Maluku 2; Jalan Panjang ke Sawai

Pelabuhan Tulehu di pagi hari
Pelabuhan Tulehu di pagi hari

Lanjutan dari bagian pertama, perjalanan ke Maluku.

MATAHARI MULAI BANGUN. Sinarnya hangat menyiram bumi. Air laut tenang, sesekali riak ombak kecil menjilati dinding penahan pelabuhan. Tiga kapal kayu besar bersandar di pelabuhan Tulehu, beberapa pria sibuk beraktifitas di atas kapal kayu itu. Ada yang mengepel, ada yang memperbaiki jaring, ada juga yang sesekali membuang air ke laut. Angin membawa suara mereka dari kejauhan. Di atas lautan, burung-burung camar terbang kesana-kemari, sesekali menukik ke laut. Di daratan, burung-burung merpati juga terbang kesana-kemari, sesekali mendarat di tanah yang tertutup paving block.

Pelabuhan belum beroperasi, loket tiket masih tertutup. Beberapa ibu-ibu di luar pelabuhan sedang menyiapkan lapak dagangan mereka. Di depan pelabuhan berjejer bangunan semi permanen bertiang kayu tanpa dinding dan ditutupi atap seng. Mereka menjajakan makanan dan minuman sederhana buat para penumpang yang sebentar lagi akan ramai. Ada nasi kuning, kue-kue kecil serta teh dan kopi instan.

Kapal nelayan yang bersandar di pelabuhan Tulehu

Kami memilih satu warung yang dijaga seorang ibu berbadan gemuk berdaster kembang-kembang. Dua porsi nasi kuning lauk ikan cakalang dan dua gelas teh manis panas kami minta. Sekadar mengganjal perut sebelum memulai perjalanan jauh.

Pagi itu kami berencana memulai perjalanan jauh menuju Sawai yang berada di sebelah utara pulau Seram. Perjalanan akan dimulai dari pelabuhan Tulehu, menyeberang dengan kapal cepat menuju Amahai (dibaca Amahei). Kapal cepat bernama Cantika Torpedo itu akan membutuhkan waktu dua jam melewati dua pulau besar; Haruku dan Saparua sebelum bersandar di Amahai.

Dari Amahai kami masih harus menumpang angkot menuju Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah. Dari Masohi perjalanan masih dilanjutkan lagi dengan menumpang angkutan umum sejenis Avanza menuju Sawai yang berada di sebelah utara pulau Seram. Jelas bukan perjalanan mudah, kami taksir kisaran waktunya total sekitar 6 jam.

*****

“EH, OSE TAU KAH SENG?” Ibu gemuk pemilik warung tempat kami sarapan rupanya sangat hobi bergosip. Tak terhitung berapa kali dia berbincang dengan ibu warung sebelah dengan nada yang cepat dan suara yang dipelankan. Entah apa yang digosipkannya, saya sulit menangkap kata-katanya yang menggunakan logat daerah yang cepat.

Tadinya kami berencana selepas sarapan akan kembali ke penginapan dulu, mandi dan kembali untuk bersiap menyeberang. Tapi tanggung, kata ibu pemilik warung yang gemar bergosip itu loket sebentar lagi akan dibuka. Jadi daripada bolak-balik mending menunggu loket kapal cepat terbuka, begitu pikir saya.

Pelabuhannya belum buka nyong
Kapal Cantika Torpedo yang akan kami pakai menyeberang ke Amahai

Kapal cepat Cantika Torpedo beroperasi dua kali sehari dari pelabuhan Tulehu. Di hari biasa kapal berangkat jam 10 pagi dan jam 4 sore, tapi khusus di hari Minggu kapal pagi berangkat jam 11. Sekitar jam 8 loket terbuka, beberapa orang yang sudah lama menunggu dengan segera menyemut di depan loket. Tidak ada antrian, siapa yang cepat dan kuat dia yang dapat duluan.

Saya ikut menyemut bersama mereka, membungkuk agar kepala bisa berada tepat di depan lubang selebar kira-kira 10×60 cm di jendela loket. Satu tiket untuk kelas executive dihargai Rp.125.000,- sementara untuk kelas VIP dihargai Rp.260.000,-. Tak perlu kelas VIP, toh kami plesiran dengan dana seminim mungkin.

Setelah tiket sudah di tangan kami kembali ke penginapan, mandi dan mempersiapkan diri. Pukul 10 pagi kapal cepat Cantika Torpedo sudah sesak oleh penumpang, mungkin karena itu hari Minggu. Sebagian besar penumpang adalah warga setempat, entah warga Ambon atau warga Seram. Barang-barang besar dalam kardus atau tas besar ditumpuk rapi di dekat pintu. Beberapa wisatawan terselip di antara penumpang, termasuk kami berdua tentunya.

“Bapa kursi berapa?” Seorang pedagang asongan bertanya di dekat pintu masuk kapal. Setelah saya menyebutkan nomor kursi dia, menunjuk ke bagian belakang kapal. “Di situ bapak, di tengah.” Katanya.

Pedagang asongan di kapal ini sekaligus berfungsi sebagai petugas yang menuntun penumpang sesuai nomor kursi mereka. Mereka juga ikut menjaga ketertiban, termasuk memarahi seorang bapak yang dengan cueknya merokok di dalam ruangan kapal yang ber-AC. Sulit menebak mana petugas kapal yang asli karena mereka tidak berseragam.

Tepat pukul 11 WITA, Cantika Torpedo pelan-pelan meninggalkan pelabuhan Tulehu. Suasana kapal sesak, semua kursi terisi penuh, barang-barang ditumpuk di dekat pintu masuk dan lorong kecil antar kursi penumpang. Beberapa penumpang yang tak kebagian tempat duduk berdiri di selasar yang menghubungkan kelas A-B dan C. Pintu samping kapal terbuka lebar, membiarkan angin laut masuk. Suara-suara orang bercakap memenuhi ruang kapal, semuanya berlogat khas Maluku.

Perjalanan dua jam menuju Amahai berlangsung lancar. Kami beruntung karena biasanya di bulan seperti ini ombak sudah mulai membesar dan bisa membuat perut mual sepanjang perjalanan. Sampai akhirnya Cantika Torpedo merapat di Amahai, tepat ketika matahari sedang garang-garangnya. Meski namanya pelabuhan tapi air laut di Amahai masih sangat bening, kita bisa dengan mudah melihat ikan-ikan kecil yang berenang dengan riang seperti tak terganggu.

*****

“MAU KE SAWAI? AMBIL MOBILNYA DI LUAR SANA.” Seorang pria Maluku bertubuh gempal menunjuk ke luar terminal. Kami baru saja turun dari angkot di terminal Masohi setelah perjalanan sekira 30 menit dari pelabuhan Amahai.

“Di bawah pohon itu biasanya mobil ke Sawai mangkal.” Katanya. Setelah berterimakasih, kami bergeser ke luar terminal menuju titik yang ditunjukkan si bapak. Matahari benar-benar menyengat, perutpun mulai keroncongan. Tapi kami tidak kehilangan semangat.

Di tepi jalan di bawah pohon, beberapa mobil station wagon sejenis Avanza terparkir. Beberapa pria mendekat, menanyakan tujuan kami. Mobil-mobil berplat hitam itu melayani beberapa rute ke arah utara, termasuk ke Sawai, Saleman dan beberapa tempat yang sulit saya hapal namanya.

“Mau sewakah? Satu mobil Rp. 750.000,-. Kita langsung jalan sa.” Seorang pria menawari. Kami tentu saja menolak, angka itu terlalu besar. Lebih baik menunggu sampai mobil penuh dengan membayar Rp. 125.000,- saja daripada harus menyewa satu mobil buat berdua.

Dan begitulah, setelah berkeliling mencari penumpang, mobil Suzuki Ertiga berwarna perak itu akhirnya meninggalkan Masohi menuju utara, termasuk ke Sawai. Hanya ada 5 penumpang di atas mobil yang dikendarai pria Maluku yang masih muda. Sepanjang jalan lagu-lagu Maluku mengalun dari tape mobil dengan suara keras. Kami terkagum-kagum pada suara artis lokal Maluku, suara mereka tidak kalah dengan suara Glenn Fredly si penyanyi asal Maluku yang sudah lebih dulu terkenal itu. Sejak dulu Maluku memang terkenal dengan para penyanyinya, orang-orang bersuara emas yang sudah menghiasi dunia hiburan di Indonesia.

Lewat pukul dua siang kami sudah keluar dari kota Masohi, kota yang termasuk ramai karena jadi ibu kota kabupaten itu. Dalam dua setengah jam ke depan kami akan menyusuri jalan menanjak dan berkelok menuju utara pulau Seram. Meski berliku dan menanjak, perjalanan cukup menyenangkan karena jalanan yang rata-rata mulus. Hanya ada beberapa ruas yang sementara diperbaiki, sisanya mulus. Sama sekali berbeda dengan jalan darat yang pernah saya cicipi di Kalimantan Utara dan Papua.

Pemandangan ini tersaji sepanjang perjalanan Masohi-Sawai

Sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan hutan lindung Manusela. Pohon-pohon tinggi menjulang, rapat berkelindan dengan sesama tumbuhan hijau. Kami bahkan sempat berada di antara kabut yang lumayan tebal dan menutupi pandangan. Udara lumayan dingin masuk menyeruak ke dalam mobil yang jendelanya memang tidak tertutup.

Sawai masih jauh. [dG]