Cara Papua Melawan Covid-19



Covid-19 pun akhirnya masuk Papua. Pemerintah provinsi mengambil langkah cepat menangkal merebaknya Covid-19.

Sampai hari ini, virus Corona masih jadi momok buat masyarakat di dunia. Termasuk juga Indonesia. Sudah tiga pekan lebih pemerintah menganjurkan warga untuk tetap di rumah saja. Sejak pekan lalu, DKI Jakarta sudah mulai masuk ke dalam status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertujuan menekan laju penyebaran Covid-19. Korban masih terus berjatuhan, usaha pun masih terus dilakukan.

Pemerintah Provinsi Papua langsung merespon masifnya pergerakan virus ini. Tanggal 26 Maret 2020 lalu, Gubernur Papua, Lukas Enembe langsung memerintahkan menutup semua akses bandara dan pelabuhan di 29 Kabupaten/Kota di Papua. Tidak boleh ada orang masuk dan keluar. Penerbangan antar daerah dalam Provinsi Papua juga ditutup. Perpindahan orang dibatasi. Bandara dan pelabuhan hanya dibuka untuk barang atau kargo, itupun dengan pengawasan yang ketat.

Perintah ini menyusul munculnya temuan pasien positif Covid-19 di Papua. Pemerintah Papua bertindak cepat sebelum virus itu semakin menyebar.

Saya bisa maklum dengan keputusan ini. Papua tidak punya fasilitas kesehatan sebagus provinsi lain di Indonesia. Jumlah tenaga kesehatannya pun tergolong minim, tidak berimbang dengan jumlah warga. Selain itu, sebagian warga Papua juga punya masalah di pengetahuan. Mereka tidak akan bisa langsung paham bahayanya virus ini. Tambahan lagi, orang Papua itu sangat komunal. Mereka tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Selalu bersama dengan kawanannya. Ini menjadi sarana paling nyaman buat virus Corona menyebar.

Jadi, ketika Gubernur Papua menutup jalan keluar-masuk Jayapura dan membatasi pergerakan individu antar kabupaten, itu adalah hal yang masuk akal buat saya. Meski Mendagri Tito Karnavian secara terang-terangan menyatakan tidak setuju dengan keputusan itu, tapi Lukas Enembe jalan terus. Tanggal 9 April, penutupan itu bahkan diperpanjang sampai 6 Mei 2020.

Gerak Cepat Tiap Kabupaten.

Kabupaten-kabupaten di Papua juga tidak tinggal diam melawan penyebaran Covid-19. Tiap-tiap kabupaten mengalokasikan dana dan tenaga untuk membuat gugus tugas yang bergerak cepat. Sosialisasi sampai aturan dibuat, termasuk aturan untuk menjaga jarak dan tidak berkumpul.

“Pasar itu sekarang cuma sampai jam dua saja. Abis itu disuruh bubar, ada polisi sama Satpol PP yang jaga,” kata seorang bapak di Paniai yang saya telepon.

“Berat juga pak, soalnya kita orang Papua ini kan kalau ketemu tidak baik kalau tidak salaman. Biasa baku peluk-peluk juga kalau ketemu teman,” sambungnya lagi.

Iya sih, setahu saya orang Papua itu memang hangat bila bertemu teman. Selain jabat tangan erat, mereka juga kerap saling rangkul dengan hangat. Kebiasaan ini pasti susah dilarang, meski kondisinya seperti sekarang. Belum lagi soal pasar. Pasar di daerah pegunungan selalu jadi tempat berkumpul warga meski mereka tidak berbelanja. Sekadar bertemu kenalan, lalu mengobrol sepanjang hari. Seperti kita orang kota yang ke mall.

Tidak heran kalau usaha untuk mengurangi keramaian dan interaksi sosial memang berat.

Paniai setahu saya sudah bergerak cukup cepat juga untuk melakukan sosialisasi menangkal Covid-19. Pemerintah daerah membuat beberapa poster berisi sosialisasi kebersihan yang dipasang di tempat strategis, begitu juga dengan petugas yang sesekali berkeliling memantau. Bupati Paniai sendiri yang aslinya memang seorang pilot, bahkan sudah menyiapkan pesawat pribadinya untuk mengantar bantuan alat kesehatan ke daerah pegunungan bila dibutuhkan. Dan dia bersedia menyupirinya sendiri.


Materi sosialisasi yang digunakan Pemda Paniai

Jayapura sendiri lewat arahan dari Walikota Jayapura sudah mulai memberlakukan pembatasan sosial. Rumah makan, toko, dan semua kegiatan perekonomian diminta tutup mulai sore hari. Warga dilarang berkumpul, dan dianjurkan untuk tetap di rumah. Imbauan ini sudah mulai dijalankan sejak dua pekan lalu.

“Kita mau tutup pak,” kata seorang penjaga warung makan yang saya sambangi di sore hari. “Kalau malam ada petugas yang jalan keliling. Kalau masih ada yang buka, disuruh tutup,” sambungnya lagi.

Di malam hari, Jayapura sudah seperti kota mati. Tidak ada aktivitas di luar rumah, semua toko dan warung tutup.

Sampai hari Kamis, 15 April ini di Jayapura sudah ada 23 penderita Covid-19. Sudah 15 orang yang dirawat, 5 orang sembuh, dan 3 orang meninggal dunia. Jumlah penderita di Jayapura memang paling tinggi se-Papua. Total sampai tanggal 15 April sudah ada 68 penderita di seluruh Papua dengan total yang meninggal sebanyak 7 orang. Sedihnya karena di daerah pegunungan seperti Jayawijaya dan Mamberamo Tengah pun sudah ada korban positif Covid-19. Saya takut virus ini sudah menyebar jauh di pegunungan sebelum bisa benar-benar terdeteksi karena minimnya sarana kesehatan.


Data penderita Covid-19 di Papua per 15 April 2020

Mudah-mudahan saja tidak.

****

Saat ini, semua daerah di Indonesia memang sedang fokus mengusir Covid-19 dan merawat mereka yang sudah terlanjur terinfeksi. Tenaga medis bekerja keras, pemerintah pun terus mencari cara dan jalan. Warga seperti kita tidak bsia berbuat banyak selain menjaga diri dan lingkungan. Menjaga kebersihan, meningkatkan imun tubuh, dan mengurangi aktivitas di luar. Menjaga diri dan menjaga orang lain.

Semoga saja wabah ini cepat pergi, atau cepat ditemukan obatnya. Agar kita bisa kembali hidup tenang seperti biasa. Sambil menunggu masa itu tiba, kita biarkan dulu bumi bernapas dan sejenak beristirahat dari tamaknya manusia. [dG]