Mengintip Ke Dalam Honai

Setelah sekian lama, akhirnya saya punya kesempatan mengintip ke dalam honai. Rumah khas orang gunung Papua.


honai
Honai di lereng bukit

DARI TEKS PELAJARAN ZAMAN SD di tahun 80an, saya -dan sepertinya banyak dari kita- diberitahu kalau rumah khas orang Papua adalah honai. Selama bertahun-tahun, informasi itu saya percayai sepenuhnya. Berpikir kalau semua orang Papua tinggal di honai. Mungkin seperti semua orang Minang punya rumah tradisional bernama rumah gadang. Atau orang Toraja punya rumah tradisional bernama tongkonan.

Baru-baru ini saja saya akhirnya tahu kalau tidak semua orang Papua tinggal di honai. Orang pesisir tidak punya honai. Rumah tradisional mereka berbeda sama sekali dengan honai yang adalah rumah tradisional orang Papua yang tinggal di pegunungan.

Orang Asmat tinggal di rumah tradisional yang bernama jew atau rumah panjang. Bentuknya sekilas mirip dengan rumah panjang orang Dayak, kecuali bahwa tinggi sebuah jew tidak setinggi rumah panjangnya orang Dayak. Di dalamnya juga tidak ada sekat ruangan, hanya sebuah ruang lapang yang menampung beberapa orang yang tinggal di sana.

Lalu bagaimana dengan honai?

Setelah bolak-balik Papua beberapa kali dan tinggal di Papua hampir sepanjang tahun 2018 ini, saya akhirnya punya kesempatan untuk mendekati dan masuk ke dalam sebuah honai. Sesuatu yang sudah membuat saya penasaran sekian lama. Kesempatan ini datang ketika saya berkunjung ke Lanny Jaya untuk kedua kalinya akhir bulan September kemarin.


Bersama seorang mama di depan ebeai

Orang Lani seperti juga orang Dani memang tinggal di honai, sama seperti orang pegunungan Papua lainnya. Mereka tinggal berkelompok dalam sebuah wilayah yang luas dan lapang dengan sedikitnya tiga honai di dalamnya. Biasanya kumpulan honai ini dikelilingi pagar kayu dengan bagian atas yang ditumbuhi semak, kadang juga bunga.  Tanah lapang kehijauan terhampar di dalam kawasan berpagar itu. Sementara di satu sisi ada pintu masuk yang ditandai dengan undakan tidak seberapa tinggi, mungkin hanya sekira 50 cm.

Meski sama-sama orang pegunungan, tapi saya melihat ada perbedaan besar antara karakter orang Lani yang lebih lembut dibanding karakter orang Paniai yang lebih keras.

Oh iya, kembali ke cerita tentang honai. Secara harfiah, honai berarti rumah lelaki. Berasal dari dua kata; hun yang berarti lelaki dewasa dan ai yang berarti rumah. Jadi honai bisa berarti rumah bagi lelaki dewasa. Untuk perempuan, rumah mereka dinamakan ebeai, sementara satu lagi adalah wamai atau rumah khusus untuk binatang peliharaan (dalam hal ini babi). Jadi di dalam satu kawasan itu, setidaknya ada tiga bangunan ini yang berdiri.

Karena secara harfiahnya artinya “rumah lelaki dewasa”, maka yang boleh tinggal di dalam honai memang hanya lelaki dewasa. Anak lelaki untuk sementara tinggal bersama ibu mereka di ebeai sebelum dianggap cukup dewasa untuk tinggal di dalam honai. Pengakuan itu datang setelah melewati satu proses inisiasi.


Satu kawasan dengan pemandangan yang aduhai

Disain honai (serta ebeai dan wamai) memang sangat cocok untuk daerah pegunungan yang dingin. Dindingnya terbuat dari bilah kayu yang dipasang rapat dengan bentuk bulat, sementara di bagian tengah ada tiang utama yang jadi penyangga atap. Atapnya sendiri terbuat dari jerami yang dipasang rapat untuk menghindarkan masuknya air hujan. Di satu sisi ada pintu masuk yang sangat rendah, mungkin hanya setinggi 120 cm sehingga orang seperti saya yang tingginya hampir 180cm terpaksa membungkuk. Tidak ada jendela di dalam honai, tentu supaya udara dingin tidak ikut masuk.

Di tengah honai ada tungku yang dipakai untuk memasak atau menyalakan api di malam hari. Selain sebagai penerangan, api itu juga berfungsi untuk mengusir udara dingin dan nyamuk. Karena tidak ada jendela maka bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam honai dengan asap yang menggerombol.

Bagian dalam honai

“Kalau ko su tidak batuk, itu artinya ko su tidur nyenyak,” kata seorang kawan yang pernah tidur di dalam honai.

Lantai honai hanya terbuat dari jerami yang sekaligus juga menjadi kasur para penghuninya. Mereka tidur di atas kasur dari jerami itu. Sementara untuk ebeai, mereka tidur di lantai dua yang terbuat dari kayu yang dihubungkan satu sama lain. Saya tidak sempat melihat ke dalam ebeai, jadi tidak bisa melihat langsung bagaimana bentuk lantai duanya. Di bagian dalam honai yang saya lihat memang ada dua lantai, tapi lantai dua hanya diisi kayu bakar. Di beberapa suku, honai ini juga diisi dengan alat perang atau benda-benda keramat buat suku mereka.

Suami-Istri Tinggal Terpisah

DALAM SATU HONAI, penghuninya bisa beragam antara 5-10 orang. Mereka adalah satu keluarga yang terikat hubungan darah atau hubungan pernikahan. Sebagian besar suku di Papua memang sangat memegang teguh sistim kekerabatan ini. Mereka akan tinggal berkelompok dalam satu kawasan. Hanya saja ada pemisah antara tempat tinggal laki-laki dan perempuan. Pemisah ini juga berlaku untuk suami – istri yang sudah menikah.

“Terus, kalau sudah menikah tetap tidak bisa tinggal satu honai?” Tanya saya pada seorang pria yang duduk manis di depan honai.

“Tidak,” jawabnya singkat dengan senyum lebar.

“Terus, kalau mau ketemu bagaimana?” Tanya saya. Saya harap dia mengerti “ketemu” seperti apa yang saya maksud.

Dia tertawa lebar memperlihatkan giginya yang tersapu warna merah dari sirih pinang. “Yaa mereka masuk satu rumah kalau tidak ada orang,” jawabnya.


Lingkungan dengan beberapa honai dan ebeai

Saya tidak bertanya lebih lanjut tentang ritual pertemuan suami dan istri itu. Tapi memang dari yang saya dengar, mereka yang ingin menuntaskan hasrat itu harus pintar mencari celah ketika tidak ada orang di sekitar honai, misalnya ketika semua orang sedang sibuk di kebun. Saat itulah mereka menyusup ke dalam honai atau ebeai dan yah, berhubungan layaknya suami-istri.

Repot juga ya, kata saya dalam hati.

*****

SAMPAI SEKARANG, HONAI MASIH SANGAT MUDAH ditemui di pegunungan tengah Papua bagian timur. Sepanjang jalan Wamena-Lanny Jaya, mata kita mudah menemukan kawasan dengan beberapa honai. Baik itu di tepi jalan maupun di lereng bukit. Beberapa honai bahkan berdiri di depan dan di belakang rumah kayu yang berarsitektur moderen.

“Biasanya begitu memang. Dong su punya rumah bagus, tapi kalau tidur tetap di dalam honai. Hangat toh,” kata seorang kawan perjalanan dari Jayapura.


Ada rumah moderen, tapi mereka lebih suka tidur di honai ketika malam tiba

Saya mengangguk. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah dicecap berabad-abad, turun temurun. Kebiasaan yang memang sudah teruji oleh pengalaman dan sudah paling pas dengan kondisi mereka. Hanya saja, mereka mungkin perlu mencari cara untuk membuat honai lebih sehat. Kurangnya penghawaan membuat banyak penghuninya terkena ISPA. Setiap malam tidur dengan asap, tentu bukan sesuatu yang bagus. Apalagi bila pola hidup mereka sudah tidak seperti nenek moyang mereka lagi.

Bagaimana? Kalian penasaran masuk ke dalam honai? [dG]

Update: di dekat honai tempat saya berfoto itu, beberapa minggu kemudian seorang tukang ojek ditembak oleh “tiga huruf” karena dianggap mata-mata aparat.