Madura 5: Orang Madura Tidak Kasar, Mereka Hanya Keras

Ukiran Madura
Ukiran Madura
Ukiran di Keraton Sumenep

Orang Madura itu kasar, mereka bahkan banyak yang jadi penjahat. Coba lihat di Surabaya, sebagian besar preman di sana orang Madura.

Kalimat di atas pernah saya dengar dari seorang kawan yang lama merantau di Surabaya. Suatu hari dia pernah mengalami kejadian buruk dengan pencopet yang kebetulan berasal dari Madura. Kawan saya bukan satu-satunya orang yang hidup dengan stereotype seperti itu bukan? Jujurlah, beberapa dari kitapun pasti pernah punya persepsi buruk tentang orang Madura. Sama dengan persepsi buruk banyak orang ketika mendengar kata Makassar.

Keras, berangasan, emosional dan gampang naik darah. Itu gambaran orang tentang Madura (dan Makassar). Tapi kemudian saya jadi salah satu orang yang tercerahkan setelah menginjak langsung tanah Madura selama 3 hari 2 malam.

Bersama rombogan Potret Mahakarya, saya perlahan menyingkirkan stereotype umum tentang orang Madura. Bebek Songkem hanya pembuka, rasanya yang renyah dan lembut membuat saya berpikir, “Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang dianggap kasar bisa menghasilkan bebek serenyah ini?” Dan itu benar-benar hanya pembuka. Selanjutnya batik gentongan dari desa Tanjung Bumi yang kembali membuat saya bertanya “Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang dianggap kasar bisa menghasilkan karya sehalus ini?”

Malam harinya di pertunjukan tari topeng Madura saya mendengar kalimat dari supir kami yang orang Madura. “Saya yang orang Madura tidak ngerti bahasa yang dipakai tadi, bahasanya bahasa Madura halus.” Katanya. Nah kan? Mana mungkin sebuah bangsa yang dianggap kasar bisa punya bahasa halus? Dan satu per satu stereotype di kepala saya runtuh.

Hingga akhirnya saya sadar Madura hampir sama seperti Makassar. Perjalanan panjang sejarah yang penuh dengan pertentangan antar kerajaan dan pertentangan dengan penjajah dari Eropa membentuk karakter mereka (dan kami) menjadi karakter yang keras, blak-blakan dan apa adanya.

Di sisi lain alam Madura keras. Sepanjang jalan saya kerap menangkap pemandangan laut, ladang garam dan tanah tandus. Ingatan saya melayang pada kabupaten Jeneponto di Selatan kota Makassar yang punya tanah hampir serupa dengan Madura. Alam yang keras tentu membutuhkan manusia yang keras juga, hanya manusia dengan tekad kuat dan kemauan keras yang bisa hidup di atas alam yang tak ramah.

Perpaduan alam dan cerita sejarah yang panjang perlahan membuat orang-orang Madura hidup sebagai orang yang keras dan blak-blakan. Tapi di balik sifat keras mereka ada sifat terbuka yang sangat besar. Orang Madura tidak menutup diri pada pengaruh luar, dan untuk itu mereka pasti punya keramahan yang besar. Hanya orang-orang ramah yang bisa membuka diri untuk pengaruh dari luar bukan?

Madura, Sejarah Yang Terlupakan

Kalau melihat ke belakang, dalam rentetan panjang sejarah Nusantara maka kita akan sadar betapa besar peran Madura dalam lintasan sejarah tersebut. Kerajaan besar Majapahit mungkin tidak akan pernah ada tanpa bantuan orang Madura.

Adalah Arya Wiraraja, Adipati dari Sumenep yang memberi bantuan besar kepada Raden Wijaya untuk menumbangkan Jayakatwang di Singosari sebelum akhirnya membangun kerajaan baru yang kelak kita kenal sebagai Majapahit. Tanpa kecerdasan dan kesabaran Arya Wiraraja, Raden Wijaya mungkin sudah lama hilang dari catatan sejarah sebelum berhasil membangun Majapahit.

Surat Sultan Abdurrahman kepada Raffles

Sir Thomas Raffles yang menulis buku The History Of Java terang-terangan menuliskan rasa terima kasihnya yang sangat besar kepada Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang telah membantunya menyelesaikan buku itu. Ini bisa terjadi karena Sultan Abdurrahman adalah orang yang sangat cerdas dan menguasai banyak bidang. Tentu tidak cocok dengan gambaran kita tentang orang Madura yang kasar bukan?

Kalau sebelumnya saya dan mungkin Anda akrab dengan stereotype tentang orang Madura yang kasar maka mungkin setelah ini saya dan mungkin Anda harus perlahan mengikisnya. Orang Madura tidak sekasar yang sering kita dengar, mereka hanya orang-orang yang keras dengan tekad dan kemauan yang sama kerasnya.

Madura punya sejarah panjang dalam lintasan nusantara meski catatannya sering terlupakan. Tiga hari dua malam di Madura adalah pengalaman baru yang menyenangkan, membuka mata bahwa Madura dengan sejarah panjangnya adalah modal besar untuk menyingkirkan persepsi saya selama ini tentang Madura. Selama di Madura saya tidak pernah menemukan orang-orang yang kasar seperti yang biasa saya dengar. Saya hanya menemukan orang-orang Madura yang ramah dan bersahabat meski nada mereka memang agak tinggi dan keras. Sebagai orang Makassar, saya merasa di rumah sendiri dan sama sekali tidak merasa aneh.

Mungkin suatu hari nanti saya harus kembali ke sana. [dG]