepala. Rombongan lainnya adalah wanita-wanita muda dengan baju kurung dan rok panjang dengan kepala yang ditutupi jilbab lebar. Rata-rata berwarna putih. Benar-benar gambaran santri yang sederhana dan menentramkan jiwa yang menatapnya.

Suasana di kota santri, asik senangkan hati.

Tiba-tiba syair lagu “Suasana di Kota Santri” yang dibawakan Anang Hermansyah dan Krisdayanti (lalu dibawakan ulang bersama Ashanti) itu terngiang di kepala. Saya yakin lagu itu pasti diciptakan berdasarkan kisah nyata, karena saya bisa merasakanya sendiri meski hanya melintas di kota santri Kediri, Lombok.

Beberapa bulan sebelumnya dalam kunjungan kedua saya ke Pulau Lombok, urusan pekerjaan mengharuskan saya mendatangi sebuah pesantren di Lombok Utara. Pesantren Isti’daduddarain namanya. Dalam bahasa Arab nama itu berarti mempersiapkan jalan ke dua dunia. Letaknya di Dusun Orong Lamput, Desa Medane, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.

Kami –saya dan teman-teman sejawat- menemui Lalu Wildan, pendiri dan pemimpin pondok pesantren itu. Dari beliau kami bisa belajar banyak hal. Tentang kesederhanaan, tekad lurus menyebarkan ilmu agama dan kelenturan mereka mengikuti perubahan jaman.

Suasana belajar di Pesantren Isti’daduddarain

Mereka pondok pesantren yang luar biasa menurut saya. Mereka mau menerapkan teknologi alternatif memanfaatkan kotoran manusia untuk diubah menjadi gas yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dari keperluan memasak hingga penerangan. Mereka tidak menutup diri dari perubahan jaman dan hanya fokus pada ilmu agama, tapi juga mau beradaptasi dengan perubahan itu. Mereka memberi bukti bahwa beragama itu bukan hanya berarti menyayangi sesama manusia, tapi juga menyayangi bumi. Meski langkah mereka masih tergolong kecil, tapi mereka sudah bertindak, melakukan sesuatu yang bisa membantah anggapan kalau pesantren itu kolot atau ketinggalan jaman.

Pertemuan dengan Lalu Wildan dan pengurus serta murid-murid pesantren Isti’daduddarain membuat saya yakin kalau Lombok bukan hanya Pulau 1000 Masjid. Lombok lebih dari itu.

*****

SAYANGNYA HINGGA HARI INI saya belum pernah menikmati Ramadan di Pulau Lombok. Padahal saya ingin sekali merasakan bagaimana ramainya Ramadan di Pulau 1000 Masjid itu. Saya membayangkan di waktu sahur, suara-suara membangunkan dari masjid-masjid yang berdekatan itu pasti akan saling bersahut-sahutan. Belum lagi alunan ayat suci Al Quran yang akan terus berkumandang di setiap waktu sholat, atau bahkan mungkin sepanjang hari.

Tiba-tiba saya ingat cerita Ibu Magdalena. Beliau warga Spanyol yang suaminya bekerja sebagai pilot di Indonesia. Suatu hari mereka berlibur berdua ke Lombok, tepat di bulan Ramadan. Sekitar pukul 3:00 dinihari terdengar suara membangunkan sahur yang bersahut-sahutan dari masjid yang ada di sekitar hotelnya.

Kisah ibu Magdalena pernah saya tuliskan di sini

Ibu Magdalena kaget luar biasa. Dilihatnya jam masih menunjukkan pukul 03:00 dinihari dan dia pun tidak mengerti kalimat-kalimat yang diteriakkan oleh masjid-masjid itu.

I know Moslem always pray at 5:00 o’clock. But it just 3:00 o’clock. I thought it was a tsunami alert,” katanya. Dia tahu kalau muslim pasti akan bangun untuk sholat pukul 5:00 subuh, tapi teriakan di pukul 3:00 dinihari yang tak dimengertinya itu dikiranya teriakan peringatan tsunami.

Dia baru tenang ketika menelepon ke resepsionis dan dijelaskan tentang suara gaduh dari masjid di pukul 03:00 dinihari itu. Akhirnya dia bisa tidur kembali dengan tenang.

Ibu Magdalena tertawa ketika menceritakan kisah itu, pun dengan saya. Terbayang bagaimana paniknya dia ketika beberapa masjid bersamaan membangunkan sahur dengan pengeras suara. Syukurlah dia tidak merasa terganggu bahkan merasa menemukan keunikan di negeri muslim yang baru dia datangi.

Saya iri pada Ibu Magdalena. Dia sudah pernah merasakan sendiri suasana Ramadan di Pulau Lombok meski dia bukan muslim. Dalam hati saya bertanya-tanya, “Kapan ya saya bisa menikmati Ramadan di Lombok?”

Tahun 2017 sudah berjalan setengah dan di tahun ini baru sekali saya kembali ke Lombok. Pesona seribu masjid itu rasanya sudah memanggil-manggil, bersamaan dengan beragam kuliner khas Lombok yang selalu menggoda selera selain tentu saja pesona alamnya yang luar biasa. Mudah-mudahan saja umur saya masih dipanjangkan dan saya bisa kembali ke Lombok. Mungkin menikmati Ramadan tahun depan di Lombok? Aminn. [dG]

Catatan: tulisan ini diikutkan dalam lomba blog “Pesona Ramadan di Lombok dan Sumbawa” yang diadakan oleh GenPi Nusa Tenggara Barat. Semua kisah di atas berdasarkan pengalaman pribadi.