Membaca Lirik 5 Lagu Iwan Fals



Membicarakan lima lagu Iwan Fals yang liriknya bermakna sangat dalam. Dari fenomena sosial sampai kritikan pada pemerintah.

Anak-anak yang lahir tahun 2000an mungkin agak asing dengan nama Iwan Fals. Mungkin pernah mendengar, tapi tidak terlalu akrab. Hanya sepintas saja. Mungkin juga tahu banyak karena pergaulan mereka dengan generasi yang lebih tua. Generasi yang masa mudanya dilewatkan dengan nama besar seorang penyanyi bernama Iwan Fals.

Generasi yang lebih dulu lahir dari mereka pasti sangat akrab dengan nama Iwan Fals. Tidak perlu tahu semua judul lagunya, tapi mendengar namanya saja mereka sudah tahu. Seorang penyanyi besar dan sudah masuk dalam kategori living legend. Seorang lelaki yang lagunya punya lirik yang tajam. Tentang kehidupan orang terpinggirkan, tentang fenomena sosial, sampai tentang ketidakadilan. Lirik lagunya tajam, kadang nakal. Dulu, setidaknya ketika dia masih muda dan masih sering turun ke jalan.

Akhir-akhir ini saya banyak mendengarkan kembali lagu-lagu Iwan Fals, utamanya lagu dari zaman 90an ke belakang. Lagu dengan lirik yang masih tajam ketika dia masih lebih muda dari sekarang. Ada beberapa lagu yang paling saya suka. Sebagian bercerita tentang fenomena sosial, tentang orang terpinggirkan, dan sebagian tentang kritikan tajam pada keadaan.

Mari kita bahas satu-satu.

Pertama, Doa Pengobral Dosa (dari album Sarjana Muda, 1981). Lagu ini berkisah tentang jeritan hati seorang PSK kelas bawah yang mangkal di stasiun kereta. Liriknya dimulai dengan kalimat seperti ini:

Di sudut dekat gerbong/ Yang tak terpakai/  Perempuan ber make up tebal/ Dengan rokok di tangan/ Menunggu tamunya datang

Lirik ini jelas menggambarkan suasana sebuah kawasan stasiun dengan beberapa gerbong tak terpakai yang dulu memang biasanya jadi tempat mangkal para PSK kelas bawah. Di lagu ini, Iwan Fals tidak hendak menghakimi siapapun. Tidak menghakimi si PSK, tidak juga si pengguna jasa. Tidak seperti di lagu Kupu-Kupu Malam milik Titiek Puspa yang jelas-jelas mempertanyakan apakah mereka yang menggunakan jasa PSK itu adalah orang yang lebih suci?

Di lagu ini Iwan Fals lebih memilih untuk berbicara tentang realita dengan si PSK sebagai tokoh utamanya. Dia memotret sisi lain dari kehidupan masyarakat bawah yang tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup, sampai harus menggadaikan tubuhnya. Lagu ini ditutup dengan lirik lirih nan menyanyat hati:

Habis berbatang batang/ Tuan belum datang/ Dalam hati/ Resah menjerit bimbang/ Apakah esok hari/ Anak-anakku dapat makan/ Oh Tuhan beri setetes rezeki.

Dalam hati yang bimbang berdoa/ Beri terang jalan anak hamba/ Kabulkanlah Tuhan.

Saya membayangkan keresahan seorang perempuan yang terpaksa melakukan itu demi menyambung hidup. Demi bisa memberi makan anak-anaknya. Namun, dalam hati yang paling dalam dia masih tetap berdoa semoga anaknya diberi jalan terang. Benar-benar doa seorang pengobral dosa.

Kedua, Ambulan Zig Zag (Album Sarjana Muda, 1981). Lagu berirama country ini dibuka dengan adegan seorang nyonya gemuk bergelimang perhiasan yang diantar ambulan ke rumah sakit. Paramedis berdatangan kerja cepat membawa si nyonya gemuk itu ke r uang periksa.

Deru ambulan memasuki pelataran rumah sakit yang putih berkilau/ Didalam ambulan tersebut tergolek sosok tubuh gemuk bergelimang perhiasan/ Nyonya kaya pingsan mendengar kabar putranya kecelakaan/ Dan para medis berdatangan kerja cepat lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa/ Tanpa bahas sana bahas sini mungkin sudah terbiasa.

Pembukaan yang sangat bagus. Lalu, cerita berlanjut. Tak lama berselang sebuah helicak datang membawa seorang korban berkain sarung. Helicak adalah kendaraan transportasi umum di Jakarta sekitar tahun 70an. Sekarang mungkin menyerupai bentor- becak motor. Diceritakan si pasien yang dibawa helicak itu terluka karena pangkalan bensin ecerannya meledak.

Namun, berbeda dengan penanganan pada pasien nyonya gemuk bergelimang perhiasan yang dibawa ambulan tadi, pasien berkain sarung yang dibawa helicak penangannya justru diawali dengan pertanyaan dan saran untuk membayar ongkos pengobatan di depan.

Suster cantik datang mau menanyakan dia menanyakan data si korban/ Dijawab dengan jerit, kesakitan/ Suster menyarankan bayar ongkos pengobaatan/ Aih sungguh sayang korban tak bawa uang/ Suster cantik ngotot lalu melotot dan berkata silahkan bapak tunggu di muka/ Hei modar aku hei modar aku jerit si pasien merasa diremehkan.

Lagu ini jelas menggambarkan ketimpangan sosial yang begitu nyata. Bahkan pelayanan rumah sakit pun dibedakan menurut dandanan pasien dan kendaraan yang membawanya. Sungguh tajam!


Iwan Fals di cover majalah Times 2002

Ketiga, Celoteh Camar Tolol & Cemar. (Album Sumbang, 1983). Lagu ini dibuka dengan latar suara burung camar dan ombak. Lalu petikan gitar lirih mengantarkan kita pada salah satu kisah paling pedih dalam sejarah transportasi laut Indonesia.

Api menjalar/ Dari sebuah kapal/ Jerit ketakutan/ Keras melebihi gemuruh gelombang/ Yang datang
Sejuta lumba-lumba/ Mengawasi cemas/ Risau camar membawa kabar/ Tampomas terbakar/ Risau camar memberi salam/ Tampomas dua tenggelam

Lagu ini memang berkisah tentang tenggelamnya kapal Tampomas II di perairan Masalembo dalam perjalanan antara Tanjung Priok – Ujung Pandang 24 Januari 1981. Ratusan orang menjadi korban, termasuk sang kapten kapal Abdul Rivai. Tapi bukan cuma itu yang ingin diceritakan di lagu ini. Di bagian akhir, ketika lagu mulai berubah menjadi lebih jenaka, Iwan Fals menyelipkan kalimat:

 (Tampomas)/ Sebuah kapal bekas/ (Tampomas)/ Terbakar di laut lepas/ (Tampomas)/ Itu penumpang terjun bebas/ (Tampomas)/ Beli lewat jalur culas/ (Tampomas)/ Hati siapa yang tak panas/ (Tampomas)/ (Tampomas)/ Kasus ini wajib tuntas/ (Tampomas)/ Koran-koran seperti amblas/ (Tampomas)/ Pahlawanmu kurang tangkas/ (Tampomas)/ Cukup tamat bilang nahas

Iwan Fals menyoroti tentang tudingan kasus pembelian Tampomas II yang ditengarai dibeli lewat jalur culas. Kapal bekas yang kemudian dimodifikasi berkali-kali hingga dianggap layak pakai, namun akhirnya terbukti mengabaikan banyak aspek keselamatan dan mengorbankan ratusan nyawa.

Berawal dari kisah sedih, dan berakhir dengan kritikan tajam. Itulah Iwan Fals.

Keempat, Kereta Tiba Pukul Berapa (Album Sumbang, 1983). Lagu ini sebenarnya termasuk lagu ringan dari Iwan Fals. Bercerita tentang pesan seorang teman yang minta dijemput di stasiun kereta. Tapi, meski terkesan ringan lagu ini ternyata menceritakan secara satir dua fenomena sosial yang sangat lazim kala itu. Simak lirik di bawah ini:

Kupacu sepeda motorku/ Jarum jam tak mau menunggu/ Maklum rindu/ Traffic light aku lewati/ Lampu merah tak peduli/ Jalan terus (asyik)/ Di depan ada polantas/ Wajahnya begitu buas/ Tangkap aku/ Tawar-menawar harga pas tancap gas.

Well, terasa tidak asing bukan? Lirik ini menggambarkan fenomena seringnya kita tawar menawar dengan oknum polantas saat tertangkap tangan melanggar aturan. Sesuatu yang – eheum – sangat biasa di negeri kita.

Lalu lirik satir lainnya ada di bagian berikutnya. Liriknya seperti ini:

Sampai stasiun kereta pukul setengah dua/ Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga/ Kereta tiba pukul berapa?/ Biasanya kereta terlambat/ Dua jam mungkin biasa.

Terlambat dua jam, dan itu adalah hal yang biasa. Sebuah gambaran bagaimana soal ketepatan waktu di Indonesia itu adalah hil yang mustahal. Setidaknya saat itu. Untunglah sekarang kereta sudah jauh lebih bagus. Mulai dari fasilitas sampai ketepatan waktunya.

Lagu ini benar-benar lagu ringan yang sindirannya halus. Bahkan saat saya masih kecil pun (SMP kira-kira) saya sudah begitu kagum pada cara Iwan Fals menyindir realita sosial saat itu.

Kelima, Surat Buat Wakil Rakyat (Album: Wakil Rakyat 1987). Ini lagu legenda, lagu yang liriknya tidak akan lekang dimakan usia. Masih sangat relevan bahkan 33 tahun setelah dirilis. Karena judulnya adalah surat buat wakil rakyat, maka lagu ini dibuka dengan lirik:

Untukmu yang duduk sambil diskusi/ Untukmu yang biasa bersafari/ Di sana, di gedung DPR

Sebuah penggambaran yang benar-benar menggambarkan wakil rakyat di gedung DPR. Di masa itu, wakil rakyat memang selalu tampak bersafari. Baju yang sangat lekat dengan para pejabat dan penguasa di zaman Orde Baru.

Lagu ini seperti memang seperti sebuah surat yang mengalir. Diawali dengan salam, lalu diteruskan dengan pengantar.

Saudara dipilih bukan dilotre/ Meski kami tak kenal siapa saudara/ Kami tak sudi memilih para juara/ Juara diam, juara he-eh, juara hahaha.

Lalu diteruskan dengan inti surat,

Di hati dan lidahmu kami berharap/ Suara kami tolong dengar lalu sampaikan/ Jangan ragu, jangan takut karang menghadang/ Bicaralah yang lantang, jangan hanya diam!

Wakil rakyat seharusnya merakyat/ Jangan tidur waktu sidang soal rakyat/ Wakil rakyat bukan paduan suara/ Hanya tahu nyanyian lagu “setuju”

Duh! Sungguh lagu yang sangat menohok. Menohok bila para wakil rakyat itu memang punya hati. Lagu yang sangat relevan setiap kali pemilihan umum digelar. Sebenarnya bukan hanya saat pemilihan umum, tapi setiap saat. Sampai hari ini pun kita kadang masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya dilakukan oleh para wakil rakyat kita di gedung DPR sana? Benarkah mereka mewakili suara kita, atau hanya suara partai dan orang di kubu mereka saja?

Di luar lima lagu itu ada puluhan lagu lainnya yang sama tajamnya mengkritik, sama jernihnya menceritakan realitas kesenjangan sosial. Tapi saya pilih lima itu saja sebagai perwakilan.

****

Membicarakan lirik-lirik di lagu milik Iwan Fals tak akan ada habisnya. Dia maestro, dia sangat pandai memotret beragam fenomena sosial di zamannya. Beberapa di antaranya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Iwan Fals punya kepekaan sosial yang tinggi, dia tahu bagaimana menyuarakan suara-suara dari pinggiran. Jadi tidak heran kalau banyak orang yang menganggapnya sebagai legenda, bahkan sebagai dewa.

Sekarang dia memang sudah tua. Teriakannya sudah tidak segarang dulu. Dia tidak lagi sering hidup di jalan menyesap keresahan atau kegelisahan orang pinggiran. Tapi, dia pernah melakukannya jauh sebelum orang lain melakukannya. Dulu dia berteriak nyaris sendirian. Sekarang, semua orang bisa berteriak dengan bebas. Kapan saja, di mana saja. Semua orang bisa mengkritik, bahkan memaki. Bebas. Tidak seperti saat Iwan Fals melakukannya nyaris sendirian, puluhan tahun lalu. [dG]